Chereads / Peninggalan Betelgeuse / Chapter 6 - Episode 6: Sebuah Kebenaran.

Chapter 6 - Episode 6: Sebuah Kebenaran.

Delapan bulan telah berlalu. Aku telah bermain Betelgeuse Online setiap hari dengan Becker. Pada dasarnya, Aku telah bermain Betelgeuse Online selama 18 tahun dalam waktu game. Aku tahu segalanya tentang gim ini. Dari fitur-fitur terbaru hingga ide-ide yang ada di benak Becker. Kami menguji semuanya dan itu tidak membuat aku merasa bosan dengan itu sama sekali. Masih banyak hal yang ingin aku coba dan semakin aku bereksperimen dengan gim ini, semakin aku terpikat oleh nya. Tetapi selama beberapa minggu terakhir, aku belum melihat Becker online dan terakhir kali aku memeriksanya, dia mengatakan bahwa dia sedang sibuk karena game tersebut akan dirilis pada 14 Maret, yaitu dua minggu dari sekarang.

Aku akan mandi sebelum masuk ke Betelgeuse Online. Aku menulis pesan untuk Becker.

"Hei, Becker. Sudah lama sejak terakhir kali kita bermain bersama. Apakah kamu berencana untuk bermain hari ini?"

Setelah aku selesai mandi, aku memeriksa ponsel ku dan Becker membalas pesan yang ku kirim. Aku mengetuk notifikasi dan membaca balasannya.

"Apakah ini Trevor? Bisakah Anda datang ke alamat ini..."

Aku mengangkat alisku. Aku pikir orang lain sedang membalas pesan ku dan alamat yang diberikan orang ini adalah alamat rumah sakit. Aku punya firasat buruk tentang ini. Aku segera bersiap-siap dan meninggalkan rumah.

Aku di rumah sakit dan berjalan masuk. Aku mendekati resepsionis. Perawat itu menatapku.

"Apa ada yang bisa saya bantu?"

Aku melihat sekeliling dan kemudian melihat perawat.

"Ya, saya ingin mengunjungi teman saya. Namanya Becker."

Perawat melihat komputer dan kemudian menatapku.

"Bisakah Anda memberi tahu saya nama belakangnya? Ada lebih dari satu Pasien yang memiliki nama yang sama."

Sial, aku tidak tahu nama belakangnya. Aku segera mengeluarkan ponselku untuk menanyakan nama belakang Becker.

"Saya di rumah sakit dan saya sedang di resepsionis sekarang. Karena saya tidak tahu di mana kamar mana Becker berada, jadi saya bertanya kepada resepsionis dan dia menanyakan nama belakangnya karena ada lebih dari satu pasien dengan nama yang sama."

Orang yang memegang telepon Becker segera menjawab.

"Tunggu di sana, kami akan datang kepadamu."

Aku menjawab,

"Oke, saya akan menunggu di resepsionis."

Aku memberi tahu perawat bahwa mereka akan datang menjemput ku. Perawat itu mengangguk dan melanjutkan pekerjaannya. Tidak lama setelah itu, pasangan tua yang mengenakan pakaian mahal mendekati saya. Wanita tua itu menatapku.

"Apakah Anda Trevor?"

Aku mengangguk.

"Ya, Bu. Saya Trevor, teman Becker."

Orang tua itu mendekati ku dan mengangkat tangannya untuk berjabat tangan. Aku mengangkat tanganku dan menyapanya. Dia tersenyum.

"Senang akhirnya bertemu denganmu. Becker sering membicarakanmu selama beberapa bulan terakhir."

Aku mengangguk dan tersenyum.

"Senang bertemu denganmu juga, Tuan."

Aku percaya bahwa mereka adalah orang tua Becker. Orang tua Becker menurunkan tangannya.

"Kami adalah orang tua Becker. Saya yakin dia memberi tahu Anda tentang kami. Nama saya Sylvester, dan dia adalah istri saya, Andrea."

Aku mengangguk.

"Ya, Pak. Nama saya Trevor. Senang bertemu dengan Anda berdua. Dia kadang-kadang membicarakan Anda dan yang saya tahu Anda tinggal di luar negeri."

Andrea mengangguk.

"Baiklah. Bagaimana kalau kita pergi ke kamar Becker?"

Aku mengangguk.

"Ya Bu."

Aku mengikuti mereka ke lift. Sylvester menekan tombol lift untuk menuju ke lantai atas. Aku pikir di situlah pasien naratama berada. Tidak ada seorang pun di sini bersama kami dan hanya keheningan saat kami naik. Aku bisa mendengar Sylvester terus berdeham. Kurasa dia banyak merokok akhir-akhir ini. Aku tahu itu karena pernah mengalaminya dan aku bisa mencium bau tembakau di jasnya dan dari tangannya tadi saat kami berjabat tangan dan juga dari bau napasnya saat dia berbicara.

Suara ding dari lift terdengar. Pintu lift terbuka. Mereka berdua keluar dari lift dan aku mengikuti mereka dari belakang. Ini pertama kalinya aku berada di lantai naratama. Di sini sepi, banyak sofa dan banyak perawat yang berjaga. Kurasa memang begitu karena mereka merawat pasien naratama jadi pihak rumah sakit memprioritaskan mereka terlebih dahulu meski rasanya salah, tapi aku tidak akan mempermasalahkannya. Sylvester melihat ke belakang.

"Kami berterima kasih kepada Anda. Berada bersama putra kami dan membuat hari-harinya penuh dengan kegembiraan dan kebahagiaan. Jika ada sesuatu yang Anda butuhkan, Anda bisa datang kepada kami. Kami ingin menunjukkan rasa terima kasih kami kepada Anda."

Aku terkejut dan untuk beberapa alasan, aku benar-benar memiliki firasat buruk tentang semua ini. Aku menggelengkan kepalaku.

"Tidak Pak. Saya baik-baik saja. Justru saya yang bersyukur bisa menjadi temannya."

Mereka berdua tersenyum.

Kami berada di ujung lorong dan Andrea membuka pintu. Kami berjalan di dalam ruangan dan itu mengejutkan ku ketika aku melihat Becker mencukur kepalanya. Aku tidak ingin berpikir bahwa sesuatu terjadi padanya, tetapi mencukur kepala seseorang di rumah sakit itu hanya berarti hal-hal buruk terjadi pada nya, begitulah menurut ku karena aku bukan ahlinya. Becker hampir tidak bangun dan ketika dia melihat ku, dia tersenyum dan dengan lemah melambai ke arah ku. Aku mendekatinya dan duduk di sampingnya sementara Sylvester dan Andrea berdiri di sampingnya di sisi yang lain.

"Kau terlihat lebih pucat dari biasanya, Becker."

Becker tersenyum dan tertawa kecil. Orang tuanya tersenyum. Dia melihat tangannya sendiri.

"Ya, aku merasa sangat buruk..."

Kami semua tertawa. Dia menelan ludah nya.

"Aku senang melihatmu di sini. Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu."

Becker melihat orang tuanya dan mereka berdua mengangguk dan meninggalkan ruangan. Dia menelan ludah perlahan dan lemah seolah-olah dia kesakitan. Dia menatapku.

"Aku menderita kanker paru-paru... dan aku berada di stadium akhir. Aku sudah dalam keadaan sekarat."

Itu sangat mengejutkan ku. Dia meletakkan tangannya di tanganku.

"Apakah kamu ingat pertama kali kita berbicara? Kamu mengatakan bahwa aku tidak boleh memberi tahu siapa pun tentang alamat rumahku, terutama kepada orang asing di tengah malam sepertimu. Sekarang kamu tahu alasan mengapa aku mengatakan bahwa aku tidak akan melakukannya karena aku tidak akan tinggal di sana."

Becker terkekeh lemah dan aku membuka mataku dan tertawa bersamanya.

"Dan itulah mengapa kamu lebih memilih Sev sebagai istrimu daripada wanita sejati mana pun."

Kami berdua tertawa dan dia mengangguk.

"Itu benar. Bagaimanapun juga, wanita sesungguhnya memang menyebalkan bagiku."

Becker batuk dan menekan dadanya karena terasa sakit. Aku menatapnya khawatir. Dia menggelengkan kepalanya.

"Kamu tidak perlu mengkhawatirkanku. Itu tidak mengubah fakta bahwa aku sudah sekarat."

Aku mendengus dan menatapnya.

"Sejak kapan kamu menderita kanker ini?"

Becker melihat ke langit-langit.

"Sekitar 4 tahun mungkin... ya, 4 tahun."

Aku menghembuskan napas dalam-dalam.

"Jadi alasan orang tuamu tinggal di luar negeri adalah mencari cara untuk menyembuhkan kankermu?"

Becker mengangguk.

"Ya, benar. Yah, keinginan ku juga untuk hidup sendiri karena aku tahu bahwa tidak ada harapan untuk menemukan obat untuk kondisi ku karena sudah terlambat."

Aku menggaruk kepalaku.

"Jadi sejak itu kamu sudah menyerah pada hidupmu?"

Becker terkekeh lemah dan menggelengkan kepalanya.

"Apakah aku terlihat seperti orang yang menyerah pada hidup? Yah, kamu bisa menyebutnya seperti itu, tetapi bagi ku, aku mengartikannya sebagai penerimaan. Orang tua ku masih menyangkal tetapi sekarang tampaknya mereka juga sudah berada di kapal yang sama denganku."

Aku menggelengkan kepalaku.

"Maaf, aku tidak bermaksud mengatakan itu."

Becker tersenyum.

"Tidak apa-apa. Kamu tidak perlu khawatir tentang itu."

Becker menatapku dan menunjuk sesuatu di atas meja.

"Bisakah kamu mengambilkan ku dokumen-dokumen yang ada di sana?"

Aku melihat ke meja dan mengambilnya lalu memberikan padanya. Dia membuka dokumen dan dia mencari kertas tertentu. Aku melihat dia sedang membolak-balikkan dokumen.

"Jadi, gim ini akan dirilis dua minggu dari sekarang. Apakah kamu akan berada di sana pada tanggal rilis?"

Becker terkekeh.

"Apakah aku terlihat seperti orang yang bisa menghadiri acara apa pun? Jadi, tidak mungkin aku hadir. Aku akan menontonnya di TV ketika hari itu tiba. Setidaknya itulah yang akuharapkan."

Aku menatapnya.

"Maksud kamu apa?"

Becker tersenyum.

"Yah, kata dokter aku hanya punya waktu seminggu atau lebih. Jadi tidak ada kesempatan bagiku untuk bisa menonton peluncuran gim yang aku buat selama beberapa tahun dengan keringatku sendiri. Bukankah itu menyedihkan, tidakkah menurutmu?"

Aku menutup mataku lagi dan kali ini setetes air mata jatuh di pipiku. Aku mendengus dan aku yakin dia memperhatikan ku menangis, tapi dia tidak menghiburku sama sekali. Aku masih bisa mendengar jari-jarinya melihat-lihat kertas.

"Aku benar-benar beruntung bertemu denganmu, Trev."

Aku menyeka air mataku dan mendengus.

"Ya aku juga."

Becker akhirnya mendapatkan kertas yang tepat dan dia menyerahkannya kepada ku.

"Aku ingin kau membacanya.