"Dia sangat ketakutan, baguslah ternyata dia masih mengingat dosanya," gumam Aletha menyunggingkan senyum sinis.
Kegelisahan yang terlihat di wajah Chiraaz membuatnya sangat bahagia. Gertakan kecil saja sudah membuat wanita itu ketakutan. Aletha meraih ponselnya lalu mengirimkan pesan pada Eljovan.
[Pak Dok, malam ini bisakah kita makan malam?]
***
Sepanjang jalan Chiraaz merasa gelisah, beberapa kali dirinya hampir saja menabrak sesuatu karena tidak fokus. Kehadiran Aletha sejak awal pertemuan mereka membuatnya terguncang. Hanya saja ia berusaha bersikap tenang seolah tidak terjadi apa-apa.
Ia tidak mau sampai Eljovan mengetahui rahasia masa lalu yang selama ini disembunyikannya. Kehidupan yang baru saja ia tata bersama Eljovan hancur begitu saja. Hanya Chiraaz yang memahami siapa Aletha sebenarnya.
"Tuhan, kenapa engkau tidak membiarkanku sedikit saja bisa mempercayai keberadaanmu," gumamnya.
Mobil mulai memasuki halaman sebuah rumah sederhana dengan model elegant. Cat putih mendominasi seluruh bangunan, kolam kecil berisi ikan warna warni menghiasi. Sorot lampu di setiap sudut rumah makin menambah suasana semakin nyaman.
Chiraaz melihat penampilannya di kaca kecil yang ada di atas kemudi. Raut wajahnya kusut, begitu juga dengan rambutnya. Chiraaz merapikan sedikit rambut yang berantakan, hatinya enggan bertemu dengan Edward. Ia pun menundukkan kepalanya ke setir mobil.
"Dua bahaya ada di depan mata, mana yang harus aku bereskan," gumamnya lagi.
Ting! Suara pesan masuk berbunyi, Chiraaz segera meraih ponselnya dan membuka kotak pesan.
[Kenapa tidak langsung turun? Apa kau sedang mengganti baju dengan pakaian sexy?] Edward mengirimkan pesan padanya.
"Astaga, dia selalu mengawasiku seperti cctv," gerutu Chiraaz.
Chiraaz segera meraih tas dan memasukkan ponsel ke dalamnya. Ia tidak peduli dengan penampilannya sekarang, lagipula sudah di luar jam kerja, pikirnya. Ia turun dari mobil lalu melangkah menuju rumah.
Setibanya di depan pintu dan hendak mengetuk, tiba-tiba pintu di depannya terbuka dengan sendirinya. Tanpa banyak berpikir panjang, Chiraaz masuk ke dalam rumah. Cahaya lampu nampak temaram, matanya berpendar ke sekitar.
"Ada yang aneh dengan rumah ini," gumam Chiraaz.
"Pak Edward, saya sudah datang," panggil Chiraaz.
Hening tidak ada jawaban. Karena dekorasi dan tata letak rumah menarik perhatian Chiraaz. Ia sedikit berjalan-jalan mengelilingi lantai bawah. Rumah yang nampak kecil dari luar, ternyata berbeda dengan isinya yang luas dan megah.
"Selera dia tinggi juga, sama saja seperti gaya hidupnya," gumam Chiraaz.
"Aku bekerja untuk mencari uang. Jika uangku tidak digunakan, lantas untuk apa?" Suara Edward yang turun dari tangga sontak membuat Chiraaz menoleh.
"Pa--Pak Edward," sahut Chiraaz, ia melihat Edward membawa sebuah botol di tangannya.
"Selamat datang di rumahku, asisten," ucap Edward sambil berjalan mendekati Chiraaz.
"Selamat malam, Pak." Chiraaz balik menyapa, sikapnya sedikit kaku.
"Malam, kita langsung ke lantai atas saja," kata Edward, ia langsung berbalik.
"Baik, Pak."
Chiraaz mengikuti langkah Edward menuju lantai atas. Edward menggerakkan botol di tangannya, sesekali terdengar suara botol dihentakkan ke pegangan tangga. Chiraaz mencium aroma minuman yang tidak biasa, akan tetapi ia tahu itu minuman mahal.
Sesampainya di lantai atas, Edward membawanya ke balkon yang cukup luas. Lampion kecil menghiasi sekitar balkon, Edward mematikan lampu bagian luar. Cahaya dari lampion menambah suasana semakin terasa romantis.
Ragu Chiraaz melangkah mendekati balkon, dinner yang disiapkan Edward seperti diatur untuk sepasang kekasih. Selama menikah dengan Eljovan saja, suaminya itu tidak pernah memberikan makan malam begitu romantis. Edward menganggukkan kepalanya meminta Chiraaz segera datang.
Diatas meja yang ditemani lilin aroma terapi, terhidang dua piring steak, kentang goreng, juga desert red velvet. Chiraaz hanya berdiri mematung sambil menatap meja tersebut, hatinya berdecak kagum sehingga tak mampu lagi berkata-kata.
"Ayo duduk Chiraaz, kenapa berdiri saja," kata Edward.
"In--ini Pak Edward yang buat?" tanya Chiraaz.
"Memangnya ada orang lain di sini yang kamu lihat? Ini rumahku, aku tidak mau ada siapapun di malam hari termasuk asisten rumah tangga," jawab Edward, pria ittu pun duduk di kursi.
"Anda pandai memasak juga, saya tidak menduganya Pak Edward," sahut Chiraaz ia pun duduk berhadapan dengan Edward.
"Panggil Ed saja, Chiraaz. Kita sudah di luar jam kerja," ujar Edward.
"Ed?" Chiraaz mengangkat sebelah alisnya.
"Ya, aneh?"
"Tidak, Pak, emhh Ed--." Chiraaz merasa gugup, dalam hatinya ia bergumam lebih baik menghadapi Edward menyebalkan, daripada Edward yang sekarang.
"Tidak udah gugup, biasa saja Chiraaz," kata Edward.
"Baiklah apa yang akan kita bahas, Pak?"
"Nikmati saja makanannya, selesai makan baru kita bicara," jawab Edward.
Chiraaz menghela napas pelan, menganggukkan kepala lalu mulai meraih garpu dan pisau steak. Matanya tak lepas dari memandang Edward yang sedang membentangkan kain putih di atas pahanya. Chiraaz lupa akan hal itu, lalu melakukan hal yang sama, Edward melirik sekilas seraya tersenyum tipis.
"Mari maakan," kata Edward.
Chiraaz mengangguk malu, mereka berdua mulai menikmati makanannya. Edward terlihat sangat fokus dengan piringnya, tidak ada percakapan yang menemani. Saat menyuapkan steak ke mulutnya, Chiraaz terdiam sesaat merasakan betapa lezatnya masakan Edward. Pada suapan kedua, Chiraaz pun mulai kalap.
"Enak juga," gumam Chiraaz, suapan demi suapan terus masuk ke mulutnya. Chiraaz sampai lupa dengan Edward saking lahapnya.
"Memangnya seumur hidup kamu tidak pernah makan steak?" tanya Edward.
"Hah? Ah, maaf, Pak." Chiraaz baru sadar setelah beberapa saat.
"Makanmu seperti anak kecil," kata Edward.
"Anak kecil?" Chiraaz mengangkat alisnya.
"Sini." Edward mengambil tisue lalu mengusap ujung bibir Chiraaz yang terlihat ada saos menempel.
Chiraaz melirik tangan Edward yang mengusap ujung bibirnya. Mata pria itu lekat menatapnya, dalam jarak dekat mereka saling memandang. Edward menyunggingkan senyum yang begitu manis.
"Ter--terima kasih Pak," ucap Chiraaz.
Edward hanya mengulumkan senyum lebar lalu melanjutkan makannya. Selesai makan malam, Edward dengan cekatan membereskan meja. Ternnyata di bagian lantai atas juga ada dapur mini, Chiraaz merasa tidak enak hati dan membantu pria itu.
"Tidak usah, biar saya saja," kata Edward.
"Saya tidak enak, sudah dijamu dengan baik, tapi--."
"Diamlah," potong Edward menatap Chiraaz penuh cinta. "Duduk saja di sofa, nanti kita bicara di sana," lanjutnya.
Chiraaz menelan napas, entah kenapa hatinya merasa tidak nyaman dengan perlakuan Edward yang berbeda. Karena tidak ada yang bisa dikerjakan, ia pun menuruti perintah Edward duduk menunggu di sofa. Lagi-lagi hatinya berdecak kagum, dengan sosok Edward yang sekarang.
Namun, sisi lain dirinya tidak merasa tenang, sebab belum tahu apa yang akan Edward bicarakan dengannya. Terkait surat persidangan itu, Chiraaz merasa sangat ketakutan. Ditambah lagi kehadiran Aletha yang semakin membuat posisinya terpojok.