Chereads / Gadis Pilihan / Chapter 10 - Menjaga Dengan Baik

Chapter 10 - Menjaga Dengan Baik

Menatap gemerlap bintang yang tersamarkan oleh polusi kota membuat Alga mendesah panjang untuk ke sekian kali nya. Di teras depan rumah nya ini ia termangu dengan mata terus menatap ke angkasa. Ia duduk di bangku semen panjang yang mengitari teras rumah nya. Kedua tangan nya pun mendekap lutut nya.

Ibu mendekat dan duduk di bangku yang terbuat dari bambu.

"Kenapa toh, le? ibu perhatikan dari tadi ngelamun terus," tanya ibu membuka pembicaraan.

Wajah Alga masih tertuju ke langit. Sekali lagi ia menghela panjang. "Ternyata seperti ini rasa nya jatuh cinta ya, bu," balas nya sukses membuat ibu terdiam.

"Tresno maring sopo?" tanya Haris menyembulkan kepala nya dari jendela. Menurut nya ini pembahasan yang menarik.

*"Cinta sama siapa?"*

"Anak orang. Cantik, baik, ndak sombong," jawab Alga yang sepertinya tingkat kesadaran nya sudah menguap ke udara.

"Kaya raya?" tambah Andi ikut menyelidik.

"Nggih." Alga mengangguk.

"SIKAT!" gertak Haris seketika membuat Alga tersadar dari lamunan nya.

"Jiancuk!" rutuk Alga menatap Haris dengan kesal.

"Gaga," tegur ibu menatap Alga penuh peringatan.

"Mas Haris tuh, bu. Ganggu orang aja," balas Alga masih kesal.

Haris malah tertawa sendiri di tempat nya. "Lagian kamu kecil-kecil udah main cinta-cintaan," balas Haris.

"Har." Kini ibu memeringati Haris untuk diam.

Menanggapinya Haris hanya bisa nyengir lebar sambil melangkahkan kaki nya berlalu ke dalam.

"Sekolah saja dulu yang pandai." Bapak datang dari arah depan dan hendak masuk ke rumah. Kemudian langkah nya berhenti dan menatap Alga.

"Biar nanti kalo udah sukses ndak malu buat ngelamar anak orang," lanjut nya kembali melangkahkan kaki nya untuk masuk ke rumah.

Alga bergeming. Ia menunduk. Memang benar yang di katakan bapak.

"Tapi bu, aku udah terlanjur bikin anak orang baper," ujar Alga lagi. Kini dengan suara nya yang pelan agar lebih aman dari kakak tertua nya.

"Le," panggil ibu mengelus puncak kepala putra nya. Wajar saja kalau seorang gadis terbawa perasaan. Karena ia di ciptakan dari tulang rusuk yang begitu dekat dengan hati."

Alga menghela nafas gusar. Ia menatap ibu. Mencari sesuatu yang sama dengan Eiryl. Ah, iya. Ketulusan dan kejujuran.

"Aku mencintai nya bu," ujar nya lirih dengan segala rasa yang menikam isi dada nya.

"Dicintai dan mencintai itu hal yang manusiawi, le. Yang tidak manusiawi itu, menyakiti perasaan seorang perempuan." Ibu menatap Alga dengan begitu lekat.

"Kalau mau menjadi dewasa. Belajar sama bapak mu," lanjut ibu di angguki oleh Alga.

"Makasih, bu." Alga meraih dua tangan milik ibu lalu mengecup nya cukup lama.

***

Eiryl hanya menatap hambar makanan di depan nya. Sepertinya selera makan nya sudah menguap ke udara tanpa sisa sedikitpun. Tangan nya pun hanya menggerak-gerakkan sendok yang di pegang nya dengan tidak bersemangat.

"Sayang," panggil mama dengan lembut.

Eiryl tidak menyahut nya. Pikiran nya sedang terpacu pada peristiwa siang tadi. Tepat saat Alga selesai menyanyikan satu lagu untuk nya. Lalu mengatakan perihal hati yang sulit untuk di tebak.

"Sayang," panggil mama lagi. Suara nya hangat dan keibuan.

Namun, Eiryl masih bergeming dengan mulut mengatup rapat.

"Eiryl."

Akhirnya suara papa yang bisa menyadarkan nya. Eiryl menatap kedua orang tuanya secara bergantian.

"Mama perhatikan, kamu ngelamun terus. Di sekolah ada masalah?" tanya mama begitu perhatian.

Eiryl menggelengkan kepalanya.

"Lalu," lanjut mama ingin tahu.

"Nggak apa-apa ma," jawab Eiryl pelan. Malam ini ia sungguh tidak bersemangat.

"Memang nya tadi di sekolah ada kegiatan apa?" papa ikut bertanya.

Eiryl diam sejenak. Seketika ia teringat saat melihat Alga dengan buku cokelat nya. "Cuma expo kegiatan ekskul di sekolah, pa, jawab nya.

Mama mengangguk-anggukkan kepala nya. "Lalu kamu ikut ekskul apa?" tanya nya masih berlanjut.

"Seni tari," Eiryl menjawabnya dengan sedikit ragu.

Tapi, "Wow!" papa berseru bangga. "Hebat dong anak papa," komentar nya kemudian.

"Dulu mama mu juga begitu. Ikut seni tari sampai akhir nya jadi perwakilan murid Indonesia untuk kompetisi di Austria," kisah papa tentang masa muda mama.

"Tau nggak? Papa mu juga jadi partner mama buat nari. Iya kan, pa?" lanjut mama ikut mengisahkan awal mula pertemuan nya dengan papa. Lalu diangguki papa dengan semangat.

Eiryl menghela. Entah kenapa cerita mama dan papa kali ini sungguh membosankan. "Aku ke kamar dulu. Besok acara MOS terakhir ada pentas seni," pamit nya kemudian berlalu dari tempat nya.

Papa dan mama pun saling melempar tatapan penuh tanya.

"Nggak biasa nya Eiryl begitu, pa," kata mama.

"Udah. Nggak apa-apa, mungkin anak kita lagi jatuh cinta, ma," balas papa tenang

"Jatuh cinta?" ulang mama penuh rasa terkejut.

"Mungkin," jawab papa.

"Papa tau?" Mama menginterogasi.

"Papa kan pernah muda, ma," ujar papa membuat mama menghela napas nya.

Mama menghela pasrah. Kemudian bangkit untuk menyusul Eiryl ke kamar nya. Di ketuk nya pintu kamar anak semata wayangnya.

"Sayang, mama boleh masuk?" tanya mama.

"Iya ma" sahut Eiryl Laisa dari dalam.

Pelan-pelan mama membuka pintu kamar Eiryl. Mata nya langsung tertuju pada Eiryl lalu duduk di sofa empuk sebelah ayunan rotan.

"Aku bingung, ma," ujar Eiryl mulai mencurahkan isi hati nya.

"Bingung kenapa? Ayo, cerita sama mama," respon sang mama.

Ini yang menjadi alasan Eiryl untuk tetap betah di rumah nya. Mama nya selalu siap mendengarkan segala keluh kesah nya, juga selalu menjadi teman cerita nya.

"Aku menyukai seseorang." Eiryl mengakui perasaan nya.

"Iya." Mama sudah siap untuk mendengarkan cerita Eiryl.

"Apa dulu mama pernah menyukai seseorang, tapi baru mama kenal?"

Mama diam sejenak. Kemudian mengangguk. "Pernah."

"Siapa?"

"Papa mu."

Eiryl menghela panjang.

"Kamu merasakan hal yang sama? menyukai seseorang tapi baru kamu kenal," tanya mama.

Eiryl mengangguk begitu saja.

"Di sekolah?"

Eiryl mengangguk lagi.

"Menyukai seseorang itu ada fase nya. Pertama, saat perasaan itu tumbuh. Kamu mulai resah, bingung harus bagaimana. Tali yang kamu mau saat ini hanya lah kepekaan dari dia. Bukan begitu?"

Eiryl menatap mama nya dan mengangguk benar.

"Kedua, saat dia sudah tahu perasaan kamu. Hati kami pasti berbunga-bunga. Dan ketiga, ini yang terakhir puncak nya. Saat dia sama-sama menyukai mu dan menyatakan perasaan nya sama kamu."

Eiryl termenung. Apa laki-laki itu akan menyatakan perasaan nya dalam waktu dekat ini.

"Tapi ada satu hal yang paling penting dan harus selalu kamu ingat. Jika laki-laki itu baik, ia suka menunggu."

"Untuk apa menunggu?" Eiryl mengernyit dalam.

"Untuk meyakinkan diri nya. Apa dia sanggup untuk membahagiakan gadis yang ia suka? apa dia mampu untuk menjaga gadis nya?"

Sekarang Eiryl mengerti.

"Laki-laki yang baik itu akan selalu khawatir jika suatu saat akan menyukai perasaan gadis yang dia cintai."

"Oh ya?"

"Iya. Seperti papa mu."

Kepala Eiryl terangkat saat papa berjalan masuk ke dalam kamar nya kemudian duduk di samping mama. Ia percaya dengan perkataan mama bahwa papa memang tidak pernah melukai hati mama. Justru papa menjaga semua nya dengan baik.