Ryan melepaskan pagutannya, mengusap air mata yang menetes di pipi Jenna, memandangi wanita itu dengan sepasang iris kelabu miliknya. Menerobos ke dalam manik indah Jenna, membaca dan memahami apa yang kini dirasakan oleh wanita yang ia cintai itu.
"Sekarang bolehkah aku bicara?" tanya pria itu, menanti jawaban Jenna, yang membalas dengan anggukan.
Apa lagi yang ingin dikatakan oleh Jenna. Ia telah mengatakan segalanya meski kemudian sempat merasakan sesal sesaat. Tak apa, setidaknya Ryan kini tahu apa yang ia rasakan. Mereka memiliki rasa yang sama.
"Aku juga tak tahu permainan macam apa ini, Jenna. Aku juga takut jika menurutkan egoku, dan salah mengambil keputusan lalu akan berimbas padamu. Bagaimana jika ... kita lakukan semua dengan permainan. Jika memang takdir yang sedang mempermainkan kita, maka akan ada saatnya kita bersatu, meski entah kapan."