Chereads / Melisa [Cinta Pertama] / Chapter 89 - Melamarku?

Chapter 89 - Melamarku?

Di kafe itu Dion terus mengajakku mengobrol, namun responku tidak begitu baik terhadapnya.

Sejak tadi Dion hanya mengajakku mengobrol yang tidak jelas, terkait setatusnya yang sekarang menjadi seorang Pengusaha Muda.

Padahal aku sama sekali tak mau tahu.

Yang aku nantikan; apa tujuan utama dia mengajakku bertemu.

"Mel, sekarang aku sudah punya usaha sendiri, outlet makananku sudah tersebar di beberapa wilayah, terutama di Jakarta.

Di Semarang sendiri bisnisku juga sangat terkenal," kata Dion.

"Ok, tapi aku gak nanya! Yang aku mau denger, apa tujuan kamu mengajakku bertemu sekarang ini?!" ujarku.

Mendengar pertanyaanku Dion terdiam sesat.

Dan tak berselang lama dia melanjutkan perkataannya.

"Mel, selain aku ingin meminta maaf kepadamu, aku juga ingin balikan sama kamu!" ucapnya. Sorot matanya begitu serius. Namun tidak sedikitpun, ada rasa senang dihatiku, saat mendengar pernyataan ini. Justru aku malah semakin kesal. Dan pernyataan Dion itu malah membuatku menjadi tak nyaman.

"Mel, apa kamu mau balikan sama aku lagi?" Dion menggenggam tanganku. Aku melirik kearah tangan dan segera kulepaskan.

"Mel, aku tahu aku memang pengecut, aku udah nyia-nyiain kamu selama bertahun-tahun, dan sekarang aku ingin menebus semuanya," ucapnya.

Aku tersenyum sinis menanggapinya.

"Gampang banget ngomongnya?" sindirku pada Dion.

"Aku tahu kesalahan aku sulit dimaafkan, Mel. Tetapi aku benar-benar ingin memperbaikinya. Aku meninggalkanmu bukan tanpa alasan?"

"Begitu, ya?" Aku kembali memasang wajah sinis di hadapan Dion.

"Mel, please ... jangan membenciku. Aku dulu merasa tidak pantas untuk mendapatkan kamu ... aku dulu hanya anak putus sekolah yang bekerja sebagai Knek Truk! Mana mungkin aku pantas bersanding dengan kamu, Mel?" ujar Diom dengan raut mengiba kepadaku.

Mendengar ucapan Dion membutku menarik nafas dalam-dalam, aku harus menenangkan pikiranku sendiri.

Jujur emosiku memuncak.

Mungkin apa yang telah dilakukan Dion itu menurutnya sebuah pengorbanan.

Tetapi menurutku itu sesuatu yang menyakitkan.

Aku dulu tak pernah menuntut Dion menjadi yang terbaik, aku bahkan tak peduli dia itu seorang Knek Truk atau apa?

Yang jelas, aku hanya ingin menjalani hubungan dengan baik, besar cita-citaku bersama Dion.

Dulu kupikir dia tak tergantikan, aku hampir melakukan banyak hal bodoh.

Kalau aku masih bisa hidup sampai sekarang mungkin ini pun ... sebuah anugrah!

Karena pada saat itu bisa saja aku mati akibat bunuh diri.

Beruntung aku memiliki sahabat dan keluarga yang selalu mendukungku.

Yah ... aku benar-benar bodoh! Orang lain pasti akan mengatakan demikian. Jangankan orang lain, aku pun juga menilai seperti itu.

'Aku Wanita Bodoh!'

Tetapi yaitulah diriku. Hati dan logika nyatanya tak bisa bersatu. Namun aku dapat menyimpulkan bahwa setiap orang memiliki hati dan mental yang berbeda-beda.

Kalau orang lain bisa kuat melewati sebuah masalah dan menganggap itu hanya hal sepele, belum tentu aku juga bisa melewatinya, dan mungkin aku juga akan menganggap jika masalah itu adalah masalah yang

besar.

Begini istilahnya; menurutmu ini masalah sepele, tetapi menurutku ini masalah yang besar.

Karena apa?

Karena kapasitas hati 'aku dan kamu' yang berbeda-beda!

Pada intinya setiap individu tidak bisa menyamakan orang lain dengan dirinya. Karena bisa jadi dua orang tersebut memiliki tipe hati yang berbeda.

Mungkin orang akan mencela dengan masalah sepele yang aku hadapi. Karena mereka tidak tahu seberapa menderita saat aku menjalaninya?

Setidaknya itulah pelajaran yang dapat aku petik saat menjalin hubungan bersama Dion.

"Mel, kenapa kamu diam? Kamu mau, 'kan maafin aku? Kamu mau, 'kan menjalin hubungan bersamaku lagi?" tanya Dion secara beruntun.

Aku menjawabnya dengan gelengan kepala.

"Mel, aku tahu kamu cinta banget, 'kan sama aku? Kamu sendiri yang bilang kalau aku ini segalanya?!"

Seketika senyum sinisku kembali lagi, karena mendengar pernyataan itu.

Lalu bibir ini segera menjawab pertanyaan Dion.

"Iya! Kamu memang segalanya bagiku, Dion!" ucapku dengan senyuman tipis. Dan tampak raut sumringah di wajah Dion.

"Tapi itu dulu! Sekarang udah enggak!" lanjutku.

Dalam sekejap raut wajah Dion kembali muram.

Entah mengapa aku senang sekali melihat ekspresi itu.

Mungkin dengan begitu, Dion bisa merasakan apa yang aku rasakan dulu.

"Dion! Semua sudah berubah! Aku sekrang sudah tidak sen—" Tiba-tiba Dion memotong kalimatku.

"Beri aku kesempatan lagi, Mel!" pinta Dion.

"Gak mau aku—" Lagi-lagi dia memotong pembicaraanku.

"Mel, please ...." Dion mengeluarkan sebuah kotak kecil dari dalam sakunya.

"Kali ini aku benar-benar serius, Mel! Aku ingin melamarmu!" ucapnya.

Sebuah pernyataan yang membuat aku tercengang.

Dulu dia meninggalkanku, lalu sekarang datang kembali dan ingin melamarku?

Dia pikir aku ini hanya mainan saja! Seketika aku langsung mendorong tangan Dion bersama cincinnya secara perlahan.

"Maaf, Dion! Aku tolak lamaran kamu!" ucapku dengan tegas.

"Kenapa? Apa alasannya? " tanya Dion.

"Alasannya? Kamu masih bertanya alasannya?"

"Tentu saja, Mel! Aku tahu jauh di dalam lubuk hatimu, kamu itu masih mencintaiku, 'kan? Dan kamu menolakku karena kamu yang ingin balas dendam kepadaku! Atau mungkin karena gengsi?"

Aku menggelengkan kepalaku lagi, dan tak habis pikir kenapa Dion masih berpikiran seperti ini kepadaku? Dia ini terlalu percaya diri!

Aku benar-benar sudah muak mendengarnya!

"Stop! Jangan berpikir kalau aku masih cinta sama kamu, Dion! Karena jauh dari dalam hatiku ... saat ini cuma ada satu orang pria saja! Yaitu; Bagas!" ucapku dengan tegas.

Seketika Dion terdiam. Terlukis jelas guratan kekecewaan di wajahnya.

Beberapa saat kemudian Dion kembali mengeluarkan sebuah kalimat dari bibirnya.

"Sudah berapa lama kamu pacaran sama, Bagas?" tanya Dion.

Dengan antusias aku menjawabnya.

"Lumayan lama, sekitar 7 tahunan!" jawabku.

"Oww ...." Dion menundukkan kepalanya sesaat. Kemudian aku melanjutkan pembahasanku tebangan Bagas.

"Dan kamu tahu enggak, kalau selama 7 tahun itu kami hanya berhubungan jarak jauh?"

Kembali Dion terdiam.

Dari apa yang kutanyakan ini, aku berharap Dion akan merasa tersindir atas perbuatannya dulu.

"Meski berhubungan jarak jauh, nyatanya aku dan Bagas bisa bertahan sampai sekarang, bahkan tak ada yang berubah!" ujarku.

"Lalu apa kamu yakin kalau Bagas itu benar-benar mau serius sama kamu?!" tanya Dion dengan nada sedikit tinggi.

Aku terdiam sesaat mendengarnya. Memang Bagas belum membicarakan tentang keseriusannya kepadaku.

Mungkin karena kami masih sama-sama sibuk.

"Kenapa diam? Pasti Bagas belum melamar kamu, 'kan?" Dion tersenyum tipis penuh kemenangan di hatinya.

"Udah kali, Mel! Tinggalin Bagas!Kamu sama aku aja! Aku berjuang supaya sukses begini karena aku ingin menjadi pria yang pantas buat kamu!"

"Sorry, Dion! Aku gak mau!" cantasku.

"Kenapa? Apa lagi yang kamu harapkan dari dia? Bisa bertahan bukan berarti dia serius, 'kan! Bisa jadi dia itu sudah punya selingkuhan di sana!" ujar Dion. Aku benar-benar tak terima dengan apa yang telah di katakan oleh Dion ini.

Dia menuduh Bagas seenakanya! Langsung kugebrak meja di hadapanku.

BRUAK!

Dion sampai tersentak begitu pula orang-orang sekitar, tetapi aku sama sekali tak peduli.

"Dion, aku cuman mau bilang sama kamu, kalau Bagas itu bukan orang seperti, KAMU!" tegasku.

"Seperti aku? Apa maksud kamu, Mel? Aku ini bukan orang yang suka—"

"Selingkuh? Kamu pasti mau bilang kalau kamu itu bukan orang yang suka selingkuh, 'kan?" tanyaku dengan nada menyindir.

"Bukan begitu, Mel! Tapi—"

"Oke! Aku emang gak punya bukti kalau kamu itu selingkuh? Tetapi kedekatan kamu sama Nadira itu udah sukses buat hati aku hancur tahu, enggak?"

"Mel, aku dan Nadira itu—"

"Apa?!"

"Baik, aku akan menjelsan dengan detail," kata Dion.

Bersambung ....