Dengan sedikit keberatan, Dion mulai menceritakan hubungannya dengan Nadira.
Tentu saja aku sangat bersemangat mendengarnya. Aku berharap kali ini Dion berkata jujur kepadaku.
Dion berkata, bahwa saat aku memergokinya yang tengah bersama Nadira, itulah awal dari kedekatan mereka.
Meski begitu Dion tidak mencintai Nadira, hanya saja Nadira yang terus-menerus mendekati Dion tanpa henti.
Bahkan di saat Dion sedang terpuruk, Nadira lah satu-satunya orang yang selalu ada untuk Dion.
Memang kuakui pada saat itu aku tidak bisa selalu ada untuk Dion. Tetapi kalau pada saat itu Dion semakin dekat dengan Nadira karena hal ini, aku tetap tidak akan terima!
Bagaimana pun Dion itu kekasihku! Tidak boleh seenaknya dekat-dekat dengan gadis lain!
Kalau pun dekat atau memang mereka ingin berpacaran, setidaknya mereka harus jujur kepadaku. Putuskan aku dulu! Jangan menghilang seperti hantu.
Setelah kepergian ibunya, Dion mulai kebingungan untuk melunasi hutang-hutang Bu Ningrum semasa hidup.
Di sana Dion tidak memiliki siapa-siapa lagi. Tak ada orang yang bisa membantunya untuk melunasi hutang yang sudah menggununung.
Akhirnya Dion sampai harus menjual mobilnya.
Padahal itu mobil satu-satunya peninggalan dari Bu Ningrum. Akan tetapi Dion tidak memiliki pilihan lain. Bahkan walau sudah menjual mobil sekalipun, uangnya belum cukup untuk membayar hutang-hutang tersebut. Sehingga Dion pun kalang kabut dan sempat ingin menjual rumah peninggalan Bu Ningrum.
Walapun terasa berat bagi Dion. Rumah itu satu-satunya yang ia miliki, dan satu-satunya yang tersisa dari kenangan bersama Bu Ningrum.
Beruntung di saat itu pula Nadira datang dan membantu Dion untuk melunasi hutang-hutang ibunya.
Bahkan orang tua Nadira juga turut membantu Dion.
Ayah dari Nadira juga sudah menganggap Dion sebagai putranya sendiri.
Mereka tinggal dalam satu atap, Dion makan tidur di rumah Nadira, bahkan Dion juga turut ikut bekerja bersama ayahnya Nadira, dengan menjadi seorang Kenek Truk. Sementara ayahnya Nadira menjadi sopirnya.
Seiring berjalannya waktu, mulai tumbuh perasaan cinta di hati Dion terhadap Nadira. Namun Dion belum berani mengatakannya kepada Nadira.
Hingga akhinya Dion malah bertemu denganku.
Dion memutuskan hubungan denganku, kemudian menyatakan perasaan cintanya terhadap Nadira, lalu mereka berpacaran.
Ayah dari Nadira telah mengetahui hubungan sepesial Dion dan Nadira.
Beliau tidak mau kedekatan mereka menjadi fitnah, kemudian orang tua Nadira memutuskan untuk menikahkan Dion dengan putrinya.
Hidup mereka cukup harmonias.
Walau terkadang, Dion masih dihantui dengan perasaan bersalah kerena telah meninggalkanku.
Namun itulah pilihan hidupnya, Dion mengakhiri masa lajangnya dengan menjalani bahtera rumah tangga bersama Nadira. Boleh dibilang mereka menikah muda, karena pada saat itu umur mereka baru genap 20 tahun.
Dari pernikahan itu mereka dikaruniai seorang anak perempuan. Kini anak itu berusia 5 tahun, namanya Andini. Dan tinggal bersama kedua orang tua Nadira.
Karena Nadira sendiri meninggal saat melahirkan putri pertamanya itu.
Setelahnya Dion memutuskan pulang ke Jakarta, dan tinggal untuk beberapa bulan di rumah sang ayah.
Hubungan Dion dengan sang Ayah kembali membaik, ibu tirinya juga sudah meninggalkan karena sakit jantung.
Ayah Dion meminta maaf kepada Dion atas segala kesalahannya. Karena selama ini beliau sudah menelantarkan Dion, dan membiarkan Dion mengurus ibunya tanpa bantuannya sedikitpun.
Kemudian ayahnya Dion memberkkan modal usaha untuk Dion.
Dion menggunakan uang itu untuk membuat outlet makanan hasil dari kreasinya sendiri.
Seiring berjalannya waktu bisnis Dion semakin berkembang, dan dia mulai membuka beberapa cabang di kota Semarang.
Dari satuan, kini outlet itu sudah berubah menjadi puluhan cabang. Bahkan sekarang sudah merambah ke Jakarta.
Setiap bulan omset penjualannya selalu naik.
Bisa dikatakan; saat ini Dion adalah Pengusaha Muda yang sukses.
Dion memutuskan untuk menetap di Semarang menempati rumah Bu Ningrum. Sekaligus agar dia bisa turut mengurus anaknya yang saat ini tinggal di rumah orang tua Nadira, dan yang kebetulan letak rumahnya tepat di depan rumah Dion.
Dion sempat meneteskan air matanya saat dia membicarakan kisahnya, terutama saat mengenang kepergian Nadira.
Sebelum meninggal Nadira juga sempat berpesan kepada Dion, bahwa dia ingin meminta maaf kepadaku.
Dia merasa bersalah, karena pada saat itu dia sengaja merebut Dion dariku.
Dia mengakui jika sengaja memberikan perhatian lebih kepada Dion, bahkan tak jarang dia selalu menjelek-jelekkanku di depan Dion, agar Dion bisa tertarik kepadanya, kemudian melupakan aku.
Dia berhasil mendapatkan apa yang dia inginkan, namun pada akhirnya Nadira malah menyesalinya.
Dia baru sadar jika apa yang telah ia lakukan itu hampir saja merusak masa depanku.
Kerena aku yang tak bisa melupakan Dion, terus-menerus berlarut dalam kesedihan.
Bahkan nilai sekolahku dulu juga sempat anjlok. Aku sempat depresi. Untung saja aku tidak gila atau pun bunuh diri.
Pokoknya berkali-kali aku merasa bersyukur, atas kehadiran teman-temanku dan keluargaku, begitu pula dengan Bagas. Mereka adalah penguatku dan membuat aku bertahan hingga saat ini.
Perasaan bersalah Nadira mulai muncul setelah dia bertemu dengan Laras.
Waktu itu Nadira mengundang Laras di acara pernikahannya.
Dan ternyata Laras dan Nadira itu masih saudara jauh. Lebih tepatnya sepupuan.
Namun mereka tidak terlalu akrab, karena Laras tidak menyukai sikap Nadira yang manipulatif.
Dia sering berdusta, dan sangat pandai mencari perhatian.
Laras yang tak biasanya mengajak Nadira berbicara, tiba-tiba dia mengajak Nadira untuk berbicara empat mata. Laras mengungkapkan kekesalannya terhadap Nadira yang telah merebut Dion dariku.
Waktu itu Nadira sama sekali tak merasa bersalah, dia bahagia di atas penderitaanku. Nadira juga malah menertawakan Laras yang bertingkah sok pahlawan karena telah membelaku.
Laras pun memilih pergi, dan tak mau lagi menemui Nadira.
Kehidupan Nadira dan Dion juga terlihat harmonis, beberapa bulan setelah menikah, Nadira mengandung anak pertamanya.
Namun di saat proses persalinan Nadira mengalami pendarahan hebat (hemoragik) hingga membuatnya kehilangan nyawa.
Sebelum dia meninggal, Nadira sempat mengungkapkan segala penyesalan terhadapku kepada Dion.
Dia mengakui bahwa selama ini dia sering mengatakan hal buruk bahkan memfitnahku di hadapan Dion, hanya demi untuk memiliki Dion seutuhnya.
Namun setelah ia merasa kematiannya seakan dekat, Nadira menyadari jika tidak ada hidup yang abadi di dunia ini.
Bahkan kalau dia pergi, itu artinya dia tak bisa memiliki Dion.
Dia sudah menghabiskan hidupnya untuk menjelek-jelekkan orang demi membuatnya terlihat baik, dan orang yang paling sering ia jadikan korban adalah aku.
Oleh karena itulah, Nadira terus merengek dan memohon agar Dion menyampaikan permintaan maafnya kepadaku.
Dan satu hari kemudian, Nadira dinyatakan meninggal.
***
Mendengar penuturan Dion, aku merasa tersentuh, dadaku mendadak teras sesak, kedua mata ini tak tahan untuk menjatuhkan air yang sudah menggenang kedua manik yang berkaca.
"Aku, harap kamu mau maafkan Nadira, Mel," ucap Dion.
"Dan besar pula harapanku, agar kamu mau menerimaku lagi, Mel. Aku janji sampai kapanpun aku tidak akan meninggalkan kamu!" imbuhnya.
Aku menghela nafas sejenak untuk menenangkan hatiku. Aku tediam sambil menundukkan kepala. Jujur dulu aku sangat membenci Nadira, namun setelah aku mendengar bahwa dia sudah meninggal, aku menjadi sedih, apalagi dia juga sudah menyesali perbuatannya.
Aku telah memaafkannya dengan setulus hati, dan berharap saat ini Nadira tenang di sisi Tuhan.
"Aku sudah memaafkan Nadira, Dion," ucapku.
"Syukurlah ...." Dion bernafas lega.
"Lalu bagaimana dengan lamaranku? Apa kamu mau menjadi istriku?"
Aku kembali terdiam mendengar pertanyaan itu. Kutundukkan kepalaku lagi.
"Aku akan menunggu jawaban itu, Mel! Sampai kapan pun!" ucap Dion.
Aku langsung mengangkat kepalaku lagi.
"Aku akan menjawabnya sekarang!" ucapku.
"Kalau begitu katakan sekarang, Mel! Apa kamu mau menjalin hubungan denganku lagi? Apa kamu mau menjadi Ibu dari anak-anakku? Termasuk Andini?" tanya Dion yang secara beruntun menghujamku.
"Dion, jawabanku tetap sama, aku tidak mau menjalin hubungan apapun lagi denganmu!" jawabku dengan tagas.
Dion kembali kecewa.
"Kenapa? Apa kamu masih ragu? Aku akan menunggu sampai kapanpun kamu siap, Mel!" kata Dion.
Aku menggelengkan kepalaku sebagai bentuk penolakan terhadapnya.
"Kamu gak perlu menungguku dalam waktu lama! Itu hanya akan membuang waktumu saja, Dion! Karena sampai kapanpun perasaanku gak akan berubah! Aku sudah tidak mencintaimu!"
"Kamu ... yakin, Mel?" tanya Dion dengan suara parau.
Aku menganggukkan kepalaku lagi. Dan aku pun langsung berdiri seraya meraih tasku.
"Aku yakin ada wanita yang jauh lebih baik untukmu diluaran sana!" ucapku.
"Tapi aku maunya cuman kamu, Mel!"
"Dion, aku janji dalam waktu dekat ini aku akan memberikan kabar baik untukmu, kabar tentang pernikahanku!" Kemudian kakiku mulai melangkah.
Namun Dion menggenggam tanganku.
"Coba pikirkan ulang, Mel! Aku siap menunggumu, Mel!" Dion masih berusaha meyakinkanku. Namun semuanya sia-sia, karena hatiku sudah tak bisa berubah.
"Maaf!" ucapku seraya melepas tangan Dion dari pergelangan tanganku. Kemudian aku pergi.
Kulirik sesaat Dion masih berdiri di depan meja dengan raut wajah yang kecewa. Aku sedikit kasihan namun sayangnya, cintaku sudah terlanjur hilang.
Bersambung ....