Aku dan Elis langsung terdiam saat Jeni berkata, 'kata siapa kita, lemah?'
Tentu saja kalimat itu adalah ungkapan paling langka yang pernah Jeni ucapkan.
Karena seperti yang aku, dan Elis, ketahui, jika Jeni itu sangat penakut. Kali ini Jeni sedikit lebih pemberani dari biasanya.
Entah apa yang membuatnya berubah?
Apa karena sifat kasar Elis itu mulai menular pada Jeni?
Ah ... rasanya tidak mungkin juga! Lagi pula Elis, 'kan bukan Panu! Mana bisa nular-nular?
"Eh, Melisa, Elisa! Kita gak boleh tinggal diam!" ujar Jeni.
"Ya terus kita mau ngapain, Jen? Apa rencana elu?" tanyaku pada Jeni.
"Udah, gue tadi bilang apa? Jangan cari masalah sama mereka lagi! Mereka itu berbahaya!" ujar Elis. Nampaknya Elis benar-benar kapok bila harus berhadapan dengan Julian lagi.
Tapi Jeni tetap ngeyel untuk membalas semua perbuatan Julian terhadap Elis.
"Udah, percaya deh sama aku! Kita pasti bisa kok melawan Julian! Buktinya melawan Dino aja berhasil!" ujar Jeni.
"Aduh, Jen! Dino, sama Julian, itu beda jauh! Julian bener-bener berbahaya, kalau Dino, 'kan cuman anak SMA yang lemah kayak kita!" sahut Elis.
"HEY!" teriak Jeni dengan lantang, sampai membuat aku dan Elis tersentak.
"Kamu jangan sebut-sebut kita, Anak SMA Lemah! Karena kita itu tidak lemah!" tegas Jeni.
"Tapi, Jen—" kalimat Elis terpotong.
"Udah, deh kalian diam aja! Aku bakalan dapet ide untuk melawan Julian!" ujar Jeni dengan penuh yakin.
"Tapi, kapan idenya akan muncul?" tanyaku pada Jeni.
"Secepatnya!" jawab Jeni singkat.
Aku dan Elis menurut saja dengan ucapan Jeni.
Dia walau terlihat agak lembek dan sering mengalah, tapi sebenarnya Jeni itu jenius. Lagi pula sikap dia sekarang juga sudah tidak selembek dulu.
Kini Jeni telihat garang, bahkan lebih garang dari Elis. Justeru saat ini Elis yang terlihat lemah di depan Jeni.
Mungkin efek dia yang masih trauma dengan Julian.
"Yaudah, deh, kita setuju sama rencana elu, Jen," ujar Elis.
"Nah, gitu dong!" kata Jeni.
"Tapi kalau gagal bagaiamna?" tanya Elis agak ragu-ragu.
"Ya kita ini belum bertempur, El! Jangan langsung ngomongin gagal deh!" ketus Jeni.
"Habisnya si Julian itu aslinya serem benget lo, Jen,"
"Ssst," Aku berbisik pada Elis, "udah, kita turutin aja, jangan banyak ngebantah," lirihku.
"Gue takut gagal, Mel, mereka itu berbahaya lo," kata Elis dengan suara pelan.
"Udah, mending kamu percaya aja sama, Jeni, dulu masalah Dino aja kita berhasil, pasti kali ini kita juga berhasil!"
"Ya tapi—"
"Inget, El, teman kita yang satu ini, 'kan walau mukanya bego, tapi otaknya jenius lo," ujarku meyakinkan Elis.
Kemudian Elis mengangguk paham.
"Iya, juga ya, elu bener, Mel," kata Elis.
***
Besok malamnya aku, Elis, dan Jeni, mulai mendatangi klub malam milik Julian.
Tentu saja, sebelum mendatangi tempat ini, kami sudah menyusun rencana matang-matang. Bahkan hari libur kami habiskan untuk berdiskusi serta menyusun rencana ini.
Kami juga datang dengan penampilan yang berbeda.
Aku menggunakan make-up tebal dengan warna lipstik merah terang. Bukan hanya aku, Elis dan Jeni, juga berpenampilan sama. Kami menggunakan rambut palsu untuk menutup kepala kami, tak lupa dress seksi dengan syal bulu-bulu yang membuat penampilan kami terlihat ... norak.
Tapi kata si Embak Salon langganan Mama yang telah mendandani kami berkata; jika penampilan kami kali ini benar-benar berbeda jauh dari penampilan kami yang sebelumnya. 'Yaiyalah, hello!'
Dia merombak bentuk wajah asli kami dengan tekhnik contouring.
Konon kata si Embak Salon, penampilan kami terlihat sangat cantik serta dewasa dari umur aslinya.
Dan dia juga sangat yakin jika penampilan kami ini bisa menggoda para Om-om Hidung Belang.
Tapi entah mengapa aku merasa jika penampilanku ini tidak cantik sama sekali. Malah lebih mirip ondel-ondel yang sering keliling kampung dengan musik khasnya.
"Sst ... El, Jen," lirihku pada kedua temanku.
"Ada apa sih, Mel?" tanya Jeni.
"Jen, gue gak PD nih!" ujarku.
"Iya, ini penampilan macam apa sih? Kok gua kayak Mbak-mbak yang ada di Taman Lawang," imbuh Elis yang juga mengeluhkan penampilannya.
"Itu, Mas-mas kali, El, bukan Embak-embak," ujarku membenarkan ucapan Elis.
"Tapi, 'kan mereka penampilannya kayak Embak-embak!" kata Elis menyahuti ucapanku.
"Ih, kalian ini apa-apaan sih? Kita ini lagi nyamar! Jadi jangan pada berisik!" bentak Jeni kepadaku dan Elis.
"Kita disuruh diam, tapi elu ngomong kenceng banget," gumam Elis. Dan Jeni langsung menutup mulutnya yang keceplosan tadi.
"Ya habisnya gara-gara kalian juga sih," keluhan Jeni.
"Huh," Elis mendesis kesal dengan hidung kembang kempis.
Kemudian dengan gaya sok percaya diri kami mulai tebar pesona. Lalu kami duduk di salah satu bangku pengunjung.
Semua mata tertuju kearah kami.
Kemudian Elis berbisik kepadaku dan Jeni.
"Sst... di sini ada Om Tito tahu," ujar Elis.
"Serius? Yang mana orangnya?" tanyaku.
"Itu, yang pakek baju warna abu-abu monyet, perutnya buncit, terus palanya botak," jelas Elis.
"Oh, astaga!" Aku yang reflek sampai bersuara dengan nada tinggi. Jeni dan Elis langsung membekap mulutku.
"Ih, Mel, berisik banget deh," bisik Jeni.
"Sorry, abisnya Om-om itu mukanya ancur banget, pantesan Elis sampai trauma," ujarku.
"Haduh, jangan bikin masalah makanya, ayo fokus sama tujuan kita berada di sini," ujar Jeni.
Akhirnya aku dan Elis kembali fokus dengan tujuan awal.
***
Melihat penampilan kami yang teramat mencolok, lalu Sarah berjalan mendekat.
Aku bisa tahu kalau wanita itu adalah Sarah kerena Elis sudah menceritakan ciri-ciri Sarah sejak awal, sehingga kini aku bisa mengenalinya.
"Hai, kalian pengunjung baru klub malam ini ya?" tanya Sarah dengan ramah.
"Iya, kami pengunjung baru di sini," sahut Jeni, dengan nada bicara yang dibuat-buat sok dewasa.
"Wah, kelihatanya kalian ingin para Ibu-ibu sosialita ya?" tanya Sarah.
Lalu aku menganggukkan kepalaku, sedangkan Elis lebih sering menunduk, sepertinya dia masih takut jika Sarah dapat mengenalinya. Padahal aku sangat yakin jika Sarah tidak akan bisa mengenali kami, saat berkaca saja aku tadi sampai kaget dan nyaris tidak kenal dengan wajahku sendiri, apalagi Sarah.
Tapi aku dapat memaklumi jika Elis takut ketahuan karena dia masih trauma.
Oh iya hampir lupa bercerita, jika kami bisa masuk ke klub malam ini karena meminjam KTP para Mbak-mbak Salon, yang kebetulan mereka semua sudah dewasa dan semua sudah memiliki KTP. Yah dengan terpaksa kami harus membayar uang sewa kepada mereka ....
Petugas yang mengecek kami tidak terlalu teliti, dan tidak sampai membandingkan wajah kami dan KTP, mereka hanya memeriksa umur dalam KTP saja sehingga kami bisa melenggang masuk dengan mudah.
"Mbak, pemilik klub malam ini ya?" tanyaku.
"Saya ... ah, klub malam ini milik pacar saya, Mbak, kenapa ya? Ada yang bisa saya bantu?" tanya Sarah.
Bersambung ....