Elis masih terdiam, dan kedua sudut netranya mengeluarkan cairan bening.
"Elis, kenapa?" tanyaku lagi, "ayo cerita sama kita," suruhku.
"Yuk, cerita di taman belakang aja mumpung masih sepi!" ajak Jeni.
Dan aku pun bergegas kesana, Elis juga tampak pasrah mengikuti kami.
Elis benar-benar tak terlihat seperti biasanya, dia lebih sering diam dengan wajah murungnya.
Kemudian kami duduk di sebuah kursi panjang yang terbuat dari besi.
Jeni memberikan satu botol air mineral untuk Elis, kebetulan dia selalu membawanya dari rumah.
"Sekarang kamu udah tenang, 'kan?" tanyaku.
Elis menganggukkan kepalanya.
"Ayo sekarang kamu ceritain sama kita, El," suruh Jeni.
Meski dengan mulut yang bergetar, dan derai air mata yang kembali mengalir deras, gadis yang terkenal paling preman di antara kami itu mulai bercerita.
Kata Elis, kesedihannya dimulai saat tadi malam dia pergi bersama Julian.
Seperti yang yang kami ketahui, sejak pertemuan Elis dengan Julian pada saat itu, mereka semakin dekat, dan dua hari setelah kencan di Restoran Seafood. Julian menyatakan perasaannya kepada Elis.
Akhirnya mereka berpacaran.
Tentu bagi Elis ini seperti sebuah mimpi yang menjadi nyata. Ternyata untuk mendapatkan hati seorang pria yang ia sukai tidaklah sulit.
Dan Julian juga memperlakukan Elis dengan baik, puncaknya tadi malam.
Julian mengajak Elis pergi ke sebuah klub malam.
"Kak Jul, kok ngajak aku kesini sih? Aku, 'kan belum punya KTP?" tanya Elis.
"Tenang aja, kamu tetap bisa masuk kok, aku kenal sama pemilik klub malam ini," jawab Julian.
"Tapi—"
"Udah gak apa-apa!" Julian menarik paksa tangan Elis.
Pertama kali memasuki tempat itu, Elis merasa sangat canggung. Sebelumnya dia tidak pernah menginjakkan kakinya di tempat seperti ini.
Dia juga merasa bersalah terhadap sang Ibu, karena telah memasuki tempat seperti ini tanpa seizin beliau.
Tapi mau bagaiamana lagi, Elis tidak enak dengan Julian kalau harus keluar sekarang, akhirnya dia terpaksa masuk meski dia merasa tak nyaman.
Di dalam klub malam itu Julian bertemu dengan para teman-temannya, mereka saling bersalaman tangan ala anak muda pada umumnya, bahkan saling mencium pipi saat bertemu dengan teman wanitanya.
"Hay, Jul!" sapa seorang wanita cantik, dengan pakaian seksi. Dia mengenakan mini dress hitam ketat hingga membentuk postur tubuhnya. Dan kakinya yang jenjang semakin indah dengan sepatu hak tinggi yang membalut jari-jari dan tumit wanita itu.
"Hay, Sarah, makin cantik aja!" sahut Julian seraya berpelukan dan saling cium pipi kanan dan kiri dengan wanita itu.
Elis benar-benar merasa risih dan cemburu.
Selain itu dia juga merasa minder, karena dari segi wajah dan penampilan, dia kalah jauh dengan wanita itu.
"Siapa dia, Jul?" tanya si wanita seraya menunjuk kearah Elis.
"Namanya, Elisa, panggil aja Elis," sahut Julian.
"Wah, sangat polos dan menggoda," ucap wanita itu memuji Elis. Lalu dia mendekati Elis dan melihat penampilan Elis dari atas ke bawah.
"Tinggal sedikit polesan aja, pasti dia bakalan perfect," ucapnya lagi.
Elis merasa bingung dan tak mengerti dengan ucapan wanita itu.
"Hay, Elis, salam kena!" sapanya dengan ramah, seraya mengulurkan tangan, mengajak Elis berkenalan, "namaku Sarah!" ucapanya.
Elis menyambut tangan wanita itu.
"Hay, Kak Sarah," sahutnya sambil tersenyum ramah.
"Kamu ikut aku yuk!" ajak Sarah.
"Apa! Apa!" Elis tidak mendengar jelas ajakan Sarah, karena bunyi musik di tempat itu begitu kencang.
"AYO IKUT AKU!" Sarah mengulangi kalimatnya dan kali ini lebih memperkencang suaranya.
"Kemana?!" tanya Elis.
"Ayo!" Sarah menarik tangan Elis dengan paksa tanpa menunggu persetujuan dari Elis.
Elis terkejut saat Sarah mengajakanya masuk ke dalam sebuah ruang ganti, dan di dalam sana ada banyak sekali baju-baju seksi dengan merk ternama.
"Kita mau ngapain, Kak?" tanya Elis yang masih bingung.
"Aku mau dandanin kamu biar keliatan lebih cantik," jawab Sarah.
"Tapi—"
"Udah sini!" Sarah kembali menarik tangan Elis dan mengajaknya mendekat kesebuah jajaran pakaian yang di gantung.
Kemudian Sarah meraih sebuah mini dress berwarna merah tua untuk Elis.
"Yang ini kayaknya cocok," Sarah juga memilihkan sepatu untuk Elis.
"Sepatunya bagus yang merah atau hitam ya?" Sarah malah terlihat bingung untuk menentukan.
"Kayaknya kalau pakek yang hitam lebih cocok, eh ngomong-ngomong berapa nomor kaki kamu, El?" tanya Sarah pada Elis.
"Tiga Puluh Delapan, Kak!" jawab Elis.
"Wah, kok bisa pas banget ya, ok kamu pakek sepatu ini,"
Sarah memberikan baju dan sepatu itu kepada Elis.
"Kamu pakai ini ya, aku tunggu di sini," ujar Sarah.
"Maksudnya? Aku disuruh ganti pakak baju ini?" tanya Elis.
"Ya yaiya dong, Sayang! Kamu pakek baju itu, nanti aku bakalan buat wajah kamu jadi cantik!" ujar Sarah.
"Tapi buat apa, Kak? Aku gak mau dandan aneh! Aku takut gak nyaman!" ujar Elis.
"Udah kamu pakek aja, Elis, gak apa-apa kok!"
"Tapi, ini dress-nya pendek banget lo, Kak! Aku gak PD ah!" ujar Elis.
"Elis, please deh! Ini semua barang-barang mahal, aku minjemin buat kamu supaya kamu lebih kelihatan modis, aku peduli lo sama kamu!" ujar Sarah.
"Tapi, Kak, buat apa coba?"
"Udah kamu pakek aja, Elis, kamu gak mau, 'kan pacar kamu yang genteng itu lirik-lirik cewek lain yang lebih cantik?"
"Tapi—"
Sarah kembali memotong kalimat Elis.
"Elis, kamu tuh enggak tahu ya, kalau Julian itu suka sama cewek yang cantik dan modis? Dan aku juga jamin kamu bakalan dapat banyak keuntungan kalau mau pakek baju ini," bujuk Sarah pada Elis.
Meski terus menolak tapi Sarah berhasil membuat Elis percaya dan mau menuruti perintahnya.
Elis mengenakan pakaian yang dipilihkan oleh Sarah, setelah itu Sarah juga merias wajah Elis dengan make-up tebal.
Elis terlihat 180° berbeda dari biasanya. Bahkan saat bercermin Elis hampir tak mengenali dirinya sendiri.
"I-i-ini beneran aku, Kak?"
"Ya iya dong, Elis! Gimana? Cantik, 'kan?"
"Iya, sih cantik aku kok mirip Taylor Swift ya?" ucap Elis dengan polosnya.
Dan Sarah hampir tertawa mendengarnya.
"Umprt! Kamu emang aslinya cantik kali, El! Cuman kurang polesan dikit!" ucap Sarah.
Kemudian Sarah mengajak Elis keluar dari dalam ruang ganti.
Elis benar-benar merasa tidak nyaman, pujian Sarah tidak berarti apa-apa, Elis tetap merasa tidak percaya diri.
"Kak, aku gak PD, ini kayak gak pakek baju tahu," bisik Elis menutup bagian belahan dada yang sedikit terekspos. "Ini kalau masuk angin gimana, Kak?" ujar Elis.
"Elis!" panggil Julian seraya berjalan mendekat.
"Kamu cantik banget!" puji Julian.
"Masa?" Elis terdiam sejenak.
"Iya!" jawab Julian, "udah gak usah ditutupin!" ujar Julian seraya menyingkirkan tangan Elis yang menutup bagian dadanya.
Bersambung ....