Cuaca cerah seakan kelabu, aku masih berdiri dengan kedua mata yang sembab.
Hari ini tepatnya ... aku akan berpisah dengan Dion.
Pria yang menjadi cinta pertamaku.
"Mel, maafkan aku ya, aku harus pergi ...." Ucapnya sambil mengelus rambutku dengan lembut. Dion juga tampak bersedih karena harus berpisah denganku.
Aku pun menangis sesenggukan, dengan suara berat tertahan, aku mengutarakan perasaanku yang teramat rapuh.
"... Dion jujur aku belum rela harus berpisah denganmu. Tapi Ibumu, lebih membutuhkanmu ... aku harap kamu baik-baik saja di sana, tolong jangan lupakan aku ...," tukasku dengan suara bergetar.
Dion memeluku dengan erat dia pun seolah tak ingin meninggalkan aku, tapi di sisi lain dia harus pindah keluar kota karena harus mengurus ibunya yang sedang sakit keras, ditambah lagi, sang ayah sudah menikah dan memiliki keluarga baru di Jakarta, tentu dia tak ingin membiarkan ibunya terlunta-lunta menahan rasa sakit sendirian. Begitu pun aku, yang juga tak ingin menjadi orang yang egois dan mengabaikan kesusahan orang lainya demi kebahagiaan cinta anak SMA, yang bisa dibilang hanya sekedar cinta monyet.
***
Aku mengenal Dion saat pertama kali masuk sekolah.
Kala itu kami sedang mengikuti kegiatan MOS (masa orientasi siswa)
dan aku tak sengaja bertemu Dion saat kami sama-sama dihukum.
"Ayo pokoknya yang telat datang hari ini akan mendapat hukuman ya!" kata kak Dela selaku ketua OSIS.
"Oh my God! Mati deh gue," gumamku panik.
"Tenang kamu gak sendiri kok, aku juga telat, " sahut seorang anak lelaki yang juga baru datang dan sekarang ada di sampingku.
"Wah untung ada teman, kalau egak pasti gue bakal malu banget nih," ujarku sambil menarik nafas lega.
"Oiya kenalin aku Dion, nama kamu siapa?"
tukasnya sambil mengulurkan tangan.
"Ah gue Melisa, seneng deh gue punya teman baru," sahutku seraya menjabat tangan pria itu.
Saat kami sedang asyik mengobrol dan berkenalan tiba-tiba terdengar suara yang melengking dari kejauhan
"WOY! kalian ini malah pacaran disini sih!" teriak Kak Dela dengan lantang, "berhubung kalian telat, jadi kalian dihukum bersihin toilet sekolah sekarang juga!" perintahnya.
Suara Kak Dela memang terkenal sangat cempreng.
Kadang kalau dia berteriak semua orang sampai menutup telinga.
Lalu aku dan Dion pun membersihkan toilet. Menuruti perintah Kak Dela.
'Hoek! Hoek!' Suara mulutku sambil menyikat WC sekolah. Aku tak tahan dengan baunya, terlebih aku jarang sekali membersihkan WC, di rumahku sudah ada ART yang selalu siaga membersihkan toilet dan mengerjakan tugas-tugas yang lainnya.
"Kamu kenapa Mel, kamu hamil ya?" tanya Dion dengan wajah polosnya.
Aku pun menyahuti ucapan Dion dengan nada murka.
"Woy enak aja punya mulut asal njeplak, emang gue cewek apaan main bunting-bunting aja! Gue muntah karna gak tahan tuh sama WC nomer 3 gak disiram! Iyuh ... mana bau banget!" keluhku jijik.
Sementara Dion malah tertawa geli melihat ekspresiku yang mungkin terlihat lucu di matanya.
"Iya maaf, eh ... Mel, mulai sekarang ngomongnya 'aku-kamu' aja ya, biar kelihatan imut gitu jangan 'lo-gue' kesanya kayak Abang-abang Preman Tanah Abang, yang lagi malak!" ucap Dion dengan nada bercanda.
Saat Dion berbicara seperti itu, entah mengapa aku jadi deg-degkan padahal hanya bercandaan Dion yang super-duper garing, tapi aku merasa bahagia dan mulai merasa nyaman dengan keberadaan Dion. Mulai dari situ kami pun semakin akrab.
Aku dan Dion selalu bersama-sama bahkan kami juga duduk dalam satu bangku di kelas 10 A.
Dion adalah teman pertamaku saat SMA dan siapa sangka dia pun juga menjadi cinta pertamaku.
***
Di dalam kelas yang sepi di jam istirahat, semua siswa dan siswi sedang berada di kantin, tapi tidak denganku saat itu.
Karna aku sedang tidak enak badan jadi nafsu makan pun berkurang, lalu aku memutuskan untuk diam dikelas dan memilih tidur dengan menaruh kepalaku di atas bangku.
Tak lama Dion menghampiriku.
"Mel kamu sakit ya? Badan kamu panas nih," Dia menyentuh keningku.
"Hm ... iya ni gue sakit, Dion, eh 'aku' maksudnya," jawabku yang hampir saja memanggi diriku sendiri dengan sebutan 'gue' kata yang tak disukai oleh Dion.
"Apa yang kamu rasakan?" tanya Dion.
"Badan aku gak enak, aku mual, kepalaku juga pusing," jawabku.
"Hah kamu hamil?"
Sahut Dion sambil ngegas dengan nada sopran.
Astaghfirullah! Lagi-lagi mulutnya asal njeplak dan menuduhku hamil!
"Woy! Enak aja lu kalau ngomong jangan asal nyerocos dong! Nanti kalau kedengeran orang disangka beneran lagi!" ocehku.
"Hehe bercanda Mel, marah mulu kayak orang darah tinggi aja, yaudah kita ke klinik yuk!" ajaknya.
"Ah enggak ah ... aku tidur aja," jawabku
"Terus kamukan belum makan, aku beli makan dulu ya buat kamu!" ucap Dion sambil berdiri dari tempat duduknya.
"Ah gak usah, aku gak papa kok," ujarku lemas, karna aku memang benar-benar sedang tidak ingin makan apapun untuk saat ini.
"Udah kamu diem aja ya!" teriak Dion yang tetap ngeyel.
Aku pun pasrah, dan kembali menaruh wajahku di atas meja.
Beberapa menit kemudian dia membawa banyak makanan dari kantin beserta obat masuk angin cair dicampur dengan teh hangat.
Sambil menepuk pelan pundaku yang sedang tidur menunduk dibangku, dia memanggil namaku.
"Mel, ini kamu makan dulu ... aku suapin ya?"
Mendengarnya aku langsung mengangkat kepalaku pelan-pelan.
"Hah ... buset banyak amat ni makanan lu ngegondol dari mana?!" teriakku dengan bahasa nyablak, kalau kata orang Betawi. Aku berbicara dengan logat ala orang Betawi, padahal aku adalah gadis berdarah Jawa. Hanya saja karna lahir dan dibesarkan di Jakarta, membuatku menjadi ikut membaur dengan penduduk asli sini.
"Sembarangan aja 'ngegondol' emang aku kucing gondol ikan! Aku mah Pangeran yang ngegondol hati kamu, tau ...." Ucap Dion dengan senyum sok imutnya.
"Iyuh, gombal lu!" ujarku dengan nada sewot seolah tak suka dengan gombalan Dion, padahal dalam hatiku, aku sangat menyukainya dan bahagia dengan gombalan-gombalan norak itu.
"By the way, anyway, busway, ngomongnya jangan 'lu-gue' dong aku gak suka ah entar aku ngambek lo," Dion kembali memang wajah sok imutnya kali ini dengan ekspresi cemberut.
Aku pun juga tak mau kalah imut darinya.
"Yaelah lebay banget sieh kamuh ...!" Nada suaraku sengaja kubuat agak bindeng.
Dion malah menertawakanku. Lalu dia menyodorkan teh hangat untukku.
"Dah ni minum aja gak usah ngambek mulu entar cepet tua tambah jelek lo!" ujarnya.
*****
Kami pun pulang dengan mengendari angkutan umum. Lalu berhenti di perempatan jalan gang masuk, kami memang searah, dan rumah Dion pun tak begitu jauh dari rumahku.
Saat kami berjalan kaki, tiba-tiba kepalaku mendadak pusing, lalu aku tak sadarkan diri.
Beberapa saat kemudian ... entah apa yang terjadi tiba-tiba aku sudah bangun dan berada diatas sofa rumahku.
"Loh kok aku tau-tau ada disini sih?" tanyaku pada Dion heran.
"Iya Mel, kamu tadi pingsan jadi aku bawa kerumah aja," tegas Dion
"Oh makasi ya Dion kamu udah gendong aku sampek sini, untungnya aku gak gendut, jadi kamu gak keberatan, gendongnya," ujarku dengan nada bercanda.
"Ye gak berat apaan! Kamu emang kurus tapi badan kamu tetap berat! Soalnya kebanyakan dosa sih!" celetuk Dion meledek.
"Ah apaan si lu!" sengutku kesal.
"Udah jangan marah yang penting kamu makan dulu abis itu minum obat, tadi aku panggil Bidan yang tinggal di samping rumah kamu itu, untuk memeriksa keadaanmu," pungkas Dion.
Aku sampai kaget mendengarnya, karna mengapa harus panggil Bidan? Padahal aku ini tidak hamil?
"Dion! Kamu sampai panggil Bidan?" teriakku heboh. Dan Dion malah tampak bengong.
"Pasti kamu masih mikir kalau aku ini hamil ya?"
Sambil menghela nafas kesal, Dion menjawab pertanyaanku.
"Duh kamu tu seuzon mulu, emang periksa bidan kusus buat orang hamil doang?" ucapnya.
sejenak aku diam dan bicara dalam hati 'Oiya ya, 'kan bidan juga bisa ngobatin orang sakit gak cuman orang lahiran aja, aduh malunya ...!' Aku menepuk kening sendiri.
Setelah itu Dion tak langsung pulang ke rumahnya, justru dia malah menemaniku yang sedang sakit sendirian, karena waktu itu ayah dan ibu sedang diluar kota, si Embak yang bekerja dirumahku juga sedang pulang kampung.
jadilah apa saja kulakukan sendiri. Mungkin Dion tak tega untuk meninggalkanku.
Saat aku sedang meringkuk di sofa, Dion mengambilkan selimut untukku.
Terasa begitu nyaman, karena memang kala itu tubuhku sedang menggigil kedinginan.
Aku mulai memejamkan mata, tiba-tiba Dion, menggengam tanganku dengan pelan, tapi semakin lama genggaman itu semakin erat. Mendadak suasana menjadi senyap. Dan jantungku seolah ingin loncat. Karena aku berfikir pasti Dion akan menyatakan perasannya kepadaku ....
Ternyata dugaanku memang benar, Dion menyatakan perasaannya kepadaku. Atau dalam bahasa gaulnya 'nembak'
"Mel, sebenarnya aku suka sama kamu. Kamu mau enggak jadi pacar aku?"
Bersambung ....