Chereads / Mata ketiga Suamiku / Chapter 5 - Setelah menikah

Chapter 5 - Setelah menikah

Perlahan aku melangkah menghampiri Felix, sungguh aku sama sekali tidak mengerti dengan apa yang ia ucapkan.

"Maksudmu apa?"

"Kalau kau mau keluar jangan sendiri, biar aku temani," tuturnya lalu menggandeng tanganku.

Entah mengapa, aku mengikuti saja perkataannya bagai kerbau dicocok hidungnya. Mungkin karena tubuhku terlalu lelah makanya aku tidak ingin berdebat dengannya.

Sepanjang perjalanan kita sama-sama diam membisu dan sibuk tenggelam dalam pikiran masing-masing. Sejujurnya, entah mengapa aku merasa cukup nyaman berada dekatnya.

Di sisi kiri jalan, aku melihat sebuah kedai sate yang cukup ramai, mungkin makanan di sana enak.

Aku menunjuk kedai tersebut kepada Felix tetapi pria itu malah memalingkan wajahnya seolah tidak mau mendengarkanku, sungguh membuat ku kesal.

"Felix aku lapar, kenapa gak berhenti di sana sih?" geramku yang mulai kesal.

"Jangan, di sana! Jorok!" ucapnya datar.

Aku berdengus kesal, pria ini benar-benar sangat merepotkan. Felix tiba-tiba mengusap lembut kepalaku.

Namun, aku yang memang sudah kesal hanya diam saja menatap ke arah jendela mobil.

Akhirnya kita menepi di sebuah kedai soto tangkar, aku yang merasa sangat lapar segera makan dengan lahap tanpa memperdulikan Felix yang terus tersenyum menatapku.

"Karin,"

"Emm"

"Apa kau mau liburan?"

Aku menganggukan kepala dengan cepat tanpa berkata, maklum saja mulutku masih penuh dengan nasi hingga pipiku mengembung.

"Minggu depan kita ke Bali ya, aku ada keperluan di sana."

"Yes!!!" pekikku spontan, hingga tak sengaja makanan di mulutku menyembur ke arahnya.

"So-sorry!"

Aku langsung membersihkan wajahnya yang terkena cipratan makanan dari mulutku, terapi pria itu hanya terus tersenyum yang semakin membuatku tidak enak hati.

Aku tak sengaja melihat buku sketsa kecil yang selalu ia bawa kemana-mana, jiwa penasaranku bangkit Kala melihat gambar-gambar aneh yang sedikit menyeramkan di sana.

"Felix, kamu kenapa selalu membawa buku itu kemana-mana?"

"Oh ini, aku hanya senang menggambar apa yang aku lihat, lumayan bisa jadi referensi saat aku menulis."

"A-apa yang kau lihat?"

Felix hanya mengangkat kedua alisnya tanda menjawab pertanyaan dariku, demi apapun bulu kudukku meremang seketika.

Karena tadi aku melihat ia menggambar kedai sate yang tadi aku tunjuk, dengan para pocong yang meneteskan air liur pada makanan yang di santap para pembeli.

"F-fel sebenarnya pekerjaan kamu apa? Maaf jika aku tidak sopan."

Pria itu tersenyum lebar, lalu ia mencubit lembut hidungku dengan lembut.

"Kenapa kau merasa tidak enak? Aku kan suamimu. Wajar lah jika kau bertanya, aku seorang penulis Novel horror dan kadang aku membuat komik horror."

Aku hanya mengangguk-anggukan kepalaku, ah mungkin kebanyakan mengkhayal makanya ia melihat yang tidak-tidak. Hampir saja aku terpengaruh karenanya.

..........

"Meneer, aku sungguh mencintaimu," tutur seorang wanita yang memakai kebaya putih polos.

Wanita itu tengah berada di pelukan seorang pria kebangsaan Eropa yang berada di hadapannya.

"Ik juga mencintai u, ik ingin menjadikan u istri ik."

"Joseph Van Michiels ! Apa yang u katakan? Apakah u sudah tidak waras?"

Seorang wanita paruh baya tiba-tiba datang dan memisahkan dua sejoli yang tengah memadu kasih tersebut. Wanita blonde yang memakai gaun putih itu nampak murka, wajah putihnya terlihat merah padam.

"Sadarlah! Perempuan anak babu ini bahkan tidak pantas u jadikan gundik!" cerca wanita itu, sorot penuh kebencian tersirat jelas dari manik birunya.

PLAK!

"Dasar perempuan sundal, menjauhlah dari putra ik!"

Aku membuka mataku, Ah ... hanya mimpi! Tapi kenapa hatiku terasa sangat sakit.

Aku bahkan tidak dapat mengingat jelas wajah orang-orang yang muncul di mimpi itu, tetapi yang aku tahu pasti, pasangan itu adalah orang yang sama seperti mimpi buruk yang selalu berulang di setiap malam Jumat.

"Karina kau kenapa?"

Suara itu menyadarkanku kembali, aku melihat sekeliling. Seingatku, tadi aku tertidur di mobil saat perjalanan pulang setelah makan malam.

"Aku di mana?"

"Kita sudah di vila, tadi kau tertidur dan akhirnya aku gendong, karena aku tidak tega membangunkanmu," jawab Felix.

Aku mulai menggali ingatanku lebih dalam, sungguh karena mimpi itu aku seperti orang linglung.

Aku melihat sekeliling dan benar, ini kamarku di vila yang kami sewa. Kini pandanganku tertuju pada Felix yang dengan santainya berbaring di sampingku tepatnya seranjang denganku.

Aku terperanjat, melihat Felix yang tengah asik memainkan ponselnya.

"K-kamu ngapain di kamarku!"

Aku menutupi tubuhku dengan kedua tanganku, sedangkan Felix hanya tertawa geli melihat tingkahku yang panik.

"Kau ini bagaimana, apa kau lupa bahwa aku sudah sah menjadi suamimu? Ya ampun, istriku kok sudah pikun."

Felix perlahan mendekatiku yang bergeming di pojokan kamar, pria itu mengulas senyum dan membelai wajahku.

Matanya, ya ... manik mata berwarna birunya benar-benar membiusku. Pandangan kami bertemu dan seakan terkunci satu sama lainnya.

Sungguh aku benci untuk mengakuinya, tetapi mata itu benar-benar terlihat indah.

"Kita sudah menikah Loh, kau bahkan seutuhnya telah menjadi milikku." Felix berbisik, hembusan napasnya yang hangat begitu terasa di telingaku dan seketika membuat bulu kudukku meremang.

Pletakk!

"Tidurlah sudah malam, besok kita harus siap-siap pulang."

Felix menyentil keningku, lalu tersenyum jahil saat melihatku mengusap-usap keningku.

"Ayo sini! Tenang saja, aku gak akan macam-macam," ucapnya sambil menepuk-nepuk ranjang.

..........

Sang Surya telah beranjak dari peraduannya, memancarkan cahaya yang menelusup lewat jendela kamar.

Aku mengerjap-ngerjapkan mata, kulihat jam sudah menunjukan pukul enam pagi. Namun alih-alih beranjak, aku memilih untuk menarik dan membungkus tubuhku dengan selimut.

Demi apapun udara dingin seakan menyapaku hingga merasuk ke tulang.

Tok Tok Tok

"Karin, Felix bangun!"

Tok Tok Tok

Suara Mbah uti terus saja terdengar dari balik pintu, tetapi aku yang masih mengantuk hanya berbalik lalu menutup telingaku dengan bantal.

Kudengar Felix beranjak dan membuka pintu, tapi aku tidak peduli. Aku lebih suka melanjutkan tidurku, tubuhku masih terasa lelah.

"Karin, bangun!" Felix mengguncang-guncang tubuhku, dan terus mengusikku dari posisi ternyamanku.

"Emmm, aku masih ngantuk Felix!"

"Bangun atau aku cium?"

Mendengar perkataannya, aku segera membuka mata dan terduduk. Ku tatap tajam wajah Felix yang tengah asik menahan tawanya.

"Nah gitu dong, mandi dulu biar cantik! Selamat pagi istriku," ucapnya seraya mencubit hidungku.

Setelah sarapan pagi bersama, beberapa kerabat bersiap untuk pulang termasuk kedua orang tua Felix, yang akan kembali ke Belanda.

Kini tinggal lah kedua orang tuaku, adikku, Mbah uti, Mbah Kakung, Bulik Ningsih, aku dan Felix.

Kami baru akan kembali setelah waktu makan siang.

Aku berjalan-jalan di taman menikmati udara yang begitu sejuk. Aroma dedaunan yang masih basah begitu memanjakan indera penciumanku.

Aku terduduk di tepian kolam renang, kakiku mengayun-ngayun mengusik ketenangan air.

Eh!

Aku mengucek-ngucek kedua mataku, memastikan jika penglihatanku tak salah. Karena aku melihat sesuatu yang berdiri tegak di bawah pohon seri yang rimbun, tapi tiba-tiba ia menghilang.

Seketika bulu kudukku merinding, merasa ada yang aneh, aku segera beranjak bermaksud untuk segara masuk kedalam vila. Namun tiba-tiba.

Byur!