Entah bagaimana tiba-tiba aku tercebur kedalam kolam renang, aku mencoba untuk berenang dan naik kepermukaan. Namun, kakiku terasa tersangkut sesuatu dan membuatku semakin tertarik kedalam dasar kolam.
Semakin lama napasku terasa semakin sesak,
tubuhku terasa lemah tak dapat bergerak, mungkin inilah akhir dari hidupku.
Semakin lama pandanganku menjadi kabur, samar-samar kulihat seorang pria berpakaian putih menarik lenganku, tetapi seketika pandanganku menjadi gelap.
"Ik houd van je ... ik houd van je."
Tiba-tiba terasa sesuatu melesak keluar dari tenggorokanku. Aku tersadar dan seketika memuntahkan air yang menghalangi saluran pernapasanku.
Aku terbatuk-batuk hingga dada dan tenggorokanku terasa begitu sakit.
"Karin, are you ok? Kita ke rumah sakit sekarang!"
Felix menggendong tubuhku menuju mobil, wajahnya memerah mungkin karena panik. Aku tidak memedulikannya karena dadaku teramat sakit hingga sesak, tiba-tiba pandanganku kembali gelap.
...
Suara huru hara tiba-tiba saja terdengar dan mengusik pendengaranku. Aku menutup kedua telingaku dengan telapak tangan tetapi, entah mengapa suara itu bahkan semakin kencang dan begitu memekikkan telinga.
"Lepas! Lepaskan saya! Sa ... sakit!"
"Arghhh ... stop!" teriakku, yang sudah tidak tahan mendengar suara-suara yang begitu mengerikan.
Kedua mataku terpejam dan tidak dapat terbuka, tetapi suara itu semakin jelas terdengar dan semakin kencang.
Tangisan, jeritan, berpadu menjadi satu, membuat suasana begitu tega mencekam walaupun aku tidak melihat apa-apa.
"Hangyaku shinaide kudasai!"
"Meneer! Tidak ... saya mohon Tuan, jangan bawa Meneer!"
...
"Karina! Bangun!"
Hening, suasana begitu hening saat aku mulai membuka matamu. Ku lihat Felix berada tepat di sampingku dengan wajah khawatir, aku mengedarkan pandanganku. Sekelilingku hanya ada tirai putih penyekat, dan sebuah tiang infus.
"Felix, aku dimana?" tanyaku yang tidak mengingat apapun.
Tubuhku sudah terasa lebih baik. Namun, telingaku begitu berdenging hanya karena sebuah mimpi.
"Kamu di Rumah sakit, apa masih ada yang sakit? Kamu dari tadi mengigau."
Aku mengernyitkan keningku, entahlah ... mungkin karena mimpi itu aku jadi mengigau.
Tidak lama muncul seorang dokter dan melakukan beberapa pemeriksaan padaku.
Hari itu, akhirnya aku harus di rawat inap di Rumah sakit. Setidaknya aku harus opname selama satu hari, sampai kondisiku benar-benar pulih.
Mama, dan keluarga lainnya sudah pulang terlebih dulu ke vila, meninggalkan aku dan Felix berdua saja.
"Karin, kalau kau merasa tidak nyaman atau sesuatu yang janggal. Tolong katakan padaku, dan sekiranya kamu melihat sesuatu yang janggal, segera tinggalkan tempat itu," ucap Felix tiba-tiba.
Aku yang sedang asik menyantap hidangan makan malam yang terasa hambar itu seketikaterdiam mendengar ucapan yang keluar dari mulut Felix. ingatanku tertarik pada saat detik-detik sebelum kejadian tenggelam.
Ya, aku ingat sekali! Sebelum aku tercebur dan tenggelam, aku melihat sosok aneh yang tiba-tiba saja menghilang.
"Fe, maksud kamu?"
"Karin, aku mengerti jika kamu mungkin saja menganggap aku gila dan aneh. Aku bahkan sudah terbiasa dengan julukan seperti itu selama aku berada di Netherland. Namun, kamu harus tau satu hal jika aku tidak pernah mengada-ngada, dan suatu saat kamu akan mengerti dan terbiasa dengan keadaan sepertiku," tandas Felix dengan raut wajah yang serius.
Ku tatap sepasang manik mata birunya, mencoba mencari kebohongan yang tersirat di dalamnya, tetapi nihil! Aku hanya melihat kesungguhan yang tersirat.
sejujurnya ini semua sangat konyol, logikaku benar-benar tidak bisa menerimanya.
"Maaf jika suatu saat aku semakin menarikmu kedalam duniaku, tapi mungkin ini sudah jalan takdir. Kau jangan khawatir, aku berjanji akan menjagamu sekuat tenagaku."
"Ya, terserah kau!" jawabku malas, sungguh aku sama sekali tidak mengerti maksud dari ucapannya.
Aku meletakkan makan malamku di atas nakas, lalu memilih untuk tidur guna istirahatkan otakku, daripada terus-menerus mendengar ucapannya yang sama sekali di luar nalar.
...
Malam semakin larut, hujan turun begitu lebat di sertai beberapa kali pancaran kilat. Aku terbangun, kulihat Felix yang tengah tertidur di sebuah kursi tepat di samping ranjang rawatku.
Aku turun perlahan dari ranjang sambil membawa botol infus yang masih tersambung di tanganku. Perlahan aku berjalan menuju toilet. Suasana begitu hening, bahkan langkah kakiku saja terdengar menggema.
Setelah menuntaskan keinginanku untuk buang air kecil, aku berjalan kembali ke ranjang rawatku.
Namun, tiba-tiba sekelebat bayangan mengambil alih fokusku. Aku berjalan perlahan menuju pintu keluar kamar, tepatnya dimana bayangan itu melintas.
Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, koridor bangsal tersebut tampak sepi dan sunyi.
Terlebih, kamar inapku langsung mengharap ke taman yang berada di tengah Rumah sakit tersebut.
Hembusan angin malam dan percikan air hujan seketika menyapaku, membuat bulu-bulu kudukku meremang seketika .
Krek ... Krek ...
Suara brankar yang di dorong samar-samar terdengar dari kejauhan. Aku menajamkan pendengaranku, suara brankar tersebut semakin lama semakin jelas terdengar. Akan tetapi, aku tidak melihat apapun.
Aku semakin penasaran, melangkah perlahan keluar kamar. Ku lihat arloji yang melingkar di tangan kiriku, waktu sudah menunjukan pukul dua dini hari.
Kuk ... Kuk ... Kuk ...
Sontak saja kepalaku menoleh ke arah sumber suara.
Seekor burung hantu bertengger di sebuah batang pohon yang rindang, pandangannya seolah menatapku dengan tajam.
"Astaga!"
Aku terperanjat kaget kala seseorang menepuk bahuku. Seorang perawat tersenyum ramah padaku seraya berkata, "Ibu, sebaiknya kembali ke kamar. Cuaca di luar sangat dingin terlebih sedang turun hujan."
"Oh iya, Sust! Terima kasih," jawabku mencoba tersenyum. Aku membalikkan badanku, lagi dan lagi aku di buat terkejut karena Felix sudah tepat berada di belakangku.
"Felix! Kaget tau!"
"Karina, masuk! Di luar hujan, lagian ini masih malam," tegasnya dengan menatap intens kepadaku.
Aku menganggukkan kepala, menuruti saja semua perkataannya.
...
Keesokan harinya seluruh anggota keluarga menjemputku. Setelah dokter mengecek kondisiku akhirnya aku diperbolehkan pulang, dan kami langsung memutuskan untuk kembali ke rumah mama.
Setelah satu jam lamanya, akhirnya kami sampai dan dapat beristirahat.
"Karin, istirahat dulu ya, Ma!" ucapku yang berjalan kelantai dua, aku benar-benar sudah rindu kasur kesayanganku.
Tidak membutuhkan waktu lama untukku terlelap ke alam mimpi, mungkin karena pengaruh obat dari dokter yang membuatku sangat mengantuk.
Hah!
Tiba-tiba tubuhku terasa sesak dan tidak dapat bergerak sama sekali, bahkan untuk bersuara sekalipun aku tak mampu. Aku yang sedang berbaring miring menghadap tembok merasa ada sesuatu mengganjal di belakangku. Sesuatu yang besar dan berbulu, benar-benar terasa nyata menyentuh kulitku.
Demi apapun, aku ingin bergerak dan berteriak. Sekujur tubuhku berkeringat dingin, aku memejamkan mataku. Semakin tercium bau ubi bakar yang semakin menyengat dan mengganggu indra penciumanku.
"Grrrrrhhhhh!"
Suara erangan terdengar begitu jelas seiring dengan sesuatu yang merambat seakan memelukku.
Aku semakin berusaha untuk bangkit, setidaknya untuk mengeluarkan suaraku dan berteriak.
"Bi-bismillah ...," gumamku berusaha mengucapkan doa-doa di dalam hati.
Sekuat tenaga ku coba menggerakkan ibu jari kakiku. Jika ini mimpi, aku ingin segera terbangun. Aku takut! Aku sangat takut bahkan ingin menangis terlebih kala makhluk itu semakin lama semakin erat memelukku, bahkan sekarang mulai menyentuh area wajahku.
"Argh!"