Embusan napas berat itu terdengar, menyatu bersama pekatnya udara setelah Regan menghelanya sedalam mungkin. Tetesan air hujan serta lumatan embun tampak saling bergelayut, merebak pada kaca jendela di hadapannya, berupaya mengusik pandangannya yang terus menatap pusat kota yang padat akan kendaraan di bawah sana, sedang pikirannya terus bernostalgia bersama ribuan penyesalan yang ia rasakan.
Regan mengingat jelas bagaimana kebengisan itu bermula, tepat setelah dunia berlaku begitu kejam mengguncang kehidupan adik satu-satunya, yang secara bersamaan cukup membuatnya merasa kehilangan akal, berikut dengan hati nuraninya. Semuanya hilang begitu saja dan hanya menyisakan kebencian serta rasa dendam yang mendalam. Menguar cepat dan merasuki jiwanya tanpa aba-aba, yang kemudian menimbulkan reaksi balasan terhadap siapa pun yang telah merusak kebahagiaan adiknya.