Kinanti Maya Bian. terhuyung di pinggir jalan raya propinsi yang menurun, mobil-mobil besar melintasi jalanan itu silih berganti. Kinanti seolah tidak perduli. Ia tetap melangkahkan kaki, tidak tentu arah yang pasti.
Tubuhnya terlihat bergetar, dengan raut wajah datar, seolah tidak ada alirah darah yang mengalir di wajahnya, pucat.
Sesekali jalannya pun terseok, limbung dan hampir kehilangan keseimbangan.
Masih segar dalam ingatannya ketika itu, saat ia dan Bara Purnama -- kekasih Kinanti, saling memberi kehangatan dalam pelukan, di temaramnya malam.
"Mas pasti menikahimu Kinanti. Mas mencintai kamu."
Suara lelaki itu kembali terngiang di kepalanya, Kinanti selalu berusaha meyakini, bahwa semua ucapannya itu akan menjadi nyata.
Tetapi tidak. Ucapan Pak Danill kala itu di kantornya, mematahkan semuanya.
Bara Purnama, lelaki yang sudah berjanji akan menikahinya telah pergi. Meninggalkannya dengan benih yang telah ia tanam di rahimnya.