"Panggilan terakhir kepada penumpang pesawat dengan nomor penerbangan 007, harap segera memasuki pesawat karena sebentar lagi pesawat akan berangkat." Suara petugas bandara melalui pengeras suara bandara sukses membangunkanku dari tidur ayam-ayamanku.
"Mampus! Gue ketiduran." Dengan terbirit-birit aku langsung berlari menuju pintu pemeriksaan dan berlari menuju gate 10 tempat pesawatku berada. Aku langsung menuju bangku tempat dudukku yang sudah ditunjukkan oleh pramugari. Begitu sampai aku langsung menghempaskan pantat.
"Silahkan memasang sabuk pengaman anda dan menegakan sandaran kursi. Pesawat dengan nomor penerbangan 007 akan segera lepas landas."
Sekali lagi aku bisa mendengarkan suara lembut dari pramugari yang berbicara melalui telepon pesawat.
"Untung gue nggak ketinggalan pesawat." Aku bergumam sendiri seraya memasang sabuk pengaman dan bersiap tidur.
"Tapi kok tadi petugasnya nggak mengecek tiket dan paspor gue ya?" Aku sedikit heran karena tadi petugas hanya menyuruhku masuk pesawat.
"Ah, bodo amatlah. Mungkin karena pesawatnya udah mau berangkat. Gue juga nyaris ketinggalan pesawat." Aku terus bergumam sendiri lantas kemudian menarik selimut dan memasang penutup mata yang sudah diberikan oleh pramugari.
Aku tidak sadar ketika seorang laki-laki yang tengah tiduran disampingku, terus memandangiku dengan tatapan heran karena aku berbicara sendiri dengan menggunakan bahasa Indonesia.
"Selamat datang di bandara Internasional Incheon Korea Selatan." Pramugari kembali mengumumkan setelah sekian jam perjalanan dan aku sama sekali tidak mendengarnya.
"Hoaaammmm. Tidur gue nyenyak banget."
Aku meregangkan seluruh tubuh dan melangkah menuju tempat pegambilan bagasi.
"Kok banyak wajah Asia ya? Tulisan di papan petunjuk juga dalam bahasa Korea."
Aku celingukan melihat kanan kiri, atas bawah, dan depan belakang.
"Bentar. Tadi petugas bandaranya bilang apa?" Mendadak aku diserang panic.
"Incheon? What the… Bentar-bentar. Gue nggak mimimpi kan?" Aku langsung mencubit diriku sendiri dan terpekik begitu merasakan rasa sakit yang menyengat.
"Aww. Sakit." Pekikku seraya mengusap-usap lenganku yang sedikit memerah ulah cubitanku sendiri.
"Gimana dong ini? Kok bisa-bisanya gue salah naik pesawat." Aku langsung panik sendiri tak memedulikan tatapan heran orang-orang yang berlalu-lalang disekitarku.
"Tunggu-tunggu. Gue nggak boleh panik. Tarik nafas dalam-dalam dan hembuskan. " Aku mencoba mensugesti diri sendiri namun tak bertahan lama.
"Hua… Gimana dong ini. Pak tua." Aku berteriak histeris hingga mengundang perhatian orang-orang di bandara.
Di belahan bumi lain, laki-laki yang dipanggil pak tua langsung terbatuk-batuk.
"Anda baik-baik saja tuan?" Tampak seorang pemuda yang lebih muda langsung mendekat. Dia adalah sekretaris Ed, kaki tangan pak tua alias kakekku.
"Tenang saja. Sepertinya hanya terkena angin lalu." Laki-laki yang dipanggil tuan itu meraih gelas yang sudah ada di meja dan menyesap tuntas isinya.
"Bagaimana dengan Hanaya? Dia sudah datang?" Belum jadi pemuda itu menjawab seseorang dengan tergesa-gesa sudah memasuki ruangan tanpa mengetuk pintu.
Pak tua menyerngitkan kening melihat Robert, salah satu bawahannya yang bertugas mengawasi Hanaya masuk dengan wajah pasi.
"Ada apa?"
"Maaf tuan,- Ada jeda sedikit dari ucapannya setelah dia berhasil menumpulkan kembali nafas. "Saya kehilangan nona Hanaya di bandara."
"APA? Bagaimana bisa? Kau benar-benar tidak becus." Teriaknya seraya melempar cangkir minuman ke arah laki-laki bernama Robert yang sama sekali tidak mengelak. Ia tahu konsekuensi jika sudah membuat marah tuannya itu. Ia sama sekali tidak menghiraukan darah segar yang mengalir di pelipisnya.
"Pokoknya cari sekarang juga kemana bocah itu pergi. Kau tau konsekuensinya kan kalau sampai cucuku tidak ketemu."
"Baik tuan." Robert segera pamit undur diri sebelum kemarahan bossnya itu menjadi-jadi.
"Ed, kau awasi Robert. Nampaknya dia tak bisa lagi diandalkan." Ujarnya pada laki-laki yang berdiri didekatnya yang ternyata bernama Robert.
"Baik tuan."
Laki-laki itu langsung membungkuk hormat dan berlalu meninggalkan tuannya. Ia paham betul watak tuan tempat ia bekerja sudah lebih sepuluh tahun ini. Atau lebih tepatnya dia generasi kedua dari keluarganya yang mengabdi pada keluarga Kim. Laki-laki itu meskipun terkesan galak dan kejam. Dia sangat menyayangi cucu perempuan satu-satunya. Meskipun hubungan mereka berdua tidak baik. Edward paham betul kenapa Hanaya menghindari tuan Kim. Gadis itu masih menyalahkan kematian orang tuanya kepada Kim.
Sementara itu, di bandara Hana sibuk mondar-mandir seraya bergumam sendiri.
"Gimana ini?"
"Nggak. Gue nggak boleh panik. Pokoknya harus calm down." Aku berusaha menarik nafas dan menghembuskan untuk menenangkan pikiran. Namun kemudian aku berteriak lagi dengan tidak karuan.
"Huuaaaaaaaaa."
Orang-orang yang berlalu lalang terus memandangi Hanaya yang dikira laki-laki dengan heran. Pakaian yang dipakai gadis itu seperti pakaian laki-laki, terlebih rambutnya disembunyikan di dalam topi.
"Gimana nggak panik coba. Ponsel gue ketinggalan di ruang tunggu bandara lagi tadi. Tas gue kan juga di bagasi semua. Juga.. Juga." Wajahku tambah panik mendengar ucapanku sendiri.
"Kenapa gue bisa salah naik pesawat dan terdampar di Negara antah berantah tanpa duit sepeserpun coba." Aku langsung berjongkok dan menyembunyikan kepalaku di lutut. Ingin menangis.
"Anda baik-baik saja?" Suara serak dan khas dari seorang laki-laki berhasil mengejutkanku. Tapi aku enggan untuk mengangkat kepalaku.
"Anda sakit?" Suara itu tambah mendekat dan mau tidak mau aku mengangkat wajahku. Aku sedikit terkesiap begitu mendapati wajah laki-laki itu hanya berjarak lima centimeter dihadapan ku. Meskipun tersembunyi masker aku bisa melihat ketampanan dibaliknya.
"Wajah anda tampak pucat. Anda sakit?" Kembali suara itu menginterupsi lamunanku.
"Begini. Boleh minjam ponsel nggak?" Akhirnya aku bertanya dengan sedikit ragu-ragu seolah pria ini akan menolak keinginanku.
"Tentu boleh." Ia langsung menyerahkan ponselnya kepadaku.
Aku langsung menerima dengan wajah yang berbinar-binar.
"Nomor yang anda tuju salah. Silahkan periksa kembali nomor tujuan anda." Suara operator membuatku gusar.
"Aish. Kenapa bisa salah sih." Aku mengumpat pada diriku sendiri. Aku baru sadar bahwa selama ini aku tidak tau nomornya.
"Harusnya gue nggak naruh nomor pak tua itu dipangilan cepat. Kalau sudah begini, mau gimana lagi coba. Aku bahkan tidak tahu satupun nomor yang bisa dihubungi disaat seperti ini."
"Jika diingat-ingat selama ini gue kan belum pernah menghubungi pak tua itu langsung. Selama ini kan sekretaris Robert yang melakukannya."
Aku bergumam sendiri tanpa sadar dalam bahasa Jerman. Laki-laki dihadapan ku mengernyit mendengar bahasa yang aku ucapkan sedari tadi berbeda-beda.
"Permisi. Saya buru-buru. Ponselnya sudah selesai belum?"
Hanaya memandangi laki-laki di depannya. Ia bisa melihat jika laki-laki itu memandanginya dengan aneh.
"Oh eh iya. Terimakasih."
Aku langsung menyerahkan ponsel seraya membungkuk berterimakasih ala Korea dan menatap kepergian pemuda itu.
Cho pun meninggalkan Hana yang masih sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Laki-laki gila." Desisnya seraya menggeleng-geleng. "Jangan sampai kita bertemu lagi."