Jakarta, 19 Desember 2018.
Pagi ini Kana sudah bersiap untuk pergi ke sekolah. Wajahnya terasa berseri-seri karena hari ini ia akan dijemput oleh seseorang yang disukainya. Ia mengoleskan bedak bayi yang rutin digunakan sebelum pergi ke sekolah. Ia punya firasat baik dengan hari ini. Ia mengepalkan kedua tangannya, lalu memejamkan kedua matanya dengan senyum yang tak sedikit pun luntur dari bibirnya.
"Hari Rabu yang baik. Semoga hari ini semuanya akan berjalan dengan lancar. Termasuk pernyataan cinta ku," gumam Kana sambil terkikik pelan.
Kana menghentikan kegiatannya saat mendengar suara ketukan di pintu kamarnya. Ia segera menyambar tasnya yang ada di atas ranjang empuknya. Ia mendapati ibunya yang sedang mengamati ponselnya. Ia mencebikan bibirnya sebal. Ibunya selalu saja sibuk dengan ponselnya. Ia dengan cepat menyambar tangan kanan bebas ibunya, lalu menciumnya.
"Kana berangkat sekarang, Bu," ujar Kana.
Ibunya itu menoleh sekilas ke arahnya, lalu kembali melanjutkan tatapannya ke benda persegi yang ada di tangannya. Kana yang melihat itu pun menjadi sangat jengkel. Sejak ibunya mengenal seorang pria lewat sosial media, ia menjadi terlantar. Bahkan ia yang biasanya makan 3 kali sehari, kini harus makan 2 kali sehari.
Kana membuka pintu rumahnya dengan malas. Wajah cerianya sudah digantikan oleh wajah muram. Ia juga sama sekali tak melihat sosok pujaan hatinya di depan gerbang. Ia melirik arlojinya yang sudah menunjukan pukul 06.20 WIB. Ia mengambil ponselnya, lalu menghubungi pujaan hatinya tersebut. Namun setelah beberapa kali menelepon, ia sama sekali tak menerima jawaban apapun. Semua panggilannya tak dialihkan.
Kana menghela nafasnya dengan lemah. Ia memutuskan untuk pergi ke sekolah dengan naik angkutan umum. Ia meyakinkan dirinya bahwa pujaan hatinya itu mungkin belum bangun dari mimpi indahnya. Pasti pujaan hatinya itu sedang memimpikannya sampai telat bangun. Tanpa sadar ia tersenyum bahagia saat membayangkannya. Ia berjalan menuju pangkalan angkutan umum dengan wajah yang kembali berseri.
~~~
"Haaahhhh ...." Kana menghela nafasnya panjang.
Senyum di wajahnya kini kembali digantikan oleh wajah murung. Tak ada lagi senyum seperti beberapa menit yang lalu. Saat ini Kana menekuk bibirnya tanpa ragu. Ia merasa sangat kesal. Andai saja ia tidak menunggu cowok itu datang, mungkin ia tidak akan terjebak macet seperti ini. Kana melirik arloji sekilas, waktu terasa sangat membencinya. Ia melihat waktu sudah menunjukan pukul 06.45 WIB. Ia memejamkan kedua matanya dengan panik. Jika harus menunggu sampai macet itu kembali lancar, mungkin ia akan tiba di sekolah pukul 9 siang.
"Pak," panggil Kana pada sopir yang duduk di depannya.
Sopir itu menoleh ke arah Kana. "Ada apa?"
Kana memasukan tangan ke saku seragamnya, lalu ia memberikan selembar uang 2.000 rupiah kepada sopir tersebut. Tanpa berlama-lama, ia segera keluar dari angkutan umum tersebut tanpa menghiraukan sang sopir yang memanggilnya.
"Neng, uangnya kurang!" teriak sopir tersebut.
Kana sama sekali tak peduli. Ia terus berlari menyebrangi jalan yang sedang macet. Jika ia bia terus berlari tanpa henti, ia akan tiba di sekolah pukul 06.55 WIB. Tapi kalau dia berhenti sebentar, mungkin ia akan tiba pukul 07.01 WIB. Ia sudah terlalu sering memperhitungkan perjalanannya.
Walau dengan nafas terengah-engah, Kana tetap melanjutkan pelariannya menuju gerbang yang sudah ada di depan matanya. Ia tersenyum lebar saat melihat gerbang itu masih terbuka lebar. Ia berhasil masuk ke lingkungan sekolah tepat pukul 07.00 WIB, sungguh sebuah keberuntungan. Ia segera bergegas menuju kelasnya yang berada di lantai 2.
Kana merasakan tubuhnya sudah sangat berkeringat. Ia tidak mungkin menyatakan perasaannya dengan bau badan yang menyengat. Akhirnya ia pun mengurungkan niatnya. Ia akan menyatakan perasaannya esok hari. Ia melangkah dengan tegas saat memasuki kelas XI IPS 1.
Kana memang bukan termasuk murid yang pintar. Ia juga tidak begitu populer. Hanya saja namanya selalu menjadi pusat perhatian seantero sekolah. Mereka bahkan mempunyai julukan untuknya.
Miss bad luck.
Hidupnya tak pernah lepas dari 7 huruf tersebut. Jika ia tidak sial sehari saja, seperti dunia ini akan berakhir. Kana tak mungkin tidak mendapat kesialannya dalam satu hari, satu jam, satu menit, bahkan satu detik.
"KANAAAA!!!"
Kana menepuk dahinya saat melihat Bu Endang yang berlari ke arahnya dengan penggaris kayu besar. Ia meringis lalu bergegas masuk dan duduk di kursinya.
"Telat lagi?" tanya perempuan berwajah imut yang duduk di sampingnya.
Kana menganggukan kepalanya. "Nunggu Kak Edo, ternyata ga datang."
"Mirna, minta tissu dong," ujar Kana pada temannya tersebut.
Mirna yang merupakan teman sebangkunya itu membuka tasnya. Lalu ia memberikan se-pack tissu yang selalu ia bawa kemana pun. Kana tahu kalau sahabatnya itu pasti membawa tissu kemana pun dia pergi. Ia menyambar tissu tersebut dan mulai menariknya keluar.
"Jadi gimana hari ini?" tanya Mirna.
Kana mengerjapkan matanya dua kali. Ia menatap Mirna dengan bingung. "Apanya yang gimana?"
Mirna mendesis pelan. "Bukan nya lo mau nembak Kak Edo?"
Kana terdiam sejenak. Ia nampak masih mempertimbangkannya. "Entahlah ... belum yakin."
Mirna memegang kepala Kana dengan kedua tangan, lalu membuat kepalanya menoleh pada seorang cewek cantik yang duduk dua bangku di depannya. Ia menatap sahabatnya dengan bingung. Cewek cantik itu bernama Yuni, seingatnya ia sama sekali tak ada yang urusan dengan cewek itu. Selain karena mereka tidak akrab, ia juga tak ingin berurusan dengannya.
"Yuni kenapa?" tanya Kana.
"Mulai sekarang Yuni jadi saingan lo!" ujar Mirna dengan ketus.
Kana membulatkan kedua matanya. "Apa?!"
Mirna menatap kedua mata Kana lekat-lekat. "Tadi pagi Yuni di antar Kak Edo ke sekolah, bahkan sampai ke kelas!"
~~~
Kana duduk di sebuah kursi dekat perpustakaan. Ia menolehkan kepalanya ke kanan dan kiri, ia sedang mencari seseorang. Lalu datang cowok yang membuatnya telat datang ke sekolah pagi ini. Ia tersenyum tipis menatap laki-laki itu. Begitu juga dengan cowok tersebut, tanpa merasa bersalah memberikan senyum yang begitu manis padanya. Hal itu membuatnya menjadi ragu untuk marah ataupun merasa kecewa.
"Ada apa, Na?" Tanya Edo.
Kana melepaskan sebelah tali ranselnya, lalu ia mengambil sesuatu dari dalam ransel ungu nya. Ia tak langsung memberikan nya pada Edo, ia memilih untuk menyembunyikannya di balik punggungnya. Cowok itu menaikan sebelah alisnya tanpa menghapus senyum di bibirnya.
"Maaf Kana, gue ga bisa terlalu lama. Gue ada latihan basket sama teman," ujar Edo.
Kana yang mendengar itu pun langsung bangkit dari kursi nya. Ia segera mengeluarkan sesuatu yang ia sembunyikan di balik punggungnya. Ternyata ia menyembunyikan sebuah amplop mungil berwarna merah muda dengan gambar hati di setiap sudutnya. Ia meraih tangan kanan Edo, lalu meletakannya di telapak tangan cowok itu.
"Baca ini saat kakak sudah sampai di rumah," ujar Kana sambil tersenyum lebar.
Kana pun segera berbalik dan hendak pergi dari sana. Namun lengannya ditahan oleh Edo. Ia pun mau tak mau memutar tubuhnya kembali. Ia menatap cowok yang mengulurkan tangannya. Cowok itu tak lagi tersenyum, ia tak bisa menebak ekspresi apa itu.
"Maaf Kana ...," ujar Edo.
Kana menggigit bibir bawahnya. "Kenapa, Kak?"
Edo meletakan kembali amplop merah muda itu ke telapak tangan Kana. Hal itu membuat kedua matanya mulai terasa perih. Ia berusaha sekuat mungkin untuk tidak menangis di hadapan cowok yang disukainya.
Edo menatap kedua mata Kana. "Gue sudah pacaran sama Yuni."
Jleb!!
Kana merasa seperti ada sebuah katana yang menancap di dadanya. Terasa sangat sakit sampai ia tak bisa bernafas. Ia memejamkan matanya, membiarkan air mata yang terbendung itu meluncur. Ia meremas amplop merah muda itu, lalu melemparnya ke sembarang arah.
Ia segera pergi meninggalkan Edo yang masih terus menatapnya, bahkan sampai punggungnya menghilang di persimpangan koridor. Setelah pergi cukup jauh, Kana menghentikan langkahnya. Ia berjongkok di tempat sepi agar tangisannya tak didengar oleh siapapun.
"Gue ... gue memang miss bad luck," ujar Kana di sela tangisannya.
Bersambung...