Chereads / SCHOOL DIARY / Chapter 9 - 9. Mas Ganteng

Chapter 9 - 9. Mas Ganteng

Kana tiba di rumahnya saat matahari sudah hampir terbenam. Hari masih belum berganti, ia sudah terasa sangat lelah. Kana membuka pintu kamarnya lalu merebahkan tubuhnya di kasur. Ia tersenyum tipis sambil mengepalkan kedua tangannya. Seolah ia terus nemberikan semangat pada dirinya sendiri. Tanpa terasa kedua mata nya mulai terpejam. Kana mulai terbawa ke alam bawah sadarnya. Namun baru sebentar tertidur, pintu kamarnya di ketuk oleh seseorang.

"Na?"

Kana dapat mendengar suara ibu nya yang memanggilnya. Kana pun dengan malas membuka kedua matanya lagi. Lalu ia mulai beranjak dari kasurnya menuju pintu yang sebenarnya tak terkunci. Kana membuka pintu itu, lalu ibunya segera memeluknya dengan erat. Kana yang melihat ibunya seperti itu pun sangat kaget.

"Ada apa, Bu?" tanya Kana.

"Ibu hamil, Na," ujar ibu nya.

Setelah mengatakan itu, ibunya menangis tersedu-sedu di dalam pelukan Kana. Akhirnya Kana pun menarik ibunya masuk ke dalam kamar. Kana mengelus punggung ibu nya untuk sedikit menenangkan. Kana masih tak membuka suaranya sama sekali. Ia memejamkan matanya, lalu tersenyum getir.

'Entah hidup gue ini sial atau menderita. Yang jelas gue benci keduanya,' batin Kana.

Setelah cukup lama menangis, akhirnya sang ibu mulai meregangkan pelukannya. Kana bersiap untuk menanyakan semua pertanyaan yang ada di kepalanya.

"Bu," panggil Kana.

"Kamu kaget ga? Keren ga akting ibu?" tanya ibunya sambil mengelap air mata yang entah bagaimana bisa mengalir deras.

Kana mendesis gemas menatap ibunya yang senyum tanpa dosa tersebut. Kana pun menarik ibu nya dan menggiringnya keluar dari kamar. Ia menghela nafasnya berat, ada-ada saja kelakuan random ibunya itu. Kali ini Kana mengunci pintunya, ia tidak akan membukakan pintu untuk siapapun atau untuk apapun. Bahkan jika itu martabak keju, ia tidak akan membukanya.

"Na!" panggil ibunya lagi.

Kana yang sedang telungkup di kasur itu menggeram pelan sambil menendang kasurnya. "Ada apa, Bu?"

"Ada temanmu di depan. Ibu ga kenal," ujar ibunya dengan sedikit menurunkan volume suaranya.

"Biarkan aja bu, Kana capek," ujar Kana.

"Na, tapi teman mu ganteng," ujar ibunya sambil mengetuk pintu kamar pelan.

"Suruh pulang aja," ujar Kana dengan malas.

"Tapi dia bawa martabak keju."

Kepala Kana sontak terangkat seperti posisi back up. Ia segera bangun dari kasurnya. Lalu ia menarik knop pintu kamarnya, tapi sama sekali tak terbuka. Kana menepuk dahinya saat teringat pintu kamarnya yang tadi di kunci. Kana segera mengambil kunci kamarnya, lalu membukanya. Kana mendatangi tamu nya itu dengan penampilan yang acak-acakan. Bahkan baju olahraga yang dipakai dari pagi itu masih melekat di tubuhnya. Kana melesat ke arah ruang tamu meninggalkan ibunya yang masih berada di depan kamarnya. Ia tersenyum lebar hingga memperlihatkan deretan giginya tersebut saat sudah tiba di ruanh tamu. Gilang yang semula sedang fokus pada ponselnya mulai menatap Kana dari ujung rambut sampai ujung kaki. Lalu ibunya yang ada di belakang mengambil start untuk duduk di samping Gilang.

"Mas ganteng mau minum apa nih?" tanya ibunya.

Kana mendelik saat mendengar ibu nya memanggil Gilang dengan sebutan mas ganteng. Ia langsung menarik ibunya agar menjauh dari Gilang. Kana menggiring ibunya ke arah dapur secepat mungkin. Ia tidak boleh membiarkan ibunya yang genit itu menggoda Gilang. Bisa saja nantinya cowok itu menceritakannya pada semua murid di sekolah. Yaaah, walaupun Kana tahu kalau Gilang bukan tipe orang yang seperti itu.

"Ini martabak keju buat lo hari ini. Gue lupa kalau janji mau kasih martabak pas istirahat," ujar Gilang sambil menyodorkan sekotak martabak.

Kana tanpa malu-malu pun menerima kotak itu dengan senyum manisnya. "Santai aja, yang penting lo ga lupa kalau lo harus bayar gue pakai martabak setiap harinya."

"Terkecuali hari libur," ujar Gilang.

Kana mendengus sebal. "Gue bersedia dipanggil hari libur kok."

"Hari libur waktunya gue kencan sama Mirna," ujar Gilang sambil berdiri dari kursinya.

"Gue pamit. Bilangin ibu lo, gue pamit."

Kana menganggukan kepalanya. Ia berjalan terlebih dahulu untuk mengantar Gilang. Walaupun sebenarnya tanpa di antar pun Gilang tidak akan tersesat dirumah yang ukurannya tak cukup besar tersebut.

"Na," panggil Gilang saat sudah berada di atas motornya.

"Apa?" tanya Kana.

"Gue boleh daftar jadi bapak lo, gak?" ujar Gilang diiringi tawa.

Kana sontak melotot saat mendengar ucapan Gilang tersebut. Kana melepas sebelah sandalnya, lalu ia bersiap melempar sandal nya pada cowok itu tersebut. Tapi secepat kilat Gilang melesat meninggalkan Kana yang menyumpah serapahinya cukup keras.

~~~

Pagi harinya, Kana merasakan perutnya sangat sakit. Ia bahkan sangat malas untuk sekedar bangun dari kasurnya. Ibunya terdengar sudah memanggil namanya sedari tadi. Kana mengambil ponselnya yang tergeletak di meja. Waktu sudah menunjukan pukul 06.55 pagi. Ia memutuskan untuk tidak pergi bersekolah hari ini. Ia segera menghubungi Mirna yang menjadi pembuat surat palsunya.

"Mir ...," panggil Kana dengan lemah saat panggilan sudah di terima.

Mirna terdengar mendeham pelan. Tapi ada sesuatu yang aneh di telinga Kana. Suara Mirna mendadak berubah menjadi sangat berat. Ia menjauhkan ponselnya untuk melihat nama kontak yang dihubungi. Ia berpikir bahwa ia salah sambung.

"Mir? Ini lo kan?" tanya Kana.

"Lo kenapa? Suara lo ga asik banget di dengar," sahut seorang cowok yang kini sedang menjawab panggilannya.

"Gilang!!" pekik Kana.

"Lo ga sekolah? Sudah siang masih setengah sadar," ujar Gilang.

"Kenapa lo yang jawab telepon nya? Mirna kemana?" tanya Kana.

Gilang menghela nafasnya pelan. "Ada perlu apa lo telepon Mirna?"

Kana menggertakan giginya dengan gemas. "Kasih Hp nya ke Mirna! Darurat!"

Gilang hanya mendeham pelan. Lalu terdengar suara kresek-kresek di panggilan tersebut. Tak lama kemudian Kana mulai mendengar suara Mirna.

"Lo kenapa ga masuk sekolah, Na?" tanya Mirna.

"Gue sakit, Mir ...," keluh Kana dengan manja. "Nanti ke rumah gue mau ga? Bawain martabak keju."

Mirna berdecak pelan. "Lo tuh lagi sakit, tapi pikirannya martabak keju terus. Nanti pulang sekolah gue suruh Gilang yang anter deh."

Kana mendelik sambil menggelengkan kepalanya walau Mirna sama sekali tak bisa melihatnya. "Jangan!!"

"Lo ada masalah apa sama Gilang? Panik banget kayaknya," ujar Mirna sambil tertawa.

"Ga ada apa apa. Gue sebenarnya cuma mau minta tolong buatin surat. Terima kasih Mirna yang cantik. Gue tutup ya," ujar Kana dengan terburu-buru. 

Tanpa menunggu persetujuan Mirna, ia segera menutup panggilan tersebut. Lebih baik kelaparan daripada harus bertemu Gilang yang super menyebalkan. Apalagi sekarang ibunya menjadi sangat terobsesi dengan Gilang. Bukan keputusan yang bagus untuk membuat cowok itu datang ke rumahnya lagi, karena ada kemungkinan ibunya akan memakan Gilang saat itu juga.

Kana kembali merebahkan tubuhnya. Ia meletakan punggung tangannya di dahi. Panasnya sangat tidak normal seperti biasanya. Sudah dipastikan ia sedang sakit saat ini. Ia menekan sebuah tombol yang ada di tepi meja nya. Tombol itu memang sengaja di pasang agar Kana bisa memanggil ibunya saat keadaan darurat. Tombol itu merupakan bel yang tersambung ke seluruh bagian rumahnya.

Beberapa menit kemudian ibunya datang dengan penampilan yang sudah sangat cantik. Kana menggelengkan kepalanya dengan lemah. Ia sungguh tak mengerti kenapa ibunya sudah berdandan sangat cantik di pagi hari. Sedangkan ia masih terbaring dengan kondisi sakit.

"Ibu mau ke mana?" tanya Kana pelan.

Ibu nya berlari kecil ke arah Kana, lalu duduk di tepi kasur sambil tersenyum. "Ibu mau ketemu sama Mas Ganteng."

Kana menghela nafasnya, ia memaksakan dirinya untuk bangun. "Gilang engga kesini, Bu. Lagian dia sudah punya pacar. Jangan genit sama dia."

Ibunya itu tersenyum lalu mengedikan bahunya. "Ibu juga ga suka brondong sih. Lumayan aja buat kamu."

Setelah mengatakan itu, ekspresi ibunya berubah menjadi sedih. "Tapi sayang banget ya, sudah punya pacar."

"Dia pacar Mirna, Bu," ujar Kana. 

Ibunya menjentikan jarinya. "Kalian kan sahabat, bisa berbagi dong."

"Ibu sesat!" teriak Kana memenuhi seisi ruangan.

Bersambung...