" Isyana sekarang ditahan? Maksudmu dipenjara?" tanya Danendra .Herman mengangguk. Herman juga tidak tahu jelas dan tidak mau terlibat dengan masalah Isyana .
Semakin mendekat dengan wanita itu, nama baiknya juga akan ikut dipertaruhkan. Bukannya Herman tidak tahu, wanita seperti apa Isyana . Kalau bisa menghindar sejauh mungkin, akan lebih baik.
Lelaki itu terpaksa mendekat, terlibat hanya karena Hayana . Diakui atau tidak, menerima atau menolak kenyataannya, Isyana adalah ibu biologis dari putri kandungnya, Hayana . Mau tidak mau, Herman harus melibatkan dirinya.
"Apa yang terjadi dengan Isyana ? Bagaimana dia bisa menghubungimu?" tanya Danendra , heran.
"Seminggu yang lalu, Isyana menghubungiku dan meminta bantuan. Dia membutuhkan pengacara untuk mendampinginya," cerita Herman .
"Kasus apa deh?" desak Danendra . Penasarannya sudah naik ke ubun-ubun.
"Seperti biasa, ternyata Isyana masih belum berubah. Setelah memiliki anak pun masih tetap seperti dulu. Dia dilaporkan oleh istri salah satu pria yang memakai jasanya," jelas Herman.Danendra menggelengkan kepala.
"Dan sial bagi Isyana , saat digeberek di sebuah kamar hotel di Jakarta, tertangkap basah dengan beberapa pria termasuk suami si pelapor," jelas Herman , membayangkan bagaimana nasib putrinya yang memiliki ibu kandung seperti Isyana .
"Ya Tuhan!" Danendra terkejut. Tidak sanggup membayangkannya. la tahu sepak terjang Isyana dulunya, tetapi tidak menyangka sang kakak ipar masih melakoni profesi sampingannya. Padahal, dulu saat masih bekerja di perusahaan Danendra ,Isyana sudah diberi jabatan yang lumayan dengan gaji dan tunjangan terbilang tinggi.
Akan tetapi,Danendra tidak habis pikir bagaimana Isyana masih betah dengan pekerjaan sampingannya. Entah kebutuhan atau kesenangan. Hanya Isyana yang tahu alasannya.
Seperti saat ini,Isyana sudah diberi rumah dan fasilitasnya. Bahkan Danendra selalu mengirim jatah bulanannya tepat waktu. Harusnya tidak ada alasan untuk Isyana kembali ke profesinya yang lama.
"Dan hasil tes urine,Isyana positif menggunakan narkoba. Yang membuat keadaan semakin parah banget , di dalam tasnya ditemukan beberapa butir ekstasi deh," lanjut Herman .
"Astaga!"Danendra terkejut. Tidak terbayang sedikit pun Isyana akan memilihjalan ini. Dan sekarang yang Danendra takutkan adalah Isyana akan menganggu istrinya kembali.
Tampak Danendra mengeluarkan dompetnya, meletakan selembar uang seratusan di atas meja sembari memanggil seorang pelayan.
"Dan, terima kasih sudah mau merawat putriku, tetapi bisakah mengizinkanku untuk menemuinya?" tanya Herman , berusaha menghentikan langkah Danendra .
Lelaki itu berpikir sejenak, tidak mengiyakan atau menolak. Hanya seutas senyuman melengkung, tersungging di bibit keringnya.Jujur,Danendra belum bisa menjawab secepatnya. Ada hati yang harus dijaga dan ada pendapat istrinya yang wajib dipertimbangkan.
"Aku akan menghubungimu lagi nanti. Aku
harus mendiskusikannya dulu dengan Asha . Aku yakin kamu tahu jelas siapa istriku dan apa hubungannya dengan Isyana ." Danendra berlalu setelah menjawab pertanyaan Herman . Melangkah pergi, tanpa menoleh kembali.
*****
Malam itu.
Danendra yang memendam beban akan kenyataan yang disampaikan Herman tentang sang kakak ipar, tampak mondar-mandir layaknya setrikaan sedang berdinas. Berjalan mengitari kamar tidurnya, sembari berpikir keras. Bimbang dan ragu. Menjelaskan atau bungkam saja untuk semua kebenaran yang diungkapkan Herman padanya. Langkah kakinya terhenti tepat di depan cermin meja rias saat pintu kamar membuka.
"Aku lelah banget hari ini, Mas," tukas Asha. Kerewelan Asha juga sudah semakin berkurang,kayaknya udah belajar menerimanya.
Danendra cukup paham maksud istrinya. Tanpa bertanya lagi, lelaki itu menghampiri sang istri yang merebahkan diri. Terlentang di atas tempat tidur, mencari posisi nyamannya.
"Aku sudah berulang kali mengingatkanmu, As. Jangan terlalu dipaksa. Kalau kekurangan asisten rumah, aku bisa menambah pekerja," ujar Danendra , duduk disisi ranjang. Sepuluh jarinya sudah menari dari ujung kaki sampai ke paha istrinya. Memijat tanpa diminta.
Belakangan Asha memang sering mengeluh kelelahan. Pijatan Danendra yang cukup membantu dan menenangkannya sampai tertidur.
"Nana rewel sekali, Mas. Sudah dua hari ini tidak mau tidur siang. Sering menangis dan tidak sabaran,Mau saja digendong" keluh Asha. Berbaring menyamping,
mempersilakan suaminya memijat pundaknya.Jemarinya sudah berpindah,
mengusap pelan belakang istrinya.Memberi pijatan lembut.
"Nana tidak mau dengan Mbaknya. Seharian menempel terus padaku, Mas," jelas Asha .
"As,sebisa mungkin beri pengertian padanya.Aku mengkhawatirkanmu,ngak mau istriku kecapekan terus deh" ujar Danendra sembari mengecup kening sang istri . Lelaki itu berhenti memijat. Ikut merebahkan tubuh di samping sang istri.
Dengan mendekap istrinya,Danendra berbisik pelan di telinga istrinya.
"As,Isyana ditahan," ucap Danendra , membelit erat tubuh istrinya, memberi kekuatan supaya Asha tidak terlalu terkejut.
Bagai petir menyambar, informasi yang Danendra sampaikan memancing ketenangan. Mata mengantuk yang hampir terpejam itu membulat dan terjaga.
"Mas?" panggil Asha , meminta penjelasan lebih.
"Ssstttt."Danendra melabuhkan kecupan sembari membenamkan wajahnya di rambut panjang dengan aroma aloe vera dan citrus.
"Aku bertemu Herman tadi siang. Dia bercerita banyak," cerita Asha . Akhirnya, kata hati membuatnya memilih jujur pada sang istri. Saat ini Danendra sedang mencari cara terbaik, menjelaskan tanpa membuat Asha panik.
"Apa yang terjadi, Mas?" tanya berbalik.
Sekarang mereka berbaring berhadapan.
Kedua tangan kekar itu membingkai indah wajah penasaran Asha ,menyunggingkkan senyuman.
"Seperti yang dulu aku pernah ceritakan
padamu, apa yang dilakukan Isyana sampai hamil Nana tanpa suami. Dan kali ini, Isyana melangkah terlalu jauh," jelas Danendra , mencari kalimat paling ringan. Wajah cantik itu mengerutkan dahi.
"Kak Isyana kembali ..." Ucapan itu mengantung, langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan.
"Ya dan kali ini kakakmu itu tersandung dan terjatuh," lanjut Danendra .
"Bagaimana dengan ibu, Mas?" ucap Asha terbata. Danendra menggeleng.
"Aku sudah meminta Ramos memastikan semuanya. Aku akan menemuinya di tahanan. Kamu mau ikut?" tanya Danendra .
Sebagai keluarga Isyana , tidak mungkin Danendra lepas tanggung jawab. Seburuk apa pun kelakuan Isyana , mau tidak mau Danendra harus ambil bagian demi Asha .
"Aku ikut. Aku juga ingin menemui KakIsyana , Mas," sahut Asha pelan. Berusaha menahan perasaannya, mereka tidak saling bertukar kabar beberapa minggu belakangan. Dan Isyana memberi kejutan padanya.
Bagaimana Kak Isyana bisa seperti itu. Kasihan Ibu," ucap Asha pelan. Mengingat beberapa hari belakangan ibunya sering menghubunginya, bertanya padanya mengenai sang Kakak.
"Tidur saja. Sudah malam," ucap Danendra , mengecup kening Asha sebelum memeluk erat istrinya.
Jujur saja, Danendra juga tidak tahu harus bagaimana.Kalau mengikuti egonya,Danendra akan menutup mata dan telinganya, membiarkan wanita itu membusuk di penjara. Namun,Danendra tidak bisa melakukannya. Istrinya pasti tidak akan terima kalau Danendra bersikap seperti itu.