"Aku asisten Fabian Widyanto," jelas Ben,
tersenyum.
Hening sesaat, Danendra meneliti sosok di hadapannya dengan dahi berkerut. Mencoba mengingat kembali, lelaki yang kalau diperhatikan memang tidak asing.
"BEN," ucap Danendra dengan suara kencang, setelah menyadari siapa pria di hadapannya. Danendra benar-benar tidak mengenali. Apalagi pertemuan mereka yang terakhir hampir delapan tahun lalu,
saat perusahaan Danendra yang di Surabaya mendapat kepercayaan menangani interior di kediaman mewah Fabian Widyanto.
"Ya, benar. Aku Benny ," jelas Ben, menegaskan kembali.Sebuah tepukan kencang mendarat mulus di lengan Ben.
"Maaf, ayo masuk ke dalam," ajak
Danendra setelah mengetahui dengan jelas asal usul lelaki yang sempat menjadi lawan tandingnya tadi.
"As, minta Mbak buatkan minuman," pinta Danendra pada istrinya.Ben masih sempat-sempatnya menatap wanita yang sekarang sudah jelas statusnya, milik lelaki lain.
Keduanya berbincang di teras rumah menikmati semilir angin ditemani secangkir kopi hitam.Ben tidak menduga sama sekali kalau gadis yang ditaksirnya adalah istri orang, lebih parahnya adalah Ben mengenal suami sang gadis.
"Bagaimana bisa mengenal istriku?" tanya Danendra ,heran.
"Tuan muda menabrak Asha di bandara. Ponselnya jatuh dan rusak. Tuan muda memintaku mengurusnya," jelas Ben.
Danendra terlihat berpikir. Mengingat kembali tuan muda yang dimaksud oleh Ben. Lama tertegun akhirnya otaknya mengingat jelas.
"Si Gege pulang ke Indonesia? Atau masih stay di Inggris?" tanya Danendra .
"Tuan muda Kenzo bolak balik Jakarta-London.Apalagi sekarang, Tuan Fabian sudah sakit-sakitan. Maunya Pak Bos besar, putra satu-satunya itu menetap di sini, mengurus bisnisnya," cerita Ben.
"Oh ya, Pak Danendra sudah lama tinggal di Surabaya?" Ben balik bertanya.
"Aku sekarang tinggal di Jakarta," sahut Danendra ,singkat.
"Wah kebetulan sekali. Pak Bos baru membeli penthouse di Jakarta Pusat. Nanti aku usulkan memakai perusahaan Pak Danendra untuk interior," cerita Ben.
"Di mana?" tanya Danendra , menyimak. Keluarga Fabian Widyanto tidak mungkin membeli properti kelas biasa. Bisa mendapatkan proyek keluarga konglomerat Fabian tentu menjadi kebanggaan tersendiri sekaligus menambah pundi-pundi uang yang tidak sedikit.
"Di dekat Bundaran HI, Plaza Indonesia," jelas Ben. Danendra cuma mengangguk.
"Penthouse itu dibeli untuk tuan muda Kenzo. Bos besar mau menetap di Surabaya, sudah lelah bolak balik Jakarta-Surabaya. Umur tidak bisa bohong. Kondisi fisik sudah melemah. Tidak mampu lagi bekerja terlalu keras," lanjut Ben.
"Si Gege belum menikah?" tanya Danendra lagi.
"Belum, cuma sudah dijodohkan," cerita Ben singkat. Danendra hanya mendengar. Secara pribadi Danendra tidak terlalu mengenal putra Fabian Widyanto , hanya sempat bertemu beberapa kali sewaktu mengerjakan interior di kediamanFabian Widyanto . Danendra lebih sering berhubungan dengan Bos Fabian langsung.
******
Asha sedang mengobati Iuka robek dan memar di sudut bibir dan pelipis suaminya. Sesekali bertanya mengenai Ben yang ternyata mengenal suaminya itu.
"Mas, bagaimana bisa mengenal Benny ?"
tanya Asha , sembari memberi Obat merah di Iuka Danendra .
"Aku pernah mengerjakan rumah bosnya Ben,"cerita Danendra . Saat ini, Danendra tidak semurka sebelumnya setiap membahas lelaki itu.
"Oh, yang tampan itu. Sebenarnya dia yang menabrakku tempo hari," cerita Asha keceplosan.Mendengar kata tampan yang ditujukan pada lelaki lain, emosi Danendra tentu saja terpancing.Mata yang teduh itu langsung memerah, terbakar api cemburu yang sudah melahap sebagian logikanya.
"Aku tidak suka kamu memuji lelaki lain di depanku, As."Danendra mengingatkan.
"Maaf, Mas. Aku tidak bermaksud apa-apa.Hanya berbicara fakta, bukan menyataka perasaanku. Aku tahu, aku sudah bersuami," cicit Asha pelan. Tidak mau membuat amarah Danendra kian terpancing.
"As, ikut aku kembali ke Jakarta, ya?" pinta Danendra . Tangan kekarnya tiba-tiba menggenggam tangan istrinya yang sedang menggosokkan es batu pada Iuka memar yang ada di pelipisnya.
"Ayolah, As. Aku lelah kalau harus bolak balik ke Jakarta-Surabaya. Apalagi kejadian Nana ini membuatku waswas, takut akan terulang kembali." Danendra memberi alasan.
Asha tampak berpikir, sebenarnya Asha juga sedikit khawatir dengan masalah Hayana .
"Jangan katakan kamu masih belum mau kembali, As," todong Danendra , dengan tatapan menyelidik. Mulai muncul segala pikiran buruk di benaknya.
"Katakan padaku dengan jujur, As. Ben baru kali ini berkunjung ke rumah atau sebelumnya sudah pernah?" tanya Danendra mulai curiga.
Asha menggeleng. "Baru pertama kali, Mas,"sahut Asha .
"Kemarikan ponselmu, As," pinta Danendra , menyodorkan tangannya. Tanpa membantah, Asha menurut. Menyerahkan ponsel pada sang suami yang saat ini mulai terpercik api cemburu. Tidak mau memancing masalah dengan suaminya.
Lelaki itu membaca semua pesan yang masuk dan keluar di ponsel istrinya, sekaligus menyisir semua panggilan masuk dan keluar. Danendra bisa bernapas lega saat tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan di dalam sana.
"Mas, kalau aku berbuat macam-macam di belakangmu, pasti aku sudah menghapus jejak itu sebelumnya," celetuk Asha, membuat senyum cerah di wajah Danendra meredup seketika dan memancing tawa Asha .
Perkataan Asha membuat semakin melotot, bahkan lelaki itu harus berulang kali menahan kesal.
"Mas, jangan marah lagi. Aku akan ikut denganmu ke Jakarta," ujar Asha , memeluk Danendra .Mendapat perlakuan begitu manis dari Asha ,emosi Danendra mereda. Berganti, lelaki itu mendekap istrinya.
"Maaf, kalau aku sering membuatmu kesal. Aku sadar, terkadang aku menyebalkan. Di saat aku panik, aku mudah terpancing. Aku susah mengontrol emosiku," ucap Danendra .Jujur, saat ini selain menyesal karena sempat mengasari istrinya.
Ada rasa haru menyeruak didadanya. Pengertian dan kesabaran Asha padanya, membuat hatinya tersentuh. Tidak banyak yang sanggup bertahan di sisinya, tidak
banyak yang bisa mengerti dengan sifat temperamen dan cemburuan yang belakangan menambah deretan sifat buruknya. Berbeda dengan rumah tangganya dan Danisha .Mereka memiliki sifat yang sama kerasnya dan tidak ada yang mau mengalah. Setiap hari bertengkar untuk hal kecil, tetapi Asha berbeda.Gadis mungil yang diperistrinya memang sedikit keras, tetapi Asha sangat sabar menghadapinya.
"Ikut aku pulang ke Jakarta, aku usahakan sesering mungkin kita akan berkunjung ke Surabaya,"jelas Danendra , mengecup kening Asha perlahan.Asha mengangguk dan tersenyum hangat.
"Kamu tahu, As. Betapa beruntungnya aku mendapatkanmu," bisik Danendra di sela dekapannya.
***
Tidak ada bayang-bayang masa lalu
yang datang menghampiri kehidupan rumah tangganya, meskipun terkadang Adeline masih sering menginap di tempat mereka, tetapi Asha tidak mempermasalahkannya. Bahkan, Danendra secara terang-terangan membantu kehidupan mantan mertua sekaligus pengobatan Danisha yang masih belum ada kabar baiknya.
Siang itu, Asha sedang menemani Hayana
bermain boneka di teras rumah. Menikmati semilir angin yang bertiup sepoi-sepoi. Dengan daster motif floral, Asha terlihat cantik, duduk di kursi rotan bersama pengasuh Hayana .Asha sedang menemani Hayana bermain boneka kelihatan, saat sebuah mobil Alphard hitam mengkilap masuk ke pekarangan rumah mereka.
Tidak lama, tampak seorang lelaki diperkirakan seumur suaminya, turun dari dalam mobil dengan setelan jas lengkap dengan kacamata hitam.
"Selamat siang, saya ."Lelaki itu menghentikan ucapannya. Konsentrasinya beralih pada Hayana yang sedang berbincang dengan boneka.
Seulas senyuman, dengan menarik celananya lelaki itu berjongkok tepat di depan Hayana .Tangannya merogoh sesuatu dari dalam kantong celana. Sebuah cokelat masih terbungkus rapi.
"Boleh?" tanyanya menunjukkannya pada Asha ,meminta izin.
Asha mengangguk, kemudian memberi kode pada pengasuh Hayana supaya secepatnya membawa putri kecilnya masuk.
"Ada apa ya, Pak?" tanya Asha , heran menatap tamunya yang belum mengenalkan diri tetapi sudah menunjukkan ketertarikan pada putrinya. Lelaki dengan senyuman hangat menenangkan itu kemudian berdiri. Dengan sopannya ia mengulurkan tangan pada Asha.
"Kenalkan saya Herman," ucapnya.
Asha mengerutkan dahinya, terlihat berpikir keras .Pikiran Asha menerawang kembali ,teringat saat kakaknya ,Isyana bercerita siapa ayah kandung Hayana.
Nama "Herman",mungkin pria didepannya kini ayah kandung Hayana?lelaki itu menggantung begitu saja.
"Aku Asha , apa maksud kedatangan bapak ke rumahku?" tanya Asha , ketus. Tatapannya tajam,sengaja mengertak tamu tidak tahu diri yang sudah begitu lancang masuk ke area rumahnya.
"Bagaimana memulainya, ceritanya sedikit panjang," ucap Herman , bersuara.
"Katakan saja, setelah itu bapak bisa pergi!" sahut Asha mengusir.
"Saya tidak dipersilakan masuk?" tanya Herman ,tersenyum. Sikap ketus Asha bukannya membuat lelaki itu marah, tetapi malah sebaliknya.
"Katakan saja di sini!" sahut Asha dengan aura tidak bersahabat.Setelah perdebatan singkat, akhirnya Herman mengalah. Apalagi setelah memastikan wanita di hadapannya sedang marah .Perlahan, lelaki itu mengeluarkan sebuah amplop dengan kop rumah sakit di Surabaya. Itulah yang bisa Asha baca ketika amplop itu sampai di tangannya.
"Ini apa, Pak?" tanya Asha penasaran, tetapi tidak berani membukanya.
"Buka saja," titah lelaki yang mengaku bernama Herman .
Dengan ragu, Asha membuka amplop yang didalamnya terselip kertas dilipat tiga. Meskipun sudah membaca, Asha masih tidak paham dengan istilah-istilah kedokteran yang tertera di sana. Mengamati, meneliti dan mengulangi membaca, Asha masih belum paham. Sampai akhirnya, lelaki itu bersuara dan membuat Asha tertegun sejenak.
Kaki Asha tiba-tiba lemah,sepertinya tidak bisa berdiri.Terduduk kembali di bangku rotan.Herman baru mau bangkit memanggil anggota keluarga yang lain dan membawa sang nyonya rumah masuk ke dalam . Namun , langkahnya terhenti , seseorang mencekal lengannya .Herman menatap Asha ,Asha hanya memberi kode dengan hanya mengeleng kepalanya. Pikiran Asha berputar, ucapan sang lelaki mengitari otaknya.
"Pak,pulang saja.Aku tahu siapa ,Pak.Kak Isyana pernah bercerita kepadaku.Ambil kembali .Aku tidak mau suamiku bepikir yang bukan -bukan.Ku mohon!"jelas Asha merayu sembari kedua tangannya mendekap di dada memohon.Suaminya kayak bisa jadi Generuwo tiba-tiba seperti kerasukan tubuh si uji nyali, Dunia lain di channel tempatan.Suaminya terlalu posesif .
Herman meraih kembali kertas yang ada di dalam genggaman Asha dan memasukkannya ke amplop kembali.Herman berpamitan dengan Asha.
"Bagaimana aku mau jelaskan kepada suamiku? Temperamen dan cemburuan kapan saja bisa meledak kayak persis generuwo "kekhawatir hati Asha .