Chereads / Anak sang pembantu / Chapter 93 - Chapter 93:Ledakan

Chapter 93 - Chapter 93:Ledakan

***Keesokan siang***

Asha yang semalam berencana pulang, harus tertahan karena Hayana yang tidak mengizinkannya. Jadi, semalaman Asha dan Danendra harus tidur di kamar rawat inap menemani Hayana .

Mereka baru bisa membawa Hayana pulang, setelah dokter memastikan putri kecil mereka baik-baik saja.

"As, Nana tidur?" tanya Danendra , memijat pelipisnya setelah semalaman tidak bisa tidur. Hayana yang rewel semalaman, tidak betah di rumah sakit, memaksanya terjaga dan menggendong putrinya itu sepanjang malam. Berbeda dengan Asha yang bisa tidur, karena Danendra tidak mengizinkan istrinya itu bergadang.

"Sudah," sahut Asha , mendekap Hayana yang lelap di pangkuannya.Danendra bisa bernapas lega, bersandar dan memejamkan matanya sepanjang perjalanan pulang menuju ke rumah.

"Mas, jadi balik ke Jakarta sore ini?" tanya Asha,menoleh ke arah Danendra yang duduk di sisinya.

"Hmmm," gumam Danendra , setengah tertidur. Mendapati itu, Asha mengalah. Tidak tega membangunkan suaminya yang sudah lelah semalaman mengurus Hayana di rumah sakit. Memilih fokus menikmati jalanan sambil sesekali mengobrol dengan Pak Radin .

*******

Tidak lama, mobil mereka masuk ke pekarangan rumah. Asha yang masih terjaga, menatap heran pada mobil Range Rover hitam yang terparkir di depan rumah.

Deh——

"Aneh. Mobil siapa itu?" tanya Asha pelan.

"Sepertinya ada tamu, Nyonya," sahut Pak Radin yang mendengar pertanyaan Asha.

Keheranan Asha berubah menjadi keterkejutan saat matanya menangkap sosok laki-laki asing tapi seperti pernah bertemu dengannya.

"Siapa dia?" batin Asha.

Mata indah bermanik hitam itu membulat, napasnya pun memburu saat otaknya mengingat sosok tampan meskipun tidak setampan suaminya, yang berdiri di teras rumah mengobrol dengan ibunya.

"Ya Tuhan," cicit Asha, langsung memandang Danendra yang masih tertidur. Asha bersiap menyambut ledakan saat suaminya itu terbangun.

Asha buru-buru turun dari mobil sembari

menggendong Hayana yang tertidur. Secepatnya Asha harus mengusir lelaki yang sedang berbincang dengan ibunya, sebelum suaminya terbangun dan mengamuk. Entah Benny atau Ben,Asha tidak ambil peduli. Keutuhan rumah tangganya jauh lebih penting saat ini. Menyandang status istri Danendra selama tiga tahun lebih, meskipun baru menjadi istri sesungguhnya beberapa bulan terakhir, Asha menjadi tahu satu hal. Suaminya adalah lelaki yang mudah meledak, emosi dan mudah mengamuk.

"Maaf, ada apa, ya?" tanya Asha masih dengan memeluk Hayana .Sontak lelaki yang berdiri membelakangi Asha itu berbalik. Tatapannya meredup, begitu manik matanya tertuju pada gadis kecil yang ada di gendongan Asha . Pupus sudah harapannya,layu sebelum berkembang.

"Ma ... maaf, saya lancang," bisik Ben, terdengar kecewa.Dari arah dalam rumah muncul pengasuh Hayana, mengambil alih gadis kecil itu dari pelukan mommynya.

"Ada apa, ya? Bagaimana Bapak bisa sampai ke sini?" tanya Asha heran. Setahunya ia tidak pernah membagi alamatnya pada Ben. Meskipun lelaki itu tidak patah semangat menghubunginya melalui pesan ataupun panggilan yang jarang dijawabnya.Sebagai seorang istri, Asha cukup mengerti posisinya. Tidak pantas untuknya saling bertukar kabar, berkirim pesan ataupun berhubungan

dengan laki-laki lain selain suaminya. Status membuatnya membatasi diri, meski hanya sekedar menyapa, rasanya tidak pantas. Itu juga menjadi salah satu caranya untuk menjaga kehormatan suaminya.

"Panggil Ben saja," pinta Ben.

"Ada apa, Ben?" tanya Asha , ikut duduk disamping ibunya. Matanya terpaku pada shopping bag berlogo salah satu merek ponsel ternama. Melihat itu, Asha langsung paham maksud dan tujuan Ben datang menemuinya.

"Aku mengantar ponselmu," sahut Ben, menunjuk ke arah shopping bag.

"Terima kasih, tetapi tidak perlu repot-repot.Aku juga sudah membeli ponsel baru," sahut Asha berdusta.

"Tidak apa-apa. Aku tetap akan bertanggung jawab," sahut Ben.

Ben mengerti, memang sejak awal komunikasi mereka, Asha banyak menghindar. Tidak mau banyak bicara dengannya. Bahkan Asha tidak mau membahas mengenai ponsel. Untuk itulah, Ben mencari tahu banyak hal tentang Asha termasuk alamat tinggal.

Namun sayang, informasinya tidak akurat. Ben tidak mencari tahu tentang status Asha yang sudah memiliki seorang putri, yang artinya Asha sudah menikah.

Ibu Rani yang menyimak sejak tadi, mempersilakan Ben duduk dan menawari minuman,tetapi lelaki itu menolak.

"Tidak Bu. Terima kasih," tolaknya menjaga sopan.Ibu Rani menatap Ben dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Jujur,Ibu Rani terkesima dengan

kesopanan lelaki matang di depannya. Melihat tatapan Ben pada putrinya, Ibu Rani tahu lelaki itu sudah menyimpan rasa pada Asha .

Sayangnya Asha sudah menikah, kalau tidak pasti Ibu Rani akan menyetujuinya.

Apalagi melihat penampilan Ben yang rapi dengan kemeja dan celana bahan. Siapa saja pasti akan mengagumi. Ditambah cara bicaranya yang sopan dan tuturnya yang halus.

"Bu," kejut Asha , melihat Ibu Rani yang

menatap Ben sampai lelaki itu malu sendiri.

"Maaf," sahut Ibu Rani , menahan malu. Apalagi Ibu Rani sempat membayangkan untuk mengenalkan Isyana, yang sampai sekarang belum ada kejelasan. Masih betah menyendiri di usia 27 tahunnya, padahal Asha sang adik sudah menikah dan memiliki anak.

Setelah merasa suasana semakin canggung, apalagi Asha yang sejak tadi diam tidak mau bicara dan terkesan menghindar, akhirnya Ben berpamitan pulang.

"Kalau begitu aku permisi dulu Bu,As," pamit Ben .Lelaki itu masih sempat mencium tangan Ibu Rani sebelum benar-benar melangkah menuju ke mobilnya. Sikap Ben kembali menambah kekaguman wanita tua itu.

Asha baru saja hendak melangkah masuk ke rumahnya sembari menenteng shopping bag berisi ponsel, saat terdengar suara keributan di halaman rumahnya. Manik mata indah itu terkejut kala melihat Danendra yang baru bangun dari lelapnya sedang memukul Ben.

"Mas!" pekik Asha , berlari. Berusaha melerai suaminya.

"Bu!" teriak Asha sambil berlari, memanggil Ibu Rani yang sudah masuk ke dalam lebih dulu.

Asha sudah menarik tangan Danendra yang sedang berguling, menindih Ben dan memukul lelaki itu berulang kali, tidak lama keadaan berbalik.Sekarang berganti Ben yang menguasai Danendra .Balik memukul wajah tampan Danendra dengan kencang dan menimbulkan Iuka di sudut bibir.Kali ini Danendra mendapat lawan seimbang, yang sama-sama tidak mau mengalah. Dengan susah payah Asha melerai keduanya.

"Mas!" pekik Asha kembali, menangis melihat suaminya bergulat, saling baku hantam.

"Kurang ajar! Laki-laki tidak tahu diri. Beraninya kamu mendekati istriku. Aku akan membunuhmu!" ancam Danendra , melabuhkan sebuah pukulan telak di rahang Ben.

Posisi seperti itu terus berlanjut. Saling

memukul, saling menindih, saling menendang, sampai akhirnya seorang security ikut turun tangan melerai setelah mendengar teriakan histeris Asha.

Tidak lama, Ibu Rani juga berlari menghampiri. Terkejut melihat pertikaian di depan matanya.

"Dan, sudah!" teriak Ibu Rani. Keduanya berhenti saat mendengar teriakan Ibu

Rani yang menggelegar.

"Memalukan!" omel Ibu Rani , melihat beberapa asisten rumah tangga dan security yang ikutmengelilingi keduanya. Tidak jauh dari pergumulan dua lelaki itu, tampak Asha terduduk dihalaman rumah, menutup mulutnya, menahan tangisnya yang pecah supaya tidak terdengar ke

luar.

"Katakan! Apa maksudmu mendekati istriku?"tanya Danendra dengan emosi, mengarahkan telunjuknya ke Ben dengan penuh amarah.Ben yang baru saja bangun, tampak merapikan pakaiannya.

"Aku hanya membawa ponsel pengganti untuk Asha . Bosku sempat menabraknya di bandara dan membuat ponselnya jatuh dan rusak," jelas Ben, mengusap pelipisnya yang bengkak karena pukulan Danendra .Ben masih berusaha mengingat. Sepertinya dia pernah melihat Danendra . Akan tetapi di mana dan Ben masih berusaha mengingat. Sepertinya dia pernah melihat Danendra . Akan tetapi di mana dan siapa, otaknya masih belum bisa mengenali.Tangan Danendra masih terkepal, berusaha menahan

amarah.

"Jangan dekati istriku!" ancam Danendra .

"Mas, sudah. Aku tidak ada hubungan apa-apa dengannya. Dia Benny ," jelas Asha . Mendengar nama Benny , emosi Danendra bukannya mereda, sebaliknya malah terpancing kembali. Maju beberapa langkah, dan mencekal kerah kemeja Ben.

"Apa maksudmu menghubungi istriku dan

sekarang menemuinya? Hah?!" tanya Danendra.Ben menggeleng. "Maaf, aku sungguh tidak tahu kalau Asha sudah menikah," sahut Ben.

"Mas, sudah Mas," bujuk Asha , memeluk erat pinggang Danendra dengan berurai air mata.Berharap pelukannya akan menenangkan Danendra .

"Jangan pernah menampakkan wajahmu di depan istriku! Aku akan mematahkan kakimu kalau aku masih melihatmu berkeliaran di dekat istriku!" ancam Danendra , menunjuk tegas pada Ben.

"Ayo masuk, As," ucap Danendra , lembut. Kemarahannya menghilang dan jauh lebih tenang saat ini. Menggenggam tangan Asha , Danendra mengajak masuk ke rumah.

Ben yang masih sibuk berpikir sejak tadi, tiba-tiba bersuara.

"Maaf sebelumnya, Pak Danendra bukan?" tanya Ben, memastikan.

Langkah Danendra terhenti saat mendengar ucapan Ben. "Bagaimana kamu tahu namaku?" tanya Danendra heran.

"Aku asisten Fabian widyanto," jelas Ben,

tersenyum.