Chereads / Anak sang pembantu / Chapter 91 - Chapter 91:Amarah

Chapter 91 - Chapter 91:Amarah

"Pak, Non Nona diculik!" seru Pak Radin , berlari masuk ke dalam rumah, berusaha memberitahu majikannya.

Mendengar informasi dari sopirnya,Danendra berlari keluar.

"Dari mana kamu dapat informasi ini? Mana istriku?" tanyanya panik mengedar pandangannya, menyusuri halaman rumah yang kosong melompong.

"Di mana istriku?" tanya Danendra membentak sopirnya. Terlalu kesal dengan Pak Radin yang tidak kunjung menjawabnya.

"Ma-maaf Pak, Nyonya di luar," sahut Pak Radin ,berjalan melewati Danendra , menunjukkan keberadaan Asha saat ini.

"Di sana Pak," jelas Pak Radin , menunjuk ke arah keramaian warga.

Danendra langsung berlari menghampiri, menerobos kerumunan, mencari Asha di antara warga yang berkumpul. Tubuhnya melemas, saat melihat Asha yang terduduk tidak bertenaga di atas rerumputan sambil menangis. Wajah istrinya berantakan, penuh air mata.

"Bagaimana bisa begini, As? Katakan apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Danendra , berjongkok.Tatapan tajam antara panik, marah, kesal mengumpul jadi satu.

"Katakan As,apa yang terjadi?" tanya Danendra dengan nada sedikit meninggi.

"Nana diculik Mas," cerita Asha , dengan air mata berurai.

"Bagaimana bisa, As. Bagaimana kamu menjaganya sampai putrimu bisa diculik?" gerutu Danendra .

"Diculik di depan rumah, Pak. Di sini," sahut seorang warga, menunjuk ke tempat kejadian.

"Ya Tuhan ... Asha ," ucap Danendra meremas rambutnya sendiri.

Tampak seorang warga menunjukkan rekaman CCTV yang menyorot ke jalan dan memperlihatkan bagaimana Issabell bisa diculik. Kebetu- Ian CCTV rumah Danendra sendiri tidak bisa menangkap ke tempat kejadian karena terhalang tembok rumah yang menjulang tinggi.

Melihat rekaman CCTV, emosi Danendra semakin tidak terkontrol. Dengan kasar, menarik tangan Asha , membubarkan kerumunan warga itu tiba-tiba.Tarikan tangan Danendra membuatkan Asha kesakitan,tetapi hanya merelakan dan tidak berdaya dari melepaskan tangan Danendra yang mencengkam kuat tangannya.

Pengasuh dan Pak Radin yang ikut berdiri di sana terlihat mengekor langkah majikannya dengan ketakutan.

"Bagaimana ini, Pak?" ucap sang pengasuh dengan suara bergetar.

"Berdoa saja semoga Non Nana baik-baik saja.Kalau tidak, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi," sahut Pak Radin .

Sampai di dalam rumah, Danendra membawa Asha ke kamar dan menghempaskan tubuh istrinya dengan kasar ke atas tempat tidur. Terlihat Danendra menghubungi rekannya yang bekerja di kepolisian untuk membantunya. Tidak sampai di situ, Danendra juga menghubungi beberapa temannya yang tinggal di Surabaya, untuk membantu mencari Hayana .

"Bagaimana kamu menjaga putriku, As?"

tanya Danendra , melempar ponselnya ke atas ranjang. Raut kesal bercampur marah begitu mendominasi, terlihat begitu mengerikan.

"Maaf, Mas," cicit Asha, setelah lama diam dan hanya bisa menangis. Asha bersuara juga.

"Apa yang kamu lakukan saat Nana hilang? Apa yang kamu kerjakan?!" tanya Danendra , setengah berteriak.

"Di mana security yang biasa berjaga di depan rumah? Kenapa pintu gerbang tidak ditutup?" todong Danendra .

"Maaf Mas. Security yang biasa berjaga sedang sakit. Tidak ditutup sejak Pak Radin keluar menjemputmu, Mas. Aku pikir sebentar lagi Mas sampai, jadi dibiarkan terbuka," jelas Asha kembali. Danendra menggelengkan kepalanya.

"Kalau sudah tahu seperti itu, harusnya kamu lebih hati-hati, As. lcca sendirian keluar di jalan.Tidak ada pengasuhnya, kamu juga tidak ada di sana. Apa yang kalian kerjakan?" omel Danendra .

"Aku sedang mengobrol dengan Ibu di teras.Aku tidak melihat Nana keluar, Mas," sahut Asha ,menunduk, sudah siap menerima kemarahan suaminya. Danendra mengusap kasar wajahnya. Benar-benar tidak bisa terima dengan kelalaian Asha.Cuping Danendra mendengar omongan gobrol membuatkannya meledak.

"Ohh!!ngobrol rutinasmu !!kamu terlalu senang dengan derajatmu!Lancang sekali mulutmu menjawabku!"marah bercampur sindir Danendra ke Asha.

"Karena keras kepalamu dan egois ini terjadi.Aku memboyong kalian pulang ke Jakarta,tetapi egoismu mengeluarkan taring !Alasanmu,macem-macem !Apa sekarang kamu merasa puas dengan egoismu!"gertak Danendra sembari telunjuknya menunjuk mengarah ke Asha .Matanya menatap tajam Asha.

"Mengurus satu anak saja tidak becus. Harusnya kamu tahu, anak seumur Nana itu tidak mengerti apa-apa. Harus benar-benar diawasi. Kenapa kamu bisa begitu teledor begini, As?" keluh Danendra berulang kali dengan nada yang tinggi,tangannya menempal keras melepaskan tumbukan ke atas meja di sisi susur kamarnya. Asha tersentap melihat prilaku suamimu.Suaminya menakutkan saat amarahnya. Asha bisa melihat sisi lain suaminya.

Asha hanya bisa menunduk, menangis dan meminta maaf. Menyesal karena lalai, terlalu serius mengobrol sampai tidak menyadari Hayana sudah menghilang, keluar ke jalanan sendirian.

"Maafmu itu kalau bisa dipakai buat menemukan Nana , aku akan menerimanya dengan senang hati," ucap Danendra , semakin kesal. Berusaha sebisa mungkin menahan emosinya supaya tidak semakin melonjak.

"Kamu tahu, untuk masalah ini, aku tidak bisa menerima alasan apa pun. Karena kelalaian, kesalahanmu ini bisa mencelakai Nay. Tidak ada pembelaan untuk itu. Berdoa saja Nana baik-baik saja. Kamu gagal menjadi seorang ibu.Aku tidak bisa membayangkan saat satu hari nanti anakku ada ibu sepertimu!Renungi kesalahanmu!" ucap Danendra , mengantongi kembali ponselnya dan bergegas keluar dari kamar.

"Aku mengerti mengapa aku dilentarakan tiga tahun dibanding dengan Nana yang hanya diadoptasinya dari kakakku.Aku tidak bisa merebut derajat Nana di hatimu,Mas"batin Asha berkata.

"Nana,dimana kamu ,Sayang.Maafkan Mommy !Mommy teledor!"ucap Asha dalam isak.

Bunyi pintu yang dibanting Danendra dengan keras,membuat jantung Asha hampir meloncat keluar.Tangisnya pecah saat ini. Menangisi Hayana dan kemarahan Danendra padanya. Kalimat Danendra barusan tadi benar-benar seperti belati menusuk hatinya. Asha menarik bantal dan menyembunyikan suara tangisnya di sana supaya tidak terdengar keluar.

Penyesalan semakin menjadi saat menerima kemarahan Danendra . Bahkan Asha lupa rasa sakit di lututnya yang berdarah, lupa pakaiannya yang kotor karena jatuh tertelungkup di halaman.

Kemarahan Danendra berlanjut, sekarang pengasuh dan para asisten rumah yang kena semprot. Danendra dengan mata berapi-api, emosi dalam kadar tinggi, bertolak pinggang di depan para asisten dan pengasuh yang berbaris rapi dan menunduk .

Pak Radin yang tidak tahu apa-apa juga ikut menciut, bergabung dengan kumpulan asisten rumah tangga Danendra . Berdiri dengan tangan menggenggam di depan. Tidak ada seorang pun yang berani menjawab. Jangankan menjawab, mengangkat pandangan pun tidak ada yang sanggup.Saat ini Danendra seperti singa mengamuk yang sedang diganggu tidurnya. Kemarahan yang baru kali ini terlihat setelah hampir sekian tahun bekerja. Asha hanya mampu melihat dari kejauhan.Merasa iba melihat asisten rumah tangga tempat suaminya menempiaskan amarahnya.

Hampir setengah jam emosi Danendra tidak terkontrol, sampai akhirnya Ibu Rani mencoba bicara.

"Maafkan Ibu. Tadi Ibu juga lalai. Tidak ada seorang pun yang menginginkan ini terjadi."ucap Ibu Rani cuba menenangkan Danendra.

"Dan sudah terjadi, kita tidak bisa apa-apa selain berdoa semoga semua baik-baik saja," lanjut Ibu Rani , menahan matanya yang berkaca-kaca supaya tidak menangis.

Ibu Rani juga merasa bersalah dan menyesal akan keteledorannya, tetapi saat ini tidak bisa berbuat apa pun. Danendra tertegun sesaat, berusaha menenangkan emosinya.

"Bu, nanti mungkin ada temanku yang akan datang bertanya mengenai kronologis dan reka- man CCTV. Tolong dibantu. Aku harus mencari Nana sekarang. Tidak bisa berdiam di sini menunggu kabar," jelas Danendra .

"Pak Radin , ayo!" ajak Danendra , bergegas keluar.Sang sopir yang mendengar namanya dipanggil buru-buru keluar mengekor.

"Cari di mana pun! Kalau perlu kita telusuri seluruh kota Surabaya! Aku tidak mau terjadi sesuatu pada Nana karena aku terlambat menolongnya," ucap Danendra .

****

Waktu terus berjalan, sore menghilang, malam pun datang. Sejauh ini belum ada kabar, baik dari kepolisian, orang-orang Danendra , bahkan Danendra sendiri belum kembali sejak sore tadi.

Ibu Rani hanya bisa duduk termenung ditemani para asisten rumah. Sedangkan Asha sejak sore tidak turun dari kamarnya, hanya menangis dan menyesali kelalaiannya.

Waktu sudah hampir pukul 23.00 malam, saat mobil sport Danendra masuk ke halaman rumah. Tidak lama, lelaki itu turun dengan wajah kusutnya. Ponselnya tidak berhenti berdering sejak tadi, berbagi informasi dengan rekan dan temannya yang ikut mencari.

"Bagaimana?" tanya Ibu Rani .

Danendra tidak menjawab,hanya menggeleng dan segera naik ke kamarnya dengan wajah lelah,hampir putus asa.Tepat saat pintu kamarnya terbuka, terdengar suara dering ponsel kembali. Kali ini dari nomor tidak dikenal.

"Halo," sapa Danendra begitu menempelkan benda pipih itu di telinga. Mata Danendra membulat begitu mendengar informasi yang disampaikan si penelepon.