***Keesokan harinya.**
Danendra baru saja tiba di kantornya. Lelaki tampan dengan setelan jas hitam itu terlihat mengeluarkan ponsel dari saku celana saat masuk ke dalam ruangan, melakukan panggilan video dengan istri dan anaknya di Surabaya.
"As, kamu sedang apa?" tanya Danendra ,
menghempaskan tubuhnya di atas kursi kerja.
"Baru saja menemani Nana jalan-jalan keliling komplek," cerita Asha , mengusap keringat yang menetes di dahinya.
"Ini masih duduk di teras samping," lanjut Asha . Asha mengarahkan ponselnya ke arah taman, menunjukan keberadaannya pada sang suami.
"Nana mana?" tanya Danendra lagi. Di layar ponselnya hanya dipenuhi wajah Asha , tidak terlihat putrinya sama sekali.
"Nana sedang dimandikan mbaknya," sahut Asha .
"Kamu sudah mandi? Mau dimandikan juga?"tanya Danendra menaikan alis untuk menggoda istrinya. Seperti biasa, mulai melemparkan rayuan maut lengkap dengan pikiran kotornya.
"Mas!" seru Asha kesal.
"Tunggu aku ke sana, ya," goda Danendra lagi.
"Kapan Mas ke sini?" tanya Asha .
"Sudah tidak sabar mau dimandikan?" Danendra kembali usil.
"Mas, aku serius," keluh Asha .
"Besok sore, ya. Hari ini aku harus bertemu dengan klien. Aku dapat proyek baru, membangun villa di Puncak. Pemiliknya berasal dari Surabaya juga. Kenalanku ... pengusaha mebel," cerita
Danendra .
Untuk pertama kali Danendra menceritakan pekerjaan pada istrinya. Bukan hanya Asha , dulu sewaktu dengan Danisha , Danendra tidak pernah melakukannya. Obrolan mereka lebih banyak untuk hal-hal yang ringan, tidak sedikit pun membahas pekerjaan.
"Oh ya? Mas mulai sibuk lagi? Bolak balik Jakarta - Puncak?" tanya Asha , memastikan. Terlihat otaknya berpikir, dahi berkerut dengan bibir mengerucut, membuat Danendra menertawai ekspresi menggemaskan Asha .
"Makanya ... ayo kembali ke Jakarta. Jadi kita bisa bersama setiap hari," bujuk Danendra . Danendra masih saja berjuang melunakan hati Asha .
"Aku pikir-pikir dulu, Mas."Jawab Asha.
"Kalau kita berdekatan, Mas selalu mengajakku bertengkar," celetuk Asha .
"Kamu ...." Danendra tidak menyelesaikan kata-katanya. Perhatiannya teralihkan saat pintu ruang kerjanya yang dibuka pelan. Muncul sekretarisnya yang cantik dengan rok mini dan sepatu tinggi.
"Pagi, Pak. Ada yang minta bertemu dengan Bapak," ucap sang sekretaris dengan ragu-ragu.la merasa tamunya sedikit tidak sopan, berkunjung pagi-pagi sekali, tanpa membuatjanji terlebih dulu.
"As , aku akan menghubungimu lagi setelah tamuku pulang," ucap Danendra , memutuskan panggilan videoanya.
Danendra menatap sekretarisnya, menunggu informasi apalagi yang akan disampaikan gadis manis yang sudah mendampinginya selama dua tahun ini.
"Siapa yang begitu sopannya meminta bertemu denganku di pagi buta ini?" tanya Danendra , sarkas.
Belum sempat sekretaris itu menjawab, muncul sesosok laki-laki dengan postur besar tinggi dan berwajah oriental dari balik pintu.
"Danendra ," sapanya dengan suara berat yang penuh wibawa.
"Herman ?" Danendra nyaris tidak percaya dengan kehadiran klien baru sekaligus kenalan yang baru saja dibicarakannya dengan Asha .
"Bukannya kita janji bertemu nanti siang?" tanya Danendra heran, mengerutkan dahinya.
"Aku harus buru-buru kembali ke Surabaya. Besok adalah peringatan setahun meninggalnya almarhumah istriku. Aku harus mempersiapkan segala sesuatunya," jelas Herman .
Danendra menganguk, pertanda mengerti.
"Bagaimana? Apa bisa langsung
ditandatangani?" tanya Herman .
"Oh ya. Silakan duduk dulu. Kenapa buru-buru sekali?" tanya Danendra , mempersilakan.
Sekretaris Danendra yang masih mematung segera mengambil inisiatif, menawarkan secangkir teh hangat atau kopi hangat pada atasan dan tamunya.
"Maaf, minumnya teh atau kopi, Pak?" tawarnya.
"Kopi hitam, gulanya jangan terlalu banyak. Untuk dua orang."Danendra langsung memberi instruksi.
"Apa semua sudah oke? Tidak ada masalah lagi?" tanya Danendra , memastikan lagi sebelum tanda tangan kontrak itu terjadi.
"Aku percayakan semua padamu," sahut Herman ,duduk bersandar dengan santai dan kaki terlipat.
"Baiklah, aku akan meminta asistenku membawa kontraknya ke sini,jadi kita bisa selesaikan secepatnya," ujar Danendra .
Keduanya terlibat obrolan ringan, sesekali
bercanda sambil menunggu kedatangan Ramos dan Dina.Mereka bukanlah baru kenal. Sebelumnya, sewaktu Danendra tinggal di Surabaya, mereka pernah
beberapa kali bertemu di club golf meskipun bukan sahabat yang akrab.
"Bagaimana kabar keluargamu, Dan? Aku dengar kamu sudah menikah lagi," tanya Herman ,sembari menyeruput kopi hitam dari cangkir keramik putih yang baru saja dihidangkan sekretaris Danendra .
"Baik. Istri dan anakku sedang di Surabaya," cerita Danendra .
"Oh ya. Kapan kamu akan ke Surabaya,
menyusul istrimu?" tanya Herman lagi, terlihat antusias.
"Aku belum tahu. Mungkin besok aku. Aku
belum yakin ... harus melihat jadwal pekerjaanku dulu," sahut Danendra .
Herman terlihat mengangguk tanda mengerti. Tidak melanjutkan pembahasan mengenai keluarga Danendra lebih jauh.
Tak lama, Ramos dan Dina muncul dengan sebuah map hitam di tangan, meletakan kontrak kerja itu dan mempersilakan keduanya untuk menandatanganinya.
Kesepakatan itu berjalan lancar, Herman pun berpamitan untuk mengejar penerbangannya ke Surabaya.
"Terima kasih, Dan. Nanti kabari aku kalau kamu ke Surabaya. Aku mau mengundangmu dan keluargamu berkunjung ke tempatku," ucap Herman, sebelum berpamitan dan berjabat tangan dengan Danendra .
Sore harinya, di Surabaya. Asha baru saja selesai mandi saat terdengar suara pengasuh berteriak memanggil sambil menggedor pintu kamar.
"Ya. Ada apa, Mbak?" teriak Asha heran, membuka pintu dengan rambut masih digelung handuk dan berbalut piyama mandi.
"Nyonya, aduh ... bagaimana menceritakannya,ya. Di luar sana ada lelaki berewokan, tinggi, hitam pokoknya menyeramkan." Mbak pengasuh menceritakan dengan napas memburu, wajah panik dan ketakutan. Tangannya menunjuk ke arah luar rumah.
"Ada apa, Mbak?" tanya Asha heran. Masih belum paham arah pembicaraan sang pengasuh.
"Ayo, ada apa? Bicarakan dengan tenang," ajak Asha . Menarik tangan pengasuh putrinya itu agar duduk di sofa, di ruang keluarga yang tidak terlalu jauh dari kamarnya di lantai dua.
"Begini Nyonya. Aku tadi 'kan mengajak Nana jalan-jalan keliling komplek." Cerita sang pengasuh .Asha mengangguk.
"Ya. Lalu masalahnya?"tanya Asha heran. Melepas handuk yang melilit kepalanya dan mengeringkan rambutnya sambil mendengarkan.
"Nah, laki-laki yang tampangnya mengerikan itu membuntuti aku dan Nana . Aduh, aku jadi takut,"adu sang pengasuh, bergidik.
"Yang benar saja? Mungkin perasaan Mbak saja," komentar Asha , mencoba menenangkan dan berpikiran positif.
"Tidak, Nyonya. Aku lihat sendiri. Dia mengekor ke mana saja aku dan Nana melangkah. Senyumnya saja menyeramkan. Mana dia sempat mendekati dan mengajak lcca mengobrol lagi."jelas sang pengasuh khawatir.
"Aduh, Mbak. Jangan terlalu sering menonton sinetron. Jadinya 'kan begini."Jawab Asha sembari tersenyum.
"Mana Nana?" tanya Asha lagi. Memandang ke sekitar, mencari keberadaan Hayana yang tidak terlihat.
"Nana aku titipkan dengan Ibu. Bermain di halaman depan," sahut sang pengasuh
"Tapi, ini serius, Nyonya. Aku takut laki-laki itu mau menculik Nana," adunya lagi.
"Ya sudah, bawa masuk Nana ke dalam," pinta Asha .
"Jangan terlalu sering main di luar rumah. Aku tidak mau diomeli suamiku kalau sampai kamu lalai menjaga Nana ," lanjut Asha lagi, bergegas masuk kembali ke dalam kamarnya.
Asha masih tidak terlalu menanggapi cerita pengasuhnya. Selama tinggal di sini, tidak ada hal yang aneh-aneh. Para security yang berjaga di pintu masuk perumahan juga tidak mungkin sembarangan mengizinkan orang asing dan mencurigakan masuk ke dalam komplek.