Chereads / Anak sang pembantu / Chapter 78 - Chapter 78:Membulat Tekad

Chapter 78 - Chapter 78:Membulat Tekad

Ibu Rani tersenyum, samar-samar menatap bayangan lelaki yang sedang terlelap di belakang setir. Berbanding terbalik dengan Asha yang langsung berbalik masuk ke dalam rumah.

Wanita tua itu berjalan perlahan mendekati mobil sport hitam menantunya, tetapi dari arah depan terlihat Pak Radin yang masih dengan kain sarung dan kaus putih polosnya berjalan menghampiri.

"Pagi, Bu," sapanya tersenyum malu-malu,melirik ke arah majikannya yang sedang tertidur pulas.

"Pak Radin !" pekik pelan Ibu Rani , terkejut dengan sosok yang mengendap-endap dalam keremangan pagi itu. Sejak tadi Ibu Rani tidak menyadari kehadiran sopir Danendra .

"Maaf, Bu ... mengagetkan paginya," ucap Pak Radin tersenyum kembali.

"Kapan tiba? Kenapa tidak membangunkan

orang rumah?" tanya Ibu Rani kembali menatap ke arah mobil mewah menantunya.

"Baru saja, Bu. Mungkin sekitar dua puluh menit yang lalu. Tadi saya mengobrol di pos satpam,"jelas Pak Radin berbicara sambil membungkuk.Ibu jarinya menunjuk ke arah pos security di samping gerbang.

"Oh, duduk di dalam saja, Pak," ajak Ibu Rani ,turut prihatin dengan wajah semerawut dan kurang tidur lelaki tua itu. Terlihat dari kantong menghitam di bawah mata si sopir.Selain prihatin berlebih, Ibu Rani juga ingin mencari tahu apa yang telah terjadi.Kenapa tiba-tiba menantunya sudah muncul di depan rumah.Tanpa kabar dan berita, mengejutkan mereka

semua.

Pak Rudi yang masih kelelahan menurut tanpa protes, merapikan sarung kotak produksi gajah duduk yang lupa diganti karena buru-buru. Baru saja Pak Radin selesai mandi sore, bahkan belum kering benar, tetapi suara teriakan kemarahan Danendra membuatnya berlari menemui majikannya tanpa berpikir panjang.

"Apa yang terjadi, Pak?" tanya Ibu Rani ,

menyodorkan secangkir kopi hitam. Berbincang dengan sopir menantunya itu di teras rumah.

"Pak Danendra marah-marah sewaktu tahu Nyonya Asha pulang ke Surabaya. Nih, saya bahkan tidak sempat ganti pakaian, habis mandi sore masih sarungan sudah langsung jalan saja," jelas Pak Radin tersenyum.

"Hah!" Ibu Rani kaget.

"Kalian jalan jam berapa?" tanyanya heran.

"Sore, mungkin jam empatan atau lima sore,saya tidak ingat jelas," sahut Pak Radin .

"Pak Danendra sepertinya sudah mengantuk sekali.

Sudah tidak sanggup membuka mata. Begitu mobil terparkir di sana langsung tertidur. Hanya berpesan, minta dibangunkan pukul enam pagi."Ibu Rani membulatkan matanya, memandang ke arah yang dimaksud Pak Radin .

"Bu, kalau tidak merepotkan, saya boleh minta sepiring nasi, lauk apa saja boleh. Dari kemarin sore perut belum diisi, hanya masuk dua keping roti tawar dan kopi hitam," pinta Pak Radin , malu-malu. Namun, apa daya, perut sudah tidak bisa diajak kompromi.

"Ya Tuhan ... apa yang terjadi," ucap Ibu Rani nyaris tidak percaya.

"Pak Danendra menolak mampir ke rest area, ngotot mau tiba di Surabaya secepatnya. Hanya sempat mampir sebentar membeli roti dan kopi botol untuk bekal di perjalanannya."jelas sang sopir.

"Pak Danendra lebih parah lagi. Dari pulang kerja belum mandi, bahkan belum makan dari kemarin siang. Sepanjang perjalanan hanya mengisi perut dengan kopi. Katanya takut mengantuk saat menyetir," jelas Pak Radin lagi.

"Dia menyetir sendiri?" tanya Ibu Rani hampir tidak percaya.

"Tidak, Pak Danendra mulai pegang setir dari jam sebelasan malam. Sebelumnya saya yang menyetir. Pak Danendra tidak sanggup kalau harus menyetir sendirian dari Jakarta-Surabaya. Jadi kita gantian, Bu," jelas Pak Radin .

Belum selesai mendengar cerita, Ibu Rani sudah berdiri menahan kesal, masuk ke dalam rumah dan mencari Asha .

"As , suamimu itu diurusi. Dia belum makan sejak kemarin siang. Siapkan makanan untuknya,"perintah Ibu Rani . Melihat respon Asha yang ogah-ogahan semakin membuat Ibu Rani naik darah.

"Suamimu itu menyetir dari Jakarta -Surabaya hanya untuk menyusulmu. Kurang apa lagi pengorbanannya. Kamu butuh apalagi darinya?"omel Ibu Rani .

"Siapa suruh dia menyetir? Aku tidak memintanya, itu kemauannya sendiri, Bu," sahut Asha santai tidak peduli sedikit pun. Meskipun begitu,Asha tetap berdiri dan menyiapkan makanan untuk suaminya.

"Nana , main sendiri dulu, ya. Mommy mau siapkan makanan untuk Daddy," jelas Asha .

Asha sudah berjalan menuju ke dapur,

maksud hati ingin meneriakan asisten rumah.Seperti di rumah suaminya di Jakarta, Asha tidak perlu memasak. Cukup mengeluarkan perintah,ada asisten rumah tangga yang melakukannya.Semuanya sudah diurus asisten rumah tangga.Bibir itu baru akan berucap, bersiap memberi perintah. Namun, Ibu Rani sudah memotongnya dengan kalimat yang tegas.

"Mba.."tidak terabis ayat Asha.

"Ini di Surabaya,bukan di rumah suamimu.

Kamu tidak bisa seenaknya!" potong Ibu Rani .

"Ingat, ini rumah Ibu meskipun kamu yang menempati kamar utamanya," ucap Ibu Rani mengingatkan, menutup mulutnya, menahan senyuman.

"Kalau suamimu kelaparan, tugas istrinya yang menyiapkan. Kamu tidak berhak mengatur pekerja di rumah ini. Dan satu lagi, jangan bersikap layaknya Nyonya rumah di sini. Ingat, kamu itu tamu di sini, As."jelas Ibu Rani berating marah menahan tawanya.

"Apa-apaan ini, Bu!" keluh Asha , mendengus kesal.

"Rumahmu bukan di sini. Sejak menikah, rumah suamimu yang menjadi rumahmu," jelas Ibu Rani , membuat Asha tidak berkutik.

Asha terpaksa menurut, meskipun bibirnya komat-kamit tidak karuan. Entah kenapa, sejak kehadiran Danendra di depan rumahnya, perilaku ibunya berubah drastis. Tidak seramah sebelumnya.

"Kalau mau menjadi Nyonya, kembalilah ke tempatmu, As," ucap Ibu Rani mengulum senyuman.

"Astaga! Kenapa Ibu makin ke sini makin kelewatan," ucap Asha kesal. Kata-kata ibunya tadi masih membekas di hati. Asha mengerti maksud ibunya membahas kepemilikan rumah yang sekarang mereka tempati. Asha tahu rumah ini kepemilikannya ibunya,Ibu Rani .

Berbekal ilmu yang diturunkan ibunya ,saat ibunya menjadi asisten ruamah tangga Asha mencuri melihat saat ibunya memasak . Yang paling mudah ,Asha membuat telur ceplok

lengkap dengan lelehan kecap malika. Bella benar-benar menduplikasikannya sesempurna mungkin.Hari ini terbilang masih pagi. Tidak ada stok makanan apa pun di dalam kulkas. Mereka baru saja tiba kemarin siang. Rencananya pagi ini Asha akan mengantar ibunya ke pasar tradisional untuk mengisi stok sayuran, daging dan ikan dikulkas.

"Perfect!" ucapnya tersenyum.

"Aku ingin tahu, apakah dia akan menerima makanan simple begini saat disuguhkan makanan seperti ini," gumam Asha lagi.

Di kompor lainnya, tampak pembantu baru mereka juga membuat telur serupa dengan yang dibuatnya.

"Mbak, itu untuk siapa?" tanya Asha ,

mengerutkan dahi.

"Untuk tamu yang duduk di depan, Mbak.

Asha yang belum tahu mengenai keberadaan Pak Radin hanya mengerutkan dahi tanpa bertanya lebih jauh lagi. Memilih bungkam sembari meletakan nasi telur ke atas meja makan.

"Bu, makanannya Mas Dan sudah siap di atas meja makan," ucap Asha dari pintu. Sempat terkejut dengan kehadiran Pak Radin , yang juga sudah duduk di sana mengobrol dengan ibunya.

"Loh, bapak ikut ke sini? Lalu nanti yang mengantar Adeline ke sekolah siapa?" tanya Asha ,teringat dengan keberadaan Adeline yang tinggal di rumah Danendra .

"Non Adeline kemarin sore diantar Pak Ramos ke tempat mamanya," jelas Pak Radin , singkat.

"Oh." Hanya sebuah respon singkat. Asha sudah berbalik badan dan bergegas masuk ke dalam rumah, tetapi langkahnya lagi-lagi terhenti. Ibunya kembali meminta membangunkan suaminya yang pulas di dalam mobil.

"As , urus suamimu! Bangunkan dia, siapkan air hangat dan pakaian ganti," perintah Ibu Rani ,menunjuk pada koper mungil milik Danendra yang berdiri kukuh di dekat pintu masuk.Asha sudah ingin protes kembali, tetapi niat itu diurungkannya. Tidak enak dengan kehadiran Pak Radin yang sedang menikmati sarapan paginya. Setidaknya, Asha masih harus menjaga harga diri suaminya di depan para pekerja.

Meskipun Asha tidak menjanjikan akan menyelamatkan wajah Danendra di depan ibunya.Dengan langkah penuh keterpaksaan, Asha bergegas menuju mobil dan membuka kasar pintu mobil sport hitam kesayangan suaminya itu.

"Mas."

"Mas ... bangun!" panggil Asha pelan. Sedikit mengguncang tubuh Danendra yang tertidur lelap.Suaminya itu memang sedang pulasnya. Sejak beberapa jam lalu menahan kantuk, baru bisa tidur beberapa menit yang lalu.

Dari bunyi dengkuran dan napas berat sang suami, Asha tahu saat ini Danendra sangat kelelahan dan mengantuk.

"Mas, Mas ... bangun," ulang Asha , memanggil dengan lebih kencang sambil memukul keras lengan suaminya.

Panggilan kali ini sanggup membangunkan Danendra .

"As !"

"Sayang," panggil Danendra , berusaha membuka paksa matanya. Kehadiran Asha di depan matanya membuat semua lelahnya hilang. Tidak percuma Danendra memaksa berkendara dari Jakarta-Surabaya,setidaknya itu bisa membuatnya lebih cepat bisa bertemu dengan istrinya.Lagi pula, Danendra tidak akan bisa tidur semalaman kalau harus menunggu pesawat pagi.

"As , maafkan aku," ucap Danendra , berusaha meraih tangan istrinya yang berdiri menghindar. Asha tidak mengizinkannya menyentuh, malah sebaliknya istrinya menghadiahkan sebuah tatapan tajam untuknya.

"Aku sudah menyiapkan makanan untukmu, Mas. Turunlah!" ucap Asha ketus. Berbalik badan dan bergegas masuk ke dalam rumah.

Danendra menurut, segera turun dengan tampilan berantakan. Sampai di teras sempat menyapa mertuanya.

"Bu," sapanya pelan, masih dengan menahan kantuk.

"Masuk ke dalam. Minta Asha menyiapkan semua kebutuhanmu," ucap Ibu Rani ,

tersenyum.Baru saja menginjakan kakinya ke dalam rumah, Danendra sudah disambut putri kecilnya.

"Daddy!" pekik Hayana bersorak kegirangan,berlari menghambur memeluk kedua kaki Danendra .

"Endong Daddy," pintanya menyodorkan kedua tangannya ke atas.

"Nana rindu Daddy?" tanya Danendra , saat Hayana sudah berada di gendongannya.Pertanyaan yang ditujukan pada putrinya, tetapi tatapannya tidak

beralih sedikit pun dari istrinya.

"Linduuuuu," sahut Hayana , menghujami wajah Danendra dengan ciuman basah. Kecupan yang meninggalkan jejak air liur putri kecilnya.

"Kalau Mommy rindu Daddy juga?" tanya Danendra ,berusaha memancing Asha . Sejak tadi,Danendra bisa melihat dengan jelas istrinya cemberut.

Bahkan Asha tidak mau menatapnya. Setiap kali bertemu tatap, istrinya akan membuang pandangannya.

"Ayolah, As , maafkan aku," pinta Danendra , berjalan mendekat. Memangkas jarak yang diciptakan

Asha .

"Sarapanmu di meja, Mas. Aku akan menyiapkan air hangat dan pakaianmu," ucap Asha ,bergegas naik ke lantai dua.

Asha memilih megindar sejauh mungkin, tidak akan luluhdengan mudah seperti biasanya. Bahkan Asha sudah. membulatkan tekad untuk berpisah dari Danendra .Kedatangan Danendra yang menyusul ke Surabaya,tidak akan mengubah apapun. Asha tetap pada

keputusannya.

"As, dengarkan aku," ucap Danendra , menyusul istrinya.

"Nana , main sama Oma sebentar, ya. Daddy ada perlu dengan Mommy," ucap Danendra , menurunkan Hayana dari gendongannya.

Bagaimana pun, Danendra harus berbicara dengan Asha . Meluruskan kesalah pahaman, kalau memang ada miss komunikasi di antara mereka.Meminta maaf pada istrinya, kalau memang Danendra melakukan kesalahan. Danendra akan melakukan apa saja, asal hubungannya bisa kembali membaik

seperti sebelumnya.

"Sweetheart!" panggil Danendra , berlari menyusul istrinya, menapaki anak tangga itu dengan tergesa-gesa, supaya bisa menyejajarkan langkahnya dengan Asha .

"Berhenti memanggilku dengan panggilan menjijikan itu. Namaku ASHA BIANTARA. Mas bisa memanggilku ku Asha seperti yang lainnya," ucap Asha dengan tegas.