"Daddy, jangan pergi. Tolong antarkan aku ke tempat Mommy sekarang," isak Adeline dengan air mata bercucuran.
"Mommy sakit lagi. Aku mau tinggal dengan Mommy saja," isaknya,berhambur di pelukan Danendra .
Danendra melepas koper di tangannya, sedikit membungkuk merengkuh pundak gadis tanggung yang sudah dianggap putrinya.
"Maaf,Adeline , tapi Daddy tidak bisa. Daddy masih ada urusan," pinta Danendra , memohon pengertian.
"Siapkan pakaianmu, nanti Pak Radin akan mengantarmu ke tempat mommymu," lanjut Danendra .
Meraih kembali kopernya yang tumbang karena dihempasnya mendadak dan menyeretnya keluar menuju halaman rumah, tempat di mana mobilnya menunggu membawanya ke bandara.
Di halaman depan sudah menunggu Pak Radin ,berdiri di samping Alphard hitam. Mobil yang biasa dibawanya ke mana-mana, mengantar nyonya Danendra Isam Aldari . Melihat kehadiran Danendra ,pria tua itu berlari menghampiri, mengambil alih koper hitam yang ada di tangan Danendra dan memasukannya ke bagasi mobil.
"Pak, aku titip rumah," bisik Danendra , melangkah mendekat ke mobil. Tepat saat akan meraih gagang pintu mobil, dari arah dalam rumah terlihat Adeline menghambur memeluk Danendra .
"Daddy, jangan pergi. Aku mau Daddy.Adeline bagaimana ... kalau Daddy pergi," isaknya,menangis kencang, sesengukan membasahi punggung kemeja Danendra .Pria itu belum bergantian pakaian sejak pagi.Hanya melepas jas kerja dan melemparnya di kursi mobil sebelum masuk ke rumah. Tangan kemeja yang digulung sebatas lengan dengan kemeja kusut, hampir keluar dari dari dalam celana panjangnya. Belum lagi rambut berantakan dan wajah acak-acakan.
Cukup melihat tampilan Danendra saat ini, siapa pun bisa menilai apa yang terjadi. Kelelahan jiwa dan raga menghantam tubuh kekar itu sekaligus.
"Line , jangan begini. Daddy ...."Danendra menghentikan kalimatnya, setelah merasa tangis Adeline semakin menjadi. Berbalik dan memeluk erat gadis itu.
"Aku mau Daddy, aku mau Mommy. Aku mau Daddy bersama-sama dengan Mommy dan Adeline seperti dulu lagi, Dad. Seperti teman-temanku yang lain. Daddy adalah daddyku,walaupun Mommy mengatakan bukan," ucap Adeline menumpahkan isi hatinya.
"Adeline mau seperti Nana . Punya Daddy dan Mommy," bisiknya lagi.
"Maaf, tapi Daddy ada urusan saat ini. Nanti,Pak Radin akan mengantar Adeline ke tempat Mommy, ya?" tawar Danendra .
Adeline menggelengkan kepalanya dengan kuat,pertanda gadis itu belum bisa diajak kompromi.Masih terisak hebat di pelukan Danendra , sampai sesengukan dan kesulitan bernapas.
" Adeline mau kita bersama, ada Mommy, Daddy dan Adeline Mommy juga setuju," isak Adeline kembali.
Deg—
Kata setuju yang keluar dari bibir Adeline , membuat Danendra membeku. Danendra menatap Adeline dengan tatapan yang sulit diartikan.Dulu saat bersama,Adeline memang dekat dengannya dibanding Danisha yang suka marah-marah pada anak kecil. Namun, sudah hampir sepuluh tahun berlalu, tanpa kontak dan berhubungan lagi, seharusnya ikatan yang terbentuk antara dirinya dan Adeline tidak sedekat ini.
Entah siapa yang telah merecoki pikiran gadis kecil yang harusnya masih polos dan tidak ikut campur masalah orang dewasa. Apapun alasannya, Adeline tidak pantas dikorbankan, untuk apapun tujuannya itu.
" Adeline tidak mau yang lain. Adeline hanya mau Daddy.Adeline juga mau punya Daddy." Kembali Adeline berbicara setelah melihat Danendra diam dan tidak merespon.Gadis itu berulang kali meminta dan memohon.Bahkan Adeline menolak melepas pelukannya pada Danendra . Bersamaan dengan itu, ponsel di saku Danendra bergetar dan berdering nyaring.
"Ya," sapa Danendra pada asistennya.
"Maaf,Pak. Sudah tidak ada penerbangan dariJakarta ke Surabaya. Pesawat terakhir baru saja terbang setengah jam yang lalu. Jadwal terdekat, besok pagi," sahut Ramos .
Tanpa menjawab, Danendra sudah mematikan sambungan ponselnya dan membawa masuk Adeline ke dalam mobil yang dikendarai Pak Radin .
**Asha Di Surabaya ***
Malam pertamanya di Surabaya, tentu bukanlah perkara mudah untuk Asha melewatkannya dengan tenang. Apalagi dengan masalah rumah tangga yang masih membayangi pikirannya saat ini.Bolak-balik di atas tempat tidur, matanya sulit terpejam. Entah karena Asha merindukan kamar tidurnya di Jakarta atau merindukan si pemilik
kamar yang hampir belasan jam tidak dilihatnya.Memandang Hayana , putri kecilnya itu sudah terlelap setelah lepas makan malam. Beruntung Hayana tidak rewel dan menangis seperti biasa, menanyakan keberadaan daddynya yang tiba-tiba hilang di beberapa jam terakhir.
Mengingat Danendra , air mata kembali menetes.Tidak terbendung, mengalir deras dan terus menerus. Entah apa yang ditangisinya. Padahal suaminya itu sudah sangat menyakitinya. Asha bukan wanita yang egois dan tidak pengertian. Sebagai seorang istri, Asha sudah cukup legowo menerima Danendra dan masa lalunya.Sedikit pun tidak pernah mempermasalahkan Danendra mau menolong mantan istrinya yang kesulitan. Bahkan, Asha ikhlas menerima Adeline di tengah keluarga mereka.
Namun, saat mendengar ucapan Ramos di telepon tadi pagi, hatinya sakit.Danendra diam-diam di belakangnya menolong Danisha tanpa memberitahunya seperti yang sudah-sudah. Rasanya tidak dianggap sama sekali. Itu yang membuatnya tercekat dan meradang seketika.
Lama merenung dan berpikir, sampai akhirnya Asha memaksa tidur. Bersusah payah memejamkan mata, pada akhirnya Asha terlelap juga saat waktu menjelang tengah malam. Tidur dengan buliran air mata. Pagi itu Asha terbangun dengan keadaan jauh lebih baik. Meskipun wajah sembabnya karena terlalu banyak menangis tidak bisa disembunyikan. Hayana yang juga sudah bangun tampak mengusap lembut wajah Asha dengan tangan mungilnya.
"Moning, Mommy," celotehnya mengecup pipi Asha bertubi-tubi. Bahkan Hayana menindih tubuh Asha yang telentang, berbaring di dada mommynya dengan manja.
"Mommy, lindu Daddy," ucapnya membuat Asha teringat kembali dengan suami tidak tahu dirinya. Begitulah yang ada di otaknya saat membenci Danendra .
"Ya, nanti baru bertemu Daddy, ya. Di sini ada Mommy dan Oma. Daddy lagi sibuk kerja, tidak bisa ikut ke sini," sahut Asha , berusaha memberi alasan.
Tangan Asha menepuk lembut punggung Hayana , menenangkan gadis kecil itu supaya tidak banyak protes dan membahas tentang Danendra .
"Ayo kita bangun. Kita lihat Oma sedang apa di bawah," ucap Asha , mengendong Hayana turun dari tempat tidur.Keduanya sedang menuruni tangga, bergandengan tangan menuju ke lantai satu, saat seorang asisten rumah tangga yang sedang membersihkan teras luar berteriak kencang.
"Tolong!"
"Tolong!"
"Tolong! A ... a ... ada mayat di dalam mobil!"teriaknya kencang, masih dengan kain lap dan sapu lidi di tangannya. Tangannya terarah ke pintu keluar, menunjuk ke halaman depan rumah.
Pagi itu matahari belum muncul dari ufuk timur.Suasana di luar pun masih dingin dan sedikit gelap. Hanya terdengar kokok ayam tetangga,pertanda pagi telah datang bersiap menyambut.
"Ada apa?" tanya Asha heran. Ikut menatap keluar, tetapi suasana masih gelap. Bahkan lampu taman pun belum dimatikan. Saat itu baru pukul 05.00 pagi.
Kaki dan tangan asisten itu gemetar, entah apa yang dilihatnya di luar sampai ketakutan seperti itu. Dari arah dapur, muncul Ibu Rani yang heran mendengar suara berisik.
"Ada apa, As ?" tanya Ibu Rani .
Asha menggeleng, pertanda Asha sendiri tidak mengerti.Sebaliknya, Asha malah menunjuk ke asisten rumah tangga yang masih asing di matanya. Sepertinya gadis sederhana dengan rambut berkepang dua ini baru saja dipekerjakan ibunya.
"Di ... di luar ada mayat, Bu," jelasnya dengan suara terbata. Telunjuknya dengan ragu mengarah ke pintu utama.
"Mayat!" pekik keduanya terkejut. Ibu Rani
berlari keluar dengan tubuh rentanya. Asha yang baru saja paham dengan kepanikan sang asisten baru, menggendong Hayana ikut berlari keluar untuk memastikan.
Baik Ibu Rani dan Asha menghela napas lega,saat menyadari penyebab kepanikan di pagi hari. Ekspresi keduanya berbeda, saat tatapan mereka tertuju pada mobil sport hitam yang entah sejak kapan terparkir rapi di halaman rumah mereka.Ibu Rani tersenyum, samar-samar menatap bayangan lelaki yang sedang terlelap di belakang setir. Berbanding terbalik dengan Asha ,yang langsung berbalik masuk ke dalam rumah.