Chereads / Anak sang pembantu / Chapter 73 - Chapter 73:Nasehat

Chapter 73 - Chapter 73:Nasehat

"Mas, kamu di sini?" tanya Asha , tiba-tiba sudah muncul di belakang keduanya.

Sontak Danendra dan Ramos berbalik. Raut wajah Danendra terlihat panik dan salah tingkah,memamerkan senyum kaku sembari menghampiri Asha .

"Sweetheart." Sapaan kaku keluar dari bibir Danendra .

"Kenapa menyusul? Kamu baik-baik saja?" tanya Danendra , merengkuh pinggang istrinya dan mengajak masuk kembali ke ruangan.

Obrolan rahasia yang tidak ingin sampai didengar Asha itu terpaksa ditunda. Untuk saat ini, Danendra tidak ingin istrinya terbebani dengan kisah masa lalunya yang seakan menolak pergi menjauh. Sedikit demi sedikit, Danendra mulai belajar memahami perasaan Asha . Apalagi saat istrinya dengan kesadaran penuh mengungkapkan perasaan kepadanya. Mungkin untuk saat ini, Danendra belum bisa membalasnya dengan sepenuh hati, tetapi Danendra harus menghargainya.

"Mas, kalau urusanmu sudah selesai, kita pulang saja. Aku kepikiran Nana . Tadi aku

menitipkannya pada Ibu." Asha memilih duduk di seberang meja Danendra . Duduk di kursi yang dipersiapkan untuk menjamu tamu ataupun karyawan setiap melaporkan pekerjaannya.

"Ya. Aku menandatangani beberapa berkas dulu," sahut Danendra . Kembali ke kursi kebesarannya dan mulai mengoreskan pena pada lembaran kertas yang sudah disiapkan di atas meja.

Terlihat keseriusan lelaki tampan itu saat

bekerja. Bisa dikatakan untuk pertama kalinya Asha berkesempatan menatap ketampanan suaminya di tengah kesibukan. Senyum tipis merekah, seiring tatapan tak berkedip.Asha bagai tertarik ke masa lalunya.

Teringat bagaimana Asha dulu sering mencuri pandang pada lelaki tampan yang sering dipanggilnya Tuan. Dulu, Asha selalu menundukan kepala ketika berada di dekat Danendra . Lelaki itu seperti berada di dimensi yang berbeda dengannya yang hanya seorang anak pembantu.Bahkan, mungkin Danendra menganggapnya seorang bocah ingusan.

Seringkali, suaminya itu melewati dengan mobil mewahnya saat Asha sedang berjalan kaki mencari angkutan umum ketika akan berangkat ke sekolah dan Danendra yang hendak menuju ke kantor. Namun, nasibnya berubah sejak tiga tahun lalu.Ketika di suatu siang ketika pulang sekolah.Danendra , seorang laki-laki matang dan dewasa menyatakan akan menikahinya.

Dan sekarang di sini, Asha berada. Di Sisi Danendra . Bisa menatap lelaki itu dari dekat, tidak perlu takut atau ragu lagi. Bahkan, sekarang Asha bebas memeluk atau mencium Danendra dan lelaki itu tidak akan protes.

"Kamu kenapa, As?" tanya Danendra tiba-tiba,menariknya kembali ke kenyataan. Danendra ternyata sudah menyelesaikan semua pekerjaannya,sekarang lelaki itu duduk di sebelahnya.

"Aku hanya mengingat masa-masa di Surabaya dulu, Mas," sahut Asha . Sebuah tawa kecil tetapi terdengar hangat mengawali ucapan Danendra yang sedikit menggetarkan

perasaan Asha .

"Dulu kamu manis sekali."puji Danendra,

Asha terbelalak.

"Mas, dulu sering memperhatikanku ?" tanya Asha terkejut sekaligus bahagia, setidaknya suaminya dulu masih menganggap keberadaannya yang seperti butiran debu di istana mewahnya.

"Dulu kamu sering mencuri-curi pandang

padaku, kan? Namun, saat berbicara di depanku biasanya kamu akan menunduk," cerita Danendra ,tangan terulur dengan jemari mengetuk meja kayu berlapis kaca di depannya.

"Awal-awal aku tinggal di rumahmu, aku takut padamu, Mas. Aku takut membuat kesalahan dan diusir," cerita Asha , mengingat masa lalunya.

"Sampai sekarang aku masih mengingat pertama kali Ibu membawamu dan Isyana . Kamu memeluk boneka lusuh. Terlihat manis ... saat itu berapa umurmu?" tanya Danendra , lelaki itu ikut tersedot dalam masa lalunya.

"Mungkin sepuluh tahun, Mas," jawab Asha .

"Dulu kamu memang manis, As," celetuk Danendra ,menggoda istrinya.

"Dan sekarang semakin manis, semakin cantik," lanjut Danendra , mulai belajar

menggombal. Mencoba menerapkan ilmu yang diajarkan teman bisnis nya.

"Mas menggodaku," gerutu Asha , merona malu.

"Aku serius ... aku ...."Danendra tidak melanjutkan kalimatnya,sontak Ramos dan Dina sudah berada dalam ruangannya ingin membahas proyek di Bogor sedang ada masalah.Danendra berpamitan dengan Ramos dan Dina menghantar Asha pulang sebentar.

*****

Mobil sport hitam Danendra masuk ke pekarangan rumahnya, saat hari menjelang sore. Karena masih ada sedikit pekerjaan kantor yang harus diselesaikan hari ini, mau tidak mau Danendra harus kembali meski pun dengan berat hati.

"As , aku ke kantor sekarang," bisik Danendra ,melepaskan seatbelt yang mengikat tubuhnya.Sedikit mencondongkan tubuh mengarah ke tempat duduk istrinya, Danendra membantu Asha melepaskan sealbeltyang membelit tubuh Asha.

"Baik-baik Sayang , ya," ucap Danendra , berkata lembut sembari membelai lembut rambut Istrinya.Tidak sampai di situ, sebuah kecupan singkat pun dilabuhkan di bibir istrinya.

"Aku pergi sekarang. Aku akan pulang cepat," pamit Danendra .

Asha lagi-lagi harus menelan kecewanya sendiri.Bahkan suaminya tidak pernah ada manis-manis seperti di sinetron sedikit banyak membuka matanya, seperti

apa rumah tangganya itu.Kenyataan sangat jauh berbeda. Apa Asha yang terlalu berharap lebih atau memang karena suaminya yang tidak cinta sehingga tidak bisa .

Dengan dirundung kecewa, Asha membuka pintu mobil seorang diri. Danendra tidak turun untuk membantunya. Lelaki itu tetap di kursi sopir dengan tangan menggenggam setir.

"Mungkin sebaiknya tidak boleh terlalu banyak berharap," dengus Asha kesal. Langkah kaki membawanya masuk ke dalam rumah. Kekesalan yang mengumpul di dada, membuatnya tidak menoleh sekedar melambaikan tangan seperti biasanya pada Danendra .Berjalan masuk ke dalam rumah. Asha mendapati Hayana dan ibunya yang sedang bermain di temani pengasuh.

"Mommy!" seru Hayana , langsung meloncat kegirangan begitu melihat Asha pulang. Kedua tangan mungil itu sudah terangkat ke atas,meminta digendong seperti biasa.

"Anak Mommy sudah makan siang?" tanya Asha , mencium kedua pipi Hayana .

"Cudah ...Nana akan nasi, akan eh ...oleng ," celotehan Hayana yang susah dimengerti bagi yang belum terbiasa. belum terbiasa.

"Apaan oleng?" tanya Asha , mengendus aroma bedak bayi di tubuh putrinya.

"Maksudnya nasi goreng, As," jelas Ibu Rani yang sejak tadi diam, ikut bersuara. Wanita tua itu ikut berdiri, sembari mengusap punggung Hayana yang sedang berada di gendongan.

"As , ibu mau bicara. Bisa?" tanya Ibu Rani .Asha mengangguk.

"Ibu akan kembali ke Surabaya," lanjut Ibu Rani lagi. Ibu Rani mulai tidak betah tinggal di Jakarta.

Seminggu terlalu lama Ibu Rani dan ia sudah merindukan kampungnya, kamarnya. Merindukan semua hal di Surabaya. Kalimat Ibu Rani kali ini sanggup membuat mood Asha berganti. Asha masih belum rela, belum mau mengizinkan ibunya kembali.

"Bu, aku mohon tetap di sini," pinta Asha , sembari bergoyang ke kiri dan ke kanan. Membuat Hayana yang berada di gendongannya merasa tetap nyaman.

"Maafkan Ibu, As. Ibu sudah merindukan

suasana kampung kita. Apalagi, sebentar lagi peringatan kematian Bapak. Ibu mau membersihkan makam Bapak," jelas Ibu Rani . Ada linangan air yang berusaha ditahan setiap mengingat suaminya.

Hampir sepuluh tahun Ibu Rani mengurus kedua putrinya seorang diri sepeninggalan suaminya,tidak ada apapun yang tertinggal, hanya utang perusahaan yang berimbas rumah mewah mereka harus hilang dari genggaman.

Ibu Rani benar-benar membesarkan Isyana dan Asha dengan kedua tangannya. Walau pada akhirnya Danendra lah yang paling banyak mendukung kehidupan mereka.

"Nanti Ibu akan ke sini lagi, As ," janji Ibu

Rani , menenangkan putrinya.

"Ibu pulang sendirian atau ditemani Kak Isyana ?"tanya Asha lagi.

"Belum tahu. Nanti lihat bagaimana. Ibu juga belum bercerita pada suamimu," ucap Ibu Rani , menjatuhkan pelan tubuh rentanya di salah satu sofa setelah menggeser mainan cucunya yang menumpuk. Hampir semua tempat duduk itu ditempati mainan Hayana yang beraneka macam.

"As , baik-baiklah dengan suamimu. Berumah-tangga itu tidak mudah, apalagi dengan lelaki yang pernah gagal seperti Danendra ," nasehat Ibu Rani . Pandangannya tertuju pada foto pernikahan Danendra dan Asha berukuran raksasa yang tergantung di dinding.

"Tapi, dia lelaki yang baik. Kamu ingatkan bagaimana dia mendukung keluarga kita. Mendukungmu dan Isyana ," lanjut Ibu Rani .

Seulas senyuman tersungging di bibir, wajah keriputnya semakin nyata saat tersenyum. Menatap foto pernikahan Asha dan Danendra , ada rasa haru mengisi dadanya.Asha putri bungsunya itu adalah gadis baik,tidak banyak maunya. Sejak kecil Asha sudah terbiasa hidup susah dengannya. Kehidupan Asha jauh lebih sulit dibandingkan Isyana .

Saat musibah menghantam keluarga mereka,Asha baru berumur 9 tahun, masih terlalu kecil untuk menerima kesulitan hidup. Isyana saat itu sudah di penghujung SMA-nya. Setengah tahun kemudian,Isyana ke Jakarta, melanjutkan kuliah dengan dibiayai Danendra .Tertinggal Ibu Rani dan Asha .

Sejak kecil Asha harus merelakan masa-masa bocahnya untuk membantu pekerjaan membereskan rumah di kediaman Danendra . Bahkan sebelum dia diboyong ke kediaman Danendra , Asha kecil sering dititipkan ke tetangga saat Ibu Rani bekerja.

Tiba-tiba air mata itu jatuh, saat mengingat masa kecil Asha dulu. Tidak jarang Asha menangis saat dia pulang kerja. Karena menahan lapar sejak siang. Berbeda dengan Isyana yang jauh sudah dewasa, lebih mengerti kesulitan keluarga mereka.Yang sering ditangisi Asha kecil dulu, karena harus menonton teman-teman sebayanya menikmati jajanan kampung. Asha sendiri hanya bisa melihat sambil menelan ludah.

Begitu pindah ke rumah Danendra , Asha harus menghabiskan sebagian waktu bermainnya demi bisa membantunya bekerja. Sekedar melipat pakaian atau membantu menyapu. Seiring umurnya bertambah, tugasnya pun semakin bertambah setiap pulang sekolah.

"Ibu ... kenapa?" panggil Asha , mengejutkan Ibu Rani yang melamun sejak tadi.

"Tidak, Ibu bahagia melihat kehidupanmu

sekarang. Setidaknya Ibu bisa tenang. Ada Danendra yang menjagamu." Jelas Ibu Rani.

"Ibu hanya ingin berpesan, jangan sampai

berpisah. Sebisa mungkin bertahanlah, Danendra lelaki baik, dia tidak akan menyakitimu."Lanjut Ibu Rani lagi.

"Ya, Bu." Jawab Asha.Setelah sekian kali ibunya memintanya menjaga biduk rumah tangganya, akhirnya Asha mengiyakan.

"Kalau bukan lelaki baik, tidak mungkin dia rela menjadi tulang punggung keluarga kita. Di saat kita sendiri tidak memiliki hubungan apa-apa dengannya. Ibu ini hanya pembantunya. Status kita itu rendahan, tetapi dia mengangkat kita setinggi ini. Dia membuat kita bisa mengangkat kepala dan berani menatap dunia."Jelas Ibu Rani sedalamnya.