Terhanyut kini diriku sendiri dalam gelombang duniawi. Aku berjalan sendiri tanpa jiwa, sebab jiwaku ada di sana (keluarga). Aku tahu kini aku telah dewasa. Namun, bagi ayah dan ibuku, aku tetaplah seorang anak kecil yang tak pernah menjadi dewasa.
Aku lah cacat yang sesungguhnya. Sebab tidak pernah lengkap diriku tanpa mereka (keluarga). Ku tahu dengan pasti kekurangan ku bila seorang diri. Sebab, untuk pertama kalinya sepanjang hidup, aku harus menghadapi dunia ini sendiri, benar-benar sendiri.
Ku tahu dengan pasti. Doa dari mereka tidaklah cukup bagiku. Bagiku akan cukup bila ayah dan ibuku ada di sini (di samping ku). Aku sangat manja, dan seorang yang lemah tanpa mereka. Aku tak tahu apakah aku akan mampu menghadapi dunia jauh dari mereka.
Seorang anak laki-laki yang berjuang, melangkah meninggalkan zona nyaman. Kupikir itu tindakan yang bodoh. Sempat terbersit dalam benakku untuk berbalik arah kembali kepada mereka. Namun, aku tahu bahwa jika aku melakukan itu, itu hanya akan membuat mereka lebih sedih dan kecewa. maka dengan berat hati, ku lanjutkan perjalanan ini.
Berulang kali langkahku terhenti, hanya untuk sejenak berpikir, apakah aku harus kembali atau tetap melangkah. Sempat untuk beberapa saat aku berkelahi dengan diriku sendiri, hingga akhirnya ku coba berdamai, mengikhlaskan memilih pilihan yang berat. Ini telah di putuskan, aku tidak pernah di ajarkan untuk mengkhianati keputusan awal.
Demi ayah dan ibuku, serta kedua adikku, ku paksakan kaki ini agar tetap melangkah, mengumpulkan tekad dalam hati, menjernihkan pikiran, mengeringkan air mata, lalu meneruskan perjalanan.