Sosok gadis menawan sedang duduk berpangku tangan di depan jendela kamarnya, di sampingnya duduk seorang gadis sebayanya sedang membacakan sebuah buku.
Gadis itu terlihat bosan.
Liana menghentikan bacaannya. " apakah putri ingin aku membacakan buku yang lainnya?" tanyanya.
"tidak perlu, aku hanya ingin mengobrol denganmu saja hari ini." Jawab Putri Reyna.
Liana tersenyum, ia menutup buku itu. "baiklah, Putri."
"tapi Liana, aku penasaran satu hal. mengapa kau sering sekali menceritakan kisah itu?"
"kisah yang mana Putri?"
"yang baru saja kau bacakan."
"karena buku ini adalah buku yang sangat populer, tidak hanya di kerajaan kita Putri, tapi juga di kerajaan lainnya, banyak yang percaya bahwa kisah ini nyata, apa putri tidak menyukai cerita ini?" ucap Liana.
Reyna menggelengkan kepalanya. "Tidak. Bukan begitu. Hanya saja aku rasa itu... tidak mungkin. bagaimana bisa mereka mempercayai sesuatu yang ada di dalam novel fiksi?" Reyna berhenti sejenak kemudian berucap lagi. "Coba kau pikir, jika memang kerajaan itu kuat kenapa harus disembunyikan?"
"emm... Mungkin mereka punya tujuan untuk itu." Jawab Liana ragu ragu. Reyna mengangguk menyetujui pendapat Liana.
"Kau menyukai buku ini, Liana?"
Liana mengangguk dengan semangat. "Tentu saja Putri, Buku ini favoritku."
"Aku paham kenapa kau sangat sering membaca buku yang satu ini."
Liana tertawa kecil.
"Sepertinya putri tidak tertarik dengan kisah ini. Aku akan mengingatnya." gumam Liana.
Reyna beranjak dari duduknya lalu melangkah keluar dari kamarnya.
"putri mau ke mana?" tanya Liana.
"aku ingin mengunjungi bibi."
.....
Putri Reyna mengunjungi ruang ramuan milik Putri Delona—adik raja dan ibu dari Pangeran Rasya—yang kelak menjadi penerus sang raja.
Reyna biasa memanggilnya Bibi Delona.
"Bibi!" panggilan Putri Reyna membuat Putri Delona spontan menoleh ke arahnya.
"Kau sudah datang rupanya. Kemarilah Rey." Delona menggerakkan tangannya—mengajak Reyna mendekat.
"bibi sedang apa?" tanya Reyna. Ia memperhatikan bibinya yang sedang sibuk mencampurkan ramuan satu dengan lainnya.
"hanya menyelesaikan beberapa pekerjaan." jawab Delona.
Reyna berjalan mengamati tabung ramuan yang berjejer di sepanjang lemari.
"Bibi ramuan apa ini? Sangat indah." Reyna menunjuk ramuan yang menarik perhatiannya—ramuan warna warni yang berubah menjadi satu warna setiap kali lampu menyorot tabungnya.
Delona tersenyum. "Itu ramuan yang dibuat dengan bahan bahan langka. Cukup sulit membuatnya dan membutuhkan waktu yang cukup lama."
Reyna menatap kagum ramuan itu. "Itu terdengar sangat hebat. Apa nama ramuan ini, bi?"
"Bibi akan memberitahumu ketika ramuannya telah sempurna."
Reyna mengangguk dengan semangat.
Reyna melangkah mendekati bibinya. "Bi... Aku ingin bertanya."
"Apa yang ingin kau tanyakan?"
"Apakah ada kemungkinan bahwa kisah dalam novel fiksi itu adalah nyata?" Reyna segera mengoreksi ucapannya. "Maksudku aku hanya penasaran. Ada sebuah novel fiksi yang dipercaya oleh banyak orang bahwa itu nyata. Bagaimana menurut bibi?"
"Reyna, ada berbagai macam penulis di dunia. Ada yang menulis untuk mengutarakan isi hatinya, ada yang menulis sekedar hobi dan ada pula yang menulis untuk memprovokasi, jadi kita sebagai pembaca harus pandai memilah apakah kita hanya menganggap cerita sebagai kisah fiksi belaka atau mempercayainya sebagai nyata."
Reyna mengangguk. "bibi benar."
"Memangnya kisah apa yang kau maksudkan?"
"Itu... Itu sebenarnya lebih mirip dongeng. Cerita itu tentang kerajaan tersembunyi yang dipenuhi kekuatan ajaib, kerajaan itu dipimpin seorang manusia hanya saja ia memiliki kekuatan layaknya seorang penyihir ia bisa menggunakan sihir tanpa harus membaca mantra. Kurang lebih ceritanya seperti itu."
Delona terdiam. Raut wajahnya berubah.
"Bibi ada apa? Apakah aku salah bicara?"
Delona mengubah raut wajahnya kembali normal. Ia tersenyum. "Reyna sebaiknya kau lebih banyak membaca buku yang lebih bermanfaat, sekarang waktunya belajar, pergilah."
"Ba...baik, aku minta maaf karena pertanyaan tidak masuk akalku barusan." Reyna menyesal.
"Tak apa, penasaran itu wajar untuk gadis seusiamu."
Seperginya Reyna dari sana. Delona menghela napas panjang berusaha menenangkan dirinya. "Aku yakin ini hanya kebetulan."
....
Sesampainya di kamar.
"Liana, apakah Mrs. Irene sudah datang?"
Mrs. Irene adalah guru pembimbing akademi Reyna.
"Ini masih pagi putri, Mrs. Irene baru akan datang dua jam lagi." jawab Liana.
"Benarkah? Tapi bibi bilang sudah waktunya."
Liana mengecek kembali jadwal Reyna untuk hari ini. "Iya benar. Pelajaran putri memang di mulai dua jam lagi."
"apakah bibi barusan mengusirku? tapi kenapa?" gumam Reyna.
"apakah putri mengatakan sesuatu?"
"ah tidak, tidak apa apa."
Selama dua jam. Reyna habiskan dengan mengobrol santai bersama dengan Liana.
Hingga waktu belajar tiba. Reyna mengganti pakaiannya dengan pakaian yang biasa ia gunakan untuk belajar—ada aturan di kerajaan Adelaide yang mewajibkan memakai seragam setiap menimba ilmu.
Hari ini Mrs. Irene mengajar menyulam, Meskipun berwajah galak tetapi sebenarnya Mrs. Irene adalah guru yang hangat dan baik hati.
Setelah melakukan kesalahan berulang kali, akhirnya Reyna berhasil menyelesaikan tugasnya. "sepertinya aku sangat buruk dalam menyulam." gumam Reyna sembari menghela napas panjang.
"tak apa, putri menyelesaikannya kali ini, itu suatu peningkatan yang baik." ucap Mrs. Irene.
Reyna tersenyum. Ucapan gurunya berhasil menenangkannya—Reyna menjadi lebih bersemangat.
"Baiklah! Besok aku akan lebih baik lagi!" ucap Reyna penuh semangat—satu hal yang sangat disukai Mrs. Irene adalah semangat tinggi dan pantang menyerah dari seorang Reyna.
Beberapa saat kemudian, Mrs. Irene berpamitan. Reyna memberi salam kepada gurunya dengan sopan.
Pelajaran selesai. Liana telah menunggu Reyna di depan ruang belajar.
"Liana kenapa kau di sini?"
"Aku ingin menunjukkan sesuatu kepada putri. Sesuatu yang istimewa." ucap Liana dengan senyum matanya.
"Apa itu?"
"Ayo ikutlah denganku." ucap Liana.
Reyna menurut. Ia mengikuti langkah Liana.
Ternyata Liana membawanya menuju taman istana utama—letaknya ada di belakang istana utama, tempat tinggal Raja Raifan Afkar de Adelaide.
Liana memberi aba aba dengan tangannya agar Reyna segera memasuki taman.
Karena terlalu penasaran, Reyna pun menurut saja. Ia melangkah memasuki kawasan taman tanpa bertanya lagi.
Liana tidak ikut masuk karena hanya keluarga inti kerajaan yang boleh memasukinya.
Sesampainya di tengah tengah taman Reyna menatap kanan kiri mencari 'sesuatu istimewa' yang dimaksud oleh Liana.
Dan netranya jatuh pada punggung kokoh seseorang yang tak jauh darinya.
Senyum Reyna mengembang dengan otomatis.
"KAKAKK!" Panggil Reyna sembari melangkah cepat menghampiri kakak sepupu tersayangnya, Pangeran Rasya Adnan de Adelaide—Putra dari Raja Carl—Raja dari Kerajaan putih dengan Putri Delona sekaligus keponakan dari Raja Raifan.
Rasya menoleh. Senyumnya mengembang hingga lesung Pipit tercipta di sudut pipinya.
Rasya mengelus puncak kepala Reyna lembut. "Aku hanya pergi selama lima bulan, dan kau semakin bertambah tinggi sekarang, adikku." ucap Rasya.
"Hanya? Apa maksudmu kak? Lima bulan itu sangaaaatttt lama!"
Rasya tertawa melihat Reyna yang tampak imut ketika sedang marah.
"kakak kenapa kali ini kau pergi lama sekali? Memang apa saja yang kau kerjakan di kerajaan putih?" tanya Reyna.
"ada beberapa hal yang tidak terduga, itulah mengapa aku di sana lebih lama."
"tapi kakak... kenapa bibi tidak ikut serta?"
"Ibunda meminta izin kepada ayahanda untuk menyelesaikan sesuatu di sini. sepertinya sangat penting dan ayahanda mengizinkannya."
"Apakah itu alasannya mengapa bibi selalu di ruang ramuannya selama berhari-hari?"
Rasya mengangguk. Ia kemudian duduk di bangku terdekat, Reyna mengikutinya—duduk di samping Rasya.
"Kapan kakak sampai?"
"Tadi malam."
"Apa?! Kenapa tidak ada yang memberitahuku? Bahkan bibi pun tidak." ucap Reyna—ia terkejut.
"Aku langsung ke ruangan paman sesampainya di sini. Dan baru menemui ibunda saat kau sedang ada di ruang belajar tadi." Rasya menjelaskan.
Reyna tertegun, ia risau. "Apakah se-mendesak itu sampai kakak langsung menemui ayahanda setibanya di sini?"
Rasya tersenyum menenangkan. "Sudah jangan dipikirkan, semua baik baik saja."
Jawaban yang sama setiap kali Reyna bertanya mengenai urusan kerajaan. Raja Raifan maupun Pangeran Rasya tidak pernah mengizinkan Reyna ikut andil dalam hal politik.
Reyna tidak suka itu tetapi ketika mengetahui bahwa ayah dan kakak sepupunya melakukan itu untuk melindunginya, Reyna hanya bisa memaklumi.
Rasya segera mengalihkan pembicaraan. "Reyna... kau tau? Hari ini salju di kerajaan putih sangat lebat."
"Bukankah kerajaan putih memang selalu bersalju?" ucap Reyna heran. Setelah beberapa saat Reyna menyadari sesuatu.
Reyna tersenyum mengejek. "Ayolah... Aku tau kakak sedang mengalihkan topik." ucap Reyna yang lebih mirip sebuah pernyataan.
Rasya menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Oh ya?"
Untuk menghormati kakaknya yang telah berusaha mengalihkan topik dengan pertanyaan yang 'aneh'. Reyna mencoba mengatakan hal lain.
"Kak aku penasaran satu hal."
"Apa itu?"
"Kenapa kerajaan paman dinamai 'kerajaan putih'?' Apakah karena selalu bersalju? Atau ada hal lain?"
"Selalu bersalju bukan alasannya karena hampir semua kerajaan di bagian barat memang selalu bersalju sepanjang tahun."
"Lalu?"
"K-kau benar benar ingin tahu?" Raut wajah Rasya terlihat berubah.
"Ya!" jawab Reyna sungguh-sungguh.
"Karena kami adalah pendiri white-blood."
"White-blood? Apa itu?"
"Golongan orang orang yang menolak keberadaan penyihir."
Reyna tertegun.
......