Tanpa aba-aba yang jelas, Bima langsung memeras handuk basah tersebut tepat di atas wajah Andra yang masih lelap. Diperasnya kuat-kuat handuk tersebut hingga air yang keluar benar-benar banyak dan langsung masuk ke dalam mulut Andra yang setengah terbuka.
Andra mulai terbangun dan gelagapan lantaran air yang masuk ke dalam mulutnya dengan tiba-tiba. Sementara Bima tersenyum puas melihat adik juga kasurnya basah kuyup oleh air dari perasan handuk yang ia bawa.
"Bangun lo, Badak!" sentak Bima, membuang handuk ke sembarang arah dan menendang Andra hingga terpentok ke dinding.
"AAARGTH!" teriak Andra yang mulai geram. "Lo ngapain, bangsul! Basah semua bed cover gue!" teriak Andra, menggema dalam ruangan tersebut.
"Udah mau jam 7, noh! Mau sampek kapan lo tidur?"
"Ya, nggak gini juga lo banguninnya, Bim!"
Bima menggenggam tangannya dan merasa risih dengan tangannya yang basah. Ia mendekat untuk mengelap tangannya dengan tepian bed cover yang kering. Lantas berbalik badan, meninggalkan Andra yang masih berusaha mengumpulkan nyawanya yang belum sepenuhnya utuh.
"Gue tunggu di bawah. Nggak usah mandi, nggak usah makan, udah siang. Ntar makan di kantin aja," ujar Bima sebelum meninggalkan pintu kamar Andra.
Andra dengan wajah bantalnya hanya menatap punggung sang kakak yang kian menjauh dengan tatapan bingungnya. Ia mendesis dan berdecak kesal, sebelum akhirnya mengacak rambutnya dengan kasar dan mulai bangkit dari tempat tidur untuk menuju kamar mandi.
Di luar pagar depan rumah, Bima telah menunggu dengan cukup sabar. Benar-benar tak habis pikir dengan adik laki-laki satu-satunya itu. Setiap kali Bima menunggu Andra pasti akan sangat lama, bahkan terkadang bisa sampai satu jam. Padahal menurut Bima, menunggu anak gadis bersolek justru akan sangat lama, seperti pada umumnya anak-anak gadis akan sangat lama saat berdandan, meskipun telah ditunggu sangat lama. Namun, sepertinya Andra termasuk anak gadis, karena telah lebih dari empat puluh menit Bima menunggunya.
"BERUK! CEPET TURUN!"
Kepada Andra, Bima benar-benar tak sependiam biasanya. Seolah hanya Andra satu-satunya orang yang mampu membuat suara lirih Bima yang dingin menjadi sangat keras dan menggema, meskipun memang benar adanya.
Teriakan itu hanya berembus terbawa sang bayu, dan Andra masih belum menampakkan batang hidungnya di hadapan Bima.
"Sepuluh detik lo belum keluar, gue tinggal biar lo jalan kaki ke sekolah," ancam Bima dengan nada suara yang memelan.
"Iye-iye, ini udah keluar." Pintu gerbang terbuka, nampakkan Andra yang menguap sangat lebar.
"Lama amat, kalah cewek-cewek rempong," cibir Bima, mulai membenarkan helmnya dan menyalakan mesin motor.
"Bunda suruh bawa bekal aja katanya, makanya gue nunggu bentaran." Andra menerima helm pemberian Bima dan mulai memasangnya.
Bima hanya bergumam dan membiarkan Andra menaiki motor dengan tenang. Motor mulai melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalanan yang mulai ramai oleh orang-orang yang entah mengejar atau tengah dikejar oleh waktu.
Gerbang sekolah hampir tertutup, beruntung Bima sampai pada detik-detik terakhir saat gerbang belum tertutup sempurna.
"Makasih, Pak Kasim." Bima berterima kasih pada satpam gerbang, dan langsung mendapat senyuman dari satpam tersebut.
Sesampainya di parkiran, Bima mendesis lega karena tak sampai telat. Namun, tak lama kemudian ia membentak Andra dan memintanya untuk lekas turun dari motor, dan memarahinya yang telah menjadi tersangka atas hampir telatnya ketua OSIS yang sangat teladan tersebut.
"Gitu aja sewot," jawab Andra, dengan lesu ia menuruni motor dan melepas helm.
Bima langsung meninggalkan andra begitu saja di parkiran, tak memedulikannya dan ingin segera menuju kelas. Andra sendiri mengembuskan napas pelan, merasa kesal pula pada sang kakak yang telah membentaknya berkali-kali pagi ini.
"Kek de javu, gue ditinggal sendirian di parkiran," ujar Andra yang mulai menaruh helm di atas spion motor. "Masih pagi udah ngomel aja, pantes jomblo sampek sekarang. Pasti kagak ada yang mau sama dia yang modelan begono. Sok keren, ikut OSIS buat gaya-gayaan doang," gerutunya mencibir sang kakak yang telah pergi ke kelasnya.
Padahal ia tak tahu bahwa Bima merupakan siswa paling teladan, dan ketua paling ulet juga gigih dalam organisasi. Bahkan tak sedikit siswi yang menyukainya, baik dari teman seangkatan atau bahkan adik kelas. Hanya saja sikap cuek dan dingin Bima telah terlebih dahulu membekukan rasa percaya diri siswi-siswi yang menyukainya, sehingga banyak dari mereka yang memilih untuk tak menyatakan perasaan karena takut akan penolakan yang kemungkinan besar akan terjadi.
Sesampainya Andra di kelas, ia disuguhi pemandangan yang sangat aneh baginya. Kelasnya sangat sepi tak berpenghuni, padahal bel jam pertama baru saja berbunyi. Dengan heran ia berjalan ke arah bangkunya dan mulai membuka tas untuk mencari ponsel. Secepat kilat ia mengirim pesan pada anak yang duduk di bangku hadapannya, Luna.
Grup chat kelas lengang taka da pengumuman apa pun, bahkan Andra masih belum terdaftar dalam angota grup chat kelas yang taka da dirinya di dalamnya. Anak laki-laki itu mengirim pesan dan bertanya pada Luna mengapa kelas lengang tak berpenghuni, ke mana yang lainnya?
Tak ada balasan, padahal pesan menunjukkan telah dibaca.
"Gila ni anak! Berani banget nggak bales pesan gue?" rutuk Andra menatap layar ponsel yang tak kunjung berdenting.
"Lo nggak mau ganti olah raga?" Sebuah suara membuyarkan pandangan Andra dari ponselnya.
Dengan dahi berkerut, Andra menoleh ke arah pintu. Gadis dengan pakaian olah raga dan rambut sebahunya yang ia cepol, tengah berdiri di ambang pintu dengan tampang datar. Luna mendekat dan langsung duduk di bangkunya, depan bangku Andra. Sedangkan anak laki-laki itu masih diam dan terlihat belum terkumpul seluruh nyawanya.
Luna mengernyit. "Lo baru bangun?" tanyanya.
"Gue mimpi jadian sama kak Laras, tapi malah dipaksa bangun oleh keadaan," jawab Andra lirih dengan tatapan sendu, namun alis yang saling menyatu.
Luna bergidik dan mengecap beberapa saat. "Buruan ganti baju, jam pertama olah raga. Udah ditungguin noh sama guru olah raga."
Anak laki-laki berkulit putih itu tak menanggapi ucapan Luna, ia justru bertanya apakah ada kemungkinan ia lolos dalam seleksi OSIS tahun ini.
"Nggak tau. Buruan ganti! Lo, kan, ketua kelas. Nggak lucu kalo lo sampek dihukum." Luna berdiri dan berjalan menjauh, meninggalkan Andra di kelas sendirian.
"Perasaan gue ditinggal sendirian mulu, deh. Heran ma orang-orang," gumam Andra dan mengembuskan napas panjang.
Andra bangkit dan berjalan menuju belakang kelas, hendak mengambil kaos olah raga di lokernya. Setelah diambilnya seragam tersebut, anak itu langsung melepas pakaiannya begitu saja. Ia berpikir bahwa tidak ada orang lain di kelas selain dirinya, jadi tak aka nada yang melihatnya berganti pakaian.
Andra pun langsung memakai kaos olah raga dan menyeleseaikannya dengan cepat. Ia tak sadar bahwa ada anak yang tengah melongo di ambang pintu dan tertegun membisu.
*****
Lamongan,
Senin, 18 Oktober 2021