Sesampainya di rumah, Andra tak langsung membersihkan diri dan justru berbaring di sofa ruang tamu. Ia tak melepas tasnya dan membiarkan tas itu tertindih tubuhnya sendiri. Sementara Bima langsung menuju ke kamarnya di lantai atas.
"Ini grup enaknya diapain, ya? Udah pada masuk semua belum, ya?" gumam Andra, menenteng ponselnya ke atas, tepat di hadapan wajahnya. "Gue buka aja, ah."
Langsung saja Andra membuka grup tersebut, dan benar saja grup itu langsung kembali ramai oleh anggota-anggota kelas. Mereka semua menyerbu Andra dengan permintaan sebagai admin. Andra hanya berdecih dan membalasnya dengan stiker anak kecil berponi. Stiker tersebut terlihat seolah mengatakan "bodoh amat".
Terus saja ponsel Andra dibanjiri notifikasi dari grup kelasnya. Bahkan tak sedikit yang mengirim pesan jalur pribadi pada si ketua kelas baru tersebut. Karena kesal, Andra pun menyalakan mode pesawat dan langsung mematikan ponselnya.
"Ndra, bunda mana?" Bima yang telah berganti pakaian mulai turun dan bertanya pada sang adik.
"Lah, mana gue tau? Di dapur kali," jawab Andra, merenggangkan tubuh sebelum akhirnya mulai duduk.
"Gue mau ke sekolah, buku gue ketinggalan."
"Ya, elah! Buku doang juga. Besok napa!"
"Buku catetan akhir OSIS. Udah mau lengser jabatan."
Andra berdiri dan membanting tasnya. "Ya udah, gue ikut!"
"Ngapain lo ikut?" Bima menekuk alisnya heran.
Andra berlagak memelas dan menunjukkan ekspresi hampir menangis. "Gue takut sendirian di rumah, Bim," ujarnya, mulai merengek.
Bima hanya terdiam dan merasa jijik dengan ekspresi adiknya yang sangat jelek. Dengan kaku ia menggeleng dan mengangguk, membuat Andra tersenyum dan langsung mengangkut tasnya dari sofa untuk dibawa naik ke atas menuju kamar.
"Tungguin! Gue ganti baju dulu!" teriak Andra sembari berlarian ke lantai atas.
***
"Tadi gue udah tinggalin sticky note di kulkas, kok. Gue bilang ke bunda kalo gue ikut lo ke sekolah, ntar takutnya Bunda ngirain gue ilang." Andra terus mengoceh sepanjang perjalanan menuju sekolah. "Jadi, biar nggak dikira anak kesayangannya ini ilang atau diculik, gue kasih deh surat buat bunda. Gue bilangnya, sih, ikut mengembara bersama sang surya, mengelana dan belajar dari semesta, hingga pada akhirnya akan dijemput oleh bang Bima."
'Punya adek satu aja, kok udah pusing banget, ya?' batin Bima mulai lelah.
"Padahal tadinya mau bikinin puisi yang bagus, tapi ngga muat. Jadi, cukup sekian aja terima kasih. Lagian bunda juga cuma perlu tahu gue mau pergi ke mana."
"Terus kenapa lo ngga langsung bilang kalo mau ke sekolah sama gue?" Bima mulai menanggapi.
"Kan, yang penting ada nama Bang Bima di sana. Kalo udah gitu, udah pasti aman lah."
"Terus kenapa kalo sama gue? Lo kan jujur mau pergi sama gue, bukan mau pergi main-main ke tempat lain. Bunda juga kagak bakal marahin kalo lo jujur."
"Tapi- eh! Bukan! Gue sebenernya .... Eh! Bukan! Gue mau nyari ... nyari apa, ya? Makanan aja kali, ya?" Andra terlihat linglung dan kebingungan.
Bima menggeleng pelan dan mulai membelokkan motor ke arah gerbang. Mereka memasuki sekolah dan langsung masuk menuju parkiran.
"Lagian lo kan bisa langsung ngirim wasap ke bunda. Nggak perlu bikin-bikin sticky note di kulkas." Bima melepas helm setelah motor berhenti.
"Iya, ya? Kenapa ngga kepikiran sama gue?" Andra terkejut dengan apa yang Bima katakan.
"Karena lo ngga punya otak." Ditaruhnya helm di spion motor oleh Bima, dan ia langsung menyikut Andra agar lekas turun. "Minggir!"
"Iye, iye!"
Setelah turun dari motor, Bima bergegas pergi dan meninggalkan Andra begitu saja diparkiran. Anak laki-laki berkulit putih itu pun langsung melongo dibuatnya. Pasalnya saat ini ia sedang kesulitan membuka pengait helm, dan Bima justru meninggalkannya sendirian.
Andra meneriaki Bima, tapi tak dipedulikan oleh sang abang. Tangan Andra masih berkutat pada pengait helm, dan ia tak mau berjalan menyusul Bima. Anak itu merasa malu jika harus melewati lapangan dengan masih mengenakan helm, meskipun ia sendiri tahu bahwa sekolah telah sepi karena jam pulang telah berlalu.
"Sayang sama buku doang, sama adeknya sendiri malah ditelantarin." Andra mulai mengoceh dan terus berusaha melepas pengait helm. "Ini juga ngapa jadi susah gini, sih?"
"Oh, lo adeknya ketua OSIS?" ujar seseorang dari arah samping, membuat Andra terkejut dan kontan menoleh ke arahnya.
"Ngapain lo masih di sini?" tanya Andra penuh tanda tanya. Dilihatnya gadis berambut sebahu dengan poni, yang tengah duduk jongkok di samping tiang tak jauh darinya.
"Nunggu jemputan," jawab si gadis. "Pantesan waktu itu lo diseret sama si ketua, rupanya dia nggak mau lo bikin ulah."
"Apa sih?" Andra menyerah dengan helmnya dan berjalan mendekat ke di gadis. "Dari pada lo jongkok di sini, mending ke kursi taman depan aja. Yok!" ajaknya.
"Helm lo lepas dulu!" Luna melirik dengan tatapan risih.
"Ya, ini gue kagak bisa lepasnya, Egok! Kalo bisa ya udah gue lepas dari tadi."
Luna berdecak dan mulai berdiri. Ia berjinjit dan langsung menarik kepala Andra dengan kasar. Dilepasnya pengait helm dari kepala Andra dengan sangat mudah. Tatapan yang ia layangkan pada anak laki-laki di hadapannya begitu tajam, sementara yang ia tatap justru melongo dan tampak kesal. Andra merasa kesal karena seolah dirinya tak lebih kuat dari seorang Luna, yang merupakan seorang gadis.
'Padahal cuma pengait helm doang, tapi dia bisa dan gue enggak?' batin Andra meledak-ledak.
Setelah melepas pengait dan helmnya dari kepala Andra, Luna langsung menuju ke kursi di taman seberang lapangan. Lagi-lagi Andra ditinggal begitu saja, setelah oleh Bima, kini oleh Luna. Rasa kesalnya pun semakin membludak dan ia dengan geram berjalan mengikuti langkah Luna. Dihentak-hentaknya kakinya seperti anak kecil, yang mana hentakan tersebut terdengar hingga telinga Luna. Gadis itu berdecih dan ikut kesal mendengar hentakan kaki Andra yang seperti anak kecil tengah marah.
"Lo kenapa diem, dah?" Luna membuka suara setelah duduk di kursi taman.
"Lah? Diem gimana?" Andra kebingungan.
"Grup kelas."
Andra tampak berpikir sejenak, sebelum akhirnya ia paham dengan maksud ucapan Luna. Ia pun menghela napas dengan kasar dan mulai duduk di sebelah Luna, dengan sedikit memberi jarak antara keduanya.
"Males, grupnya rame banget. Mana pada bacotin gua, padahal gua cuman mute semua kecuali admin doang. Lagian grup kelas isinya nggak penting tapi pada ribut." Andra memejamkan mata dan memangku helm, kepalanya mengarah ke atas dan berpangku pada punggung kursi.
'Padahal anak-anak udah bikin grup baru yang nggak ada dia segala.' Luna membatin. 'Mau ngasih tau, tapi nggak tega.'
"Lama dong, lo di sini?" Andra menoleh ke kiri dan membuka matanya, menatap Luna.
"Apanya?"
"Katanya nunggu jemputan, udah lama dong nunggunya? Kan, jam pulang sekolah udah dua jam-an yang lalu."
"Oh, itu? Sebenernya nggak nunggu jemputan juga, sih."
"Terus?"
"Abang gue masih ada urusan di dalem."
"Abang?" Andra menegakkan tubuhnya.
"Iye."
"Abang lo sekolah di sini?"
Luna terlihat menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan kasar. Ia terlihat ragu saat hendak menjawab.
"I-iya, sih. Tapi jangan bilang siapa-siapa, ya." Luna terlihat memohon kepada Andra.
"Lah, untungnya gue bilang ke orang lain apa, coba?"
Luna terlihat lega mendengar jawaban dari Andra. "Iya, nggak guna juga lo bilang ke orang-orang."
"Aluna Sayang!"
"Lunaku!"
Dua buah teriakan berhasil masuk ke telinga Luna dan Andra.
Merasa kenal dengan salah satu pemilik suara, Andra pun lekas berdiri dan memastikan. Benar saja, matanya melotot melihat kawan baik Bima yang tengah berjalan mendekat bersama seorang anak laki-laki lain.
"Bang Angga?!"
*****
Lamongan,
Sabtu, 02 Oktober 2021