Chereads / I Love You, Kak Laras! / Chapter 14 - Canggung

Chapter 14 - Canggung

"Bang Angga?!" Andra kontan memanggil nama orang yang ia kenal.

"Kenapa?" tanya Angga yang berdiri di belakang dua orang yang meneriaki nama Luna.

Dua orang laki-laki berwajah sama itu kontan berlari menuju Luna. Sementara Angga mengekor di belakangnya.

"Lo abangnya Luna?" tanya Andra pada Angga.

Angga mengernyit dan keheranan. "Bukan. Nih, kembar sengklek nih abangnya Luna," jawabnya.

Si gadis terlihat tertekan dan menutup wajah dengan sebelah tangan. Ia tampak malu dengan kelakuan dua kakak kembarnya yang memanggil dia dengan kencang. Andra mengangguk paham dan kembali bertanya pada Angga, mengapa ia berjalan bersama kakak-kakak Luna.

"Lah, gue ke mari karena lo manggil gue, Ndra." Angga sendiri terlihat kebingungan.

"Lah, gue manggil lu karena gue kira lu yang manggil Luna. Gue kira lu abangnya die." Andra menimpali dengan nada kesalnya. "Suaranya mirip lu, sih!"

"Enak aja! Telinga lo banyak congeknya, tuh! Suara gue mah merdu berkarisma dan gentle banget, nggak kayak si kembar."

"Bang, temen lu ngapa, dah?" tanya Luna pada kedua kakaknya perihal Angga yang justru bertengkar dengan Andra.

"Emang gitu anaknya, suka banyak omong!" jawab Reza, menepuk kepala Luna dengan lembut.

"Nungguin lama ya, Lunaku?" Ezra, kakak kembaran Reza, menarik rambut Luna cukup kuat.

"Aduh! Sakit, Ezra!" erang Luna tampak kesal.

Reza dengan sigap memukul tangan sang kakak, agar lekas melepaskan rambut adik kesayangannya. Ezra pun melepasnya dan Reza mulai melepas tasnya. Luna yang melihatnya tampak tertegun dan dengan susah payah menelan salivanya sendiri.

Reza terlihat mengambil sebuah tambang dari dalam tasnya. Mata Luna membelalak lebar melihat tali tambang tersebut. Ia menggeleng kuat dan mundur secara perlahan, tetapi Ezra berhasil menangkap tangannya dan berusaha menarik Luna agar kembali mendekat.

"Ezra, Reza! Udah, dong! Ini di sekolah, jan pada malu-maluin gini!" pinta Luna, merintih berharap belas kasihan dari kedua kakak kembarnya.

"Kan, udah pulang dari tadi, Dek," ucap Reza dengan entengnya.

Luna menggeleng kuat. "Gue aduin mama ya, lo berdua!"

"Iya, aduin aja, ya." Ezra menarik pergelangan tangan Luna yang satunya, dan Reza dengan cekatan mengikat pergelangan tangan Luna.

Gadis itu terus mengerang dan merengek kesal pada kakak-kakaknya yang terlihat tak waras tersebut. Sementara Andra kebingungan melihat kelakuan abang pada adik perempuannya. Dalam pikiran Andra, umumnya kakak laki-laki akan sangat sayang pada adik perempuannya, dan akan sangat menjaga adiknya. Namun, apa yang ia lihat justru kebalikan dan sangat bertolak belakang dari apa yang dipikirkan olehnya.

Luna mulai diikat pergelangan tangannya di belakang, dan kedua kakak kembarnya mulai menariknya seperti kambing. Di parkiran, telah ada seorang pria yang tengah berdiri di depan pintu mobil, menunggu si kembar dan juga Luna.

"Hu, ha, hu, ha, hu, ha," ujar Ezra dan Reza bersamaan, berlagak seperti suku pedalaman yang membawa sandera.

"Segera bawa ke mari tawananku!" teriak pria yang berdiri di depan pintu mobil.

"Darion! Lo nggak usah ikut stres napa!" sentak Luna yang terlihat sangat tertekan atas kelakuan ketiga kakaknya.

"Bagaimana? Tak ada satu pun manusia yang mengusik tawanan cantikku ini?" Darion kembali bersuara.

"Tidak ada, Baginda!" jawab si kembar dengan serentak.

"Tugas hari ini selesai, masukkan dia ke kereta dan akan kubayar upah kalian hari ini juga."

"Baik, Baginda!"

"Malu, bangkek!" Luna menunduk dan menggeleng kuat, agar rambutnya menutupi wajahnya.

Pria tadi langsung memasuki mobil dan duduk di kursi kemudi, setelah si kembar membawa Luna untuk duduk di kursi depan. Mereka pun duduk di kursi belakang dan mobil mulai melaju meninggalkan sekolah.

Andra yang masih melongo melihat pemandangan tersebut, pun mengedip beberapa kali. Ia kembali membatin dan bersyukur bahwa abangnya adalah Bima, si dingin yang bermulut pedas, bukan si gila yang akan mempermalukan ia di tempat umum.

'Iya, sih. Biasanya gue yang bikin bang Bima malu di tempat umum,' lanjutnya, mengingat beberapa kelakuan absurd-nya. 'Pantesan cebol tadi nggak mau ngakuin mereka sebagai kakaknya.'

Sementara itu, Angga menarik napas panjang dan menggeleng keheranan. Ia terbiasa melihat si kembar yang gilanya hampir setara Andra itu bertingkah, tapi baru kali ini ia melihat si kembar memperlakukan adik perempuannya seperti itu. Bahkan kakak tertua mereka pun ikut bertingkah gila di tempat umum. Angga bersyukur ia tak memiliki kakak ataupun adik, ia sangat bersyukur terlahir sebagai anak tunggal.

"Bima!"

Sebuah teriakan membuyarkan lamunan Andra pada Luna dan kakak-kakaknya. Suara yang telah menjadi candu baru bagi Andra tersebut, berhasil membuat si anak laki-laki menoleh ke arahnya. Dengan senyum lebar Andra menatap gadis mungil berambut sebahu itu.

Tampak di hadapannya Bima yang tengah berhenti dari jalannya karena panggilan Laras. Andra mengernyit, mengapa Laras menghentikan langkah Bima? Segera ia berlari mendekati mereka dan hendak memanggil Laras. Namun, ekspresi Bima membuatnya bingung dan berhenti sebelum sampai di dekat mereka.

"Ini catatan bendahara ketinggalan." Laras menyodorkan sebuah buku pada Bima, yang langsung diterima dan langsung ditinggal pergi oleh Bima.

"Hah?" Andra tak memahami tingkah Bima yang sangat dingin dan cuek pada Laras. Padahal sang abang selalu cerewet padanya, tapi justru sangat cuek pada yang lain.

"Dah biasa abang lu tuh." Angga menepuk bahu Andra. "Dia emang terkenal dingin dan irit omongan. Nggak usah kaget gitu dong."

"Walaupun ke kak Laras?" Andra menoleh pada Angga dan menanyakan kebingungannya.

"Apalagi sama Laras, cuek banget dia kalo sama cewek modelan Laras."

Mendengar ucapan Angga, mendadak Andra merasa kesal dan ingin sekali memukul mulut Angga.

"Modelan kak Laras, Bang Angga bilang?" Andra menggertakkan gigi-giginya.

"Nggak usah salah paham, Bima tuh emang nggak suka cewek yang terlalu kalem dan kurang punya pendirian kayak Laras. Selain Laras, Bima juga cuek banget sama anak-anak cewek." Sebelum amarah Andra membludak, Angga lekas menjelaskan. "Makanya awalnya gue juga kaget pas liat kelakuan lu di hari MOS pertama. Beda jauh sama citra abang lu."

Andra mendengkus dan langsung tak peduli. Tanpa mengatakan apa pun, anak laki-laki itu bergegas berlari dan mengejar Laras yang hendak kembali memasuki sekolah.

"Lah, gue ditinggal gitu aja?" Angga terheran-heran. Ia pun ikut pergi, meninggalkan taman yang sepi itu.

"Kak Laras!" teriak Andra, membuat Laras terhenti dari jalannya.

Laras menaikkan alisnya dan terkejut dengan keberadaan Andra. "Loh, kamu?"

"Hehe, iya, Kak. Kak Laras masih inget aku, 'kan?" tanya Andra setelah sampai di hadapan Laras.

Gadis berponi itu tersenyum dan menampilkan jajaran giginya. "Ya, inget, dong. Kamu adeknya Bima, 'kan?"

"Iya, hehehe." Andra terkekeh dan mendadak merasa kaku.

Laras sendiri hanya tersenyum dan mulai ikut canggung oleh keadaan. Andra berdeham pelan dan menanyakan keadaan kaki Laras, gadis itu menjawab sudah mulai mendingan. Lalu, kembali suasana mulai tegang di antara mereka.

"Kamu tadi ikut Bima ke sini?" Laras bertanya, mencoba mencairkan suasana.

"Iya, Kak. Katanya bukunya ketinggalan." Andra menjawab dengan santai, walaupun ia merasa canggung di dekat Laras. 'Kenapa mendadak gue deg-degan gini, sih?'

'Duh, canggung banget sama adeknya Bima,' batin Laras merasa tak enak.

"Kak Laras bisa pulang sendiri?" tanya Andra, mencari topik pembicaraan.

"Abis ini dijemput abang aku, kok," jawab Laras dengan senyum hambar.

"A-abang?"

Andra tertegun. Pikirannya berlarian ke tragedi nahas yang menimpa Luna beberapa saat lalu. Di mana ketiga kakak laki-laki Luna bertingkah sangat liar, dan mengikat adik perempuannya untuk diseret dibawa pulang. Anak laki-laki itu mulai khawatir kalau abang Laras tak lain memiliki karakter sama dengan kakak-kakak Luna.

'Berarti nanti Kak Laras bakalan diiket kayak sapi, ditarik kayak tawanan, abis itu dimasukin mobil kayak penculikan. Enggak! Nggak boleh! Mending Kak Laras pulang sama gue aja! Nanti kalo abangnya ganas dan stres kayak kakak-kakaknya si cebol Luna, gimana? Gue nggak mau Kak Laras sampek terluka.' Andra mulai bergelut dengan pikirannya sendiri.

"Iya, sama abang aku. Soalnya ini jalannya masih agak susah, jadi minta jemput abang." Laras kembali tersenyum hambar.

"Jangan!" sahut Andra dengan cepat.

*****

Lamongan,

Sabtu, 02 Oktober 2021