Andra tersenyum-senyum sendiri menatap roti yang dipegangnya di depan wajah. Air mineral juga roti lain di atas bangku pun tak luput dari senyuman Andra. Ia sangat bahagia bahwa Laras sangat baik padanya. Bahkan anak laki-laki berkulit putih itu tak menyangka kalau Laras akan membelikannya roti dan air mineral.
Tadinya anak itu hendak ikut ke kantin, tapi karena Bima sudah melihat roti pemberian Laras dan juga air mineralnya, Bima pun membopong Laras dan meminta Andra untuk kembali ke kelas saja. Awalnya Andra menolak, tapi karena Laras juga memintanya untuk kembali, ia pun menurut dan langsung kembali ke kelas.
Dan kini, Andra duduk di bangkunya dengan cengar-cengir menatap roti pemberian Laras. Bukannya langsung dimakan, roti tersebut justru ia lihat dan foto saja. Lama sekali Andra hanya melihat-lihat dan memotret roti tersebut dari berbagai angel, mungkin sekitar dua puluh menitan. Bahkan bel masuk sudah hampir berbunyi, dan Andra masih tak mau memakan rotinya.
"Nggak nyangka ketua kelas gue orang gila," ujar gadis berambut sebahu di bangku depan Andra.
Mendengar cibiran tersebut, Andra pun kontan melirik ke depan dan melotot tajam. Lagi-lagi hanya tampang datar tak berdosa yang ditunjukkan oleh si gadis. Andra mendengkus pelan dan mengabaikannya, berharap gadis di depannya tak lagi mengganggu jalannya oksigen menuju paru-parunya.
"Andra, tadi kata pak guru lo harus ke kantor TU buat minta buku absensi," ujar seseorang, membuyarkan senyum Andra pada sang roti.
Andra tak langsung menjawab dan hanya melotot tajam. "Lo wakilin aja, apa ngga bisa?" tanyanya mulai nyolot.
"Nggak bisa, Ndra. Lo kan ketua kelasnya."
"Duh!" Andra mendesah panjang. "Dari awal juga gue nggak mau jadi ketua kelas. Lo aja, deh, yang ambil absensi."
Gadis berambut sebahu yang tadinya menatap ke depan, kini membalik tubuh ke belakang dan melirik tajam Andra. "Lo kan ketua kelas! Tanggung jawab, dong! Masak mau nyuruh-nyuruh kita yang masih 'bocil' ini, sih?" ujarnya, menekankan kata "bocil".
Anak laki-laki itu ikut melotot pada si gadis. "Lo yang bikin gue jadi ketua kelas! Sekarang lo ambil absensi di kantor TU, dan nggak boleh protes! Gue ketua kelasnya!" ucap Andra lirih nan dingin.
Luna menekuk alis dan langsung membalik tubuh, ia kembali menghadap ke depan. Diambilnya buku dari laci meja, dan ponsel dari saku serta headset-nya. Gadis itu justru mengabaikan Andra dan memutar musik sembari membaca buku.
"Heh!! Nggak denger gue bilang apa?!" sentak Andra yang mulai geram.
Kawan yang memberitahu Andra tadi pun mulai merasa canggung. Karena ucapannya pada Andra, anak itu justru harus melihat Andra bertengkar dengan Luna.
"Ambil buku absensinya sekarang! Nanti keburu bel masuk, woy!" Lagi-lagi Andra diabaikan begitu saja oleh Luna.
"A-Andra, biar gue aja deh, yang ambil buku absensinya. L-lo mending makan aja, deh. Sorry ganggu." Setelah mengucapkan kalimat tersebut, kawan sekelas itu langsung beranjak pergi dan meninggalkan Andra serta Luna.
Dengan ujung bibir kanan yang naik, Andra menepuk bahu kanan Luna dan mulai duduk dengan tenang.
"Thank's, ya! Gue tahu lo pembuat masalah yang handal," ujar Andra berterima kasih dengan senyuman.
Luna setengah menoleh ke belakang. "Gilak ya, Lo?!" jawabnya melotot tajam.
"Sorry-sorry, becanda. Thank's."
"No probs," jawab Luna, mengangkat tangan kanannya.
"No problem, Egok!"
"Nggak gaul banget, sih?!"
"Norak."
"Bodo!"
Ya, memang semuanya adalah rencana. Rencana tanpa wacana. Ketika kawan Andra memberitahu dirinya untuk mengambil buku absensi, dan Andra terus berusaha menolak, kaki Andra menjulur ke depan menendang bangku Luna. Alhasil, Luna menoleh dan ikut campur. Tanpa diberitahu pun, Luna langsung paham dengan situasinya. Lantas ia pun memulai aksi dengan mencari gara-gara pada Andra. Hingga mereka bertengkar, dan si kawan sekelas tadi mulai merasa tak enak hati. Pada akhirnya anak tadi sendiri yang beranjak pergi untuk mengambil buku absensi.
Rencana yang tiba-tiba, juga tanpa perantara kata. Namun, berjalan mulus dan tanpa hambatan. Seolah otak keduanya saling terhubung, padahal kesan mereka berkenalan dari tadi pagi hanya soal pertengkaran.
Dengan santai, Andra memakan roti pemberian Laras. Satu gigitan ia gapai, matanya terpejam erat dan dagunya terangkat. Andra tersenyum penuh kemenangan. Roti yang ia makan tak lain halnya seperti makanan paling enak sedunia.
"Duh, manis banget roti dari kak Laras," gumamnya dengan tetap memejamkan mata.
"Stres," cibir Luna tanpa menoleh ke belakang.
***
"Bim, gue minta nomor kak Laras, dong." Andra mulai mengoceh sembari memasang helm di atas kepala. "Ya? Janji nggak bakal gue aneh-anehin, kok."
Beberapa detik berlalu, dan Bima hanya diam tak menanggapi lebih ucapan sang adik. Hal itu membuat Andra geram dan berdecak keras. Dengan kerasnya Andra memukul helm Bima yang telah terpasang di kepala.
"Apa, sih?!" sentak Bima terlihat kesal.
"Diajak ngomong tuh, dengerin! Malah cuek." Andra ikut kesal.
"Ya, apa?"
"Gue minta nomor kak Laras." Andra terlihat memelas. "Ya? Ya? Ya, Bim, ya?"
"Ga."
"Bim!"
"..."
"Bima!"
"..."
Bima tak memedulikannya lagi, dan langsung menaiki motor. "Lo mau pulang kagak?" tanyanya, mengabaikan rengekan Andra yang masih berharap nomor telpon Laras.
Andra berdecak kesal, tapi tetap menaiki jok belakang motor. Motor mulai melaju dengan kecepatan sedang, dan Andra mulai diam dengan tenang. Meskipun sebenarnya ia tak tenang dan ingin terus merengek meminta nomor telpon Laras, tetapi Andra tetap diam dan tak mengganggu sang abang mengemudi motor.
Di tengah jalan, motor menepi. Andra mengerutkan dahi dan langsung menepuk punggung Bima dengan kuat.
"Lo mau turunin gue di pinggir jalan? Gilak, ya, lo?! Nyalain lagi motor, cepet!" sentak Andra tiba-tiba.
"Kagak, Egok! Gue mau beli siomay di depan, noh!" Bima melepas helmnya dan menyikut Andra agar lekas turun.
"Kirain mo nurunin gue di pinggir jalan. Kalo iya, gue kutuk lo jadi kuman." Andra turun dari motor, dan langsung melepas helm dari kepalanya.
"Niatnya, sih, mo buang lo aja ke rawa atau hutan. Biar kalo mati nggak ditemuin jasadnya sekalian."
Andra melongo mendengar jawaban dari Bima. Matanya membulat dan mulutnya menganga. Sementara Bima tak peduli dan langsung beranjak menuju tukang siomay.
"Gue 2 bungkus!" teriak Andra pada sang abang.
Sebuah notifikasi dari ponsel membuat Andra mengalihkan perhatiannya. Langsung saja ia ambil ponsel dari saku dan melihatnya, notifikasi bertubi-tubi langsung masuk silih berganti. Dengan cekatan Andra mematikan dering ponsel agar tak berisik. Saat dilihatnya kembali, rupanya notifikasi dari grup baru, grup kelasnya sendiri. Setelah melihat bahwa dirinya telah debut sebagai admin grup di grup chat tersebut, Andra pun langsung mencopoti satu per-satu lencana admin pada semua admin kecuali dirinya sendiri.
"Gilak, ya! Grup baru netes aja udah rame banget kayak pasar demit," gerutunya dengan terus menekan layar ponsel.
Setelah mencopoti lencana admin, Andra langsung beralih pada pengaturan grup, bahwa hanya admin yang bisa mengirim pesan pada grup.
Andra:
BERISIK!!
*****
Lamongan,
Selasa, 28 September 2021