Chereads / Untukmu Mariana / Chapter 2 - Korban Bully

Chapter 2 - Korban Bully

Mohon like and komen ya... Follow juga...

Tepat jam empat sore waktu pulang semua karyawan di kantor itu. Seorang gadis terkurung rapat di dalam toilet tanpa ada seseorang pun mendengar teriakannya yang nyaris menghabiskan suaranya itu. Entah sudah berapa jam ia di sana, yang jelas, cewek berpenampilan cupu dengan kaca mata super tebalnya itu kerap menjadi bulan-bulanan bullyan karyawan lainnya.

Kejam memang, tapi itu kenyataannya. Mariana Febiola atau kerap disapa Ana, cewek cupu itu tampak kelelahan setelah nyaris satu jam menggedor-gedor pintu tanpa hasil.

"Woooy! Buka dong! Siapa sih yang jailin gue? Kenapa kalian selalu gangguin gue? Woy!" Lelah. Ia terduduk di atas toilet modern karena sudah hampir kehabisan tenaga.

"Sial! Mana belum beli token listrik lagi di rumah. Bisa-bisa keburu abis nih."

Malvin Danuar. Cowok super keren yang nyamar jadi karyawan biasa di kantor bokapnya, ia tiba-tiba merasa kebelet yang memaksa dirinya untuk pergi ke toilet sebelum pulang kerja.

Suara seseorang masuk terdengar jelas oleh Ana. Ia hanya mendengarkan di balik pintu toilet, benar! Itu memang suara orang yang datang. Ini kesempatan baginya untuk meminta tolong.

Tapi, tunggu. Gimana kalo yang datang justru orang yang udah jahatin dia? Sebaiknya Ana menunggu sesaat, untuk memastikan.

Tak lupa juga jika dia mantan sabuk hitam, hanya saja sudah beberapa tahun terakhir tak pernah menggunakan keahliannya semenjak Aslan, kekasihnya dulu melarang dia untuk bermain kasar dalam pergaulan.

Tak kuat menunggu, Malvin tak perduli ke toilet mana ia masuk karena dipikir para karyawan sudah pada pulang. Orang gila mana yang mau tunggu di toilet dalam jam pulang?

"Ck, ngapain dikunci sih?" Kesal, Malvin membuka kunci itu dan langsung masuk tanpa sadar ia nyaris membuka retsleting celananya.

"Aaaaaaakkkkkkhhhhh ...!" Keduanya berteriak berbarengan.

"Ngapain lo di sini?!" Malvin mendelik.

"Lo sendiri, ngapain di sini? Ini kan toilet cewek." Ana menutup wajah.

"Gue kebelet." Tangannya masih menggenggam senjatanya.

"Kebelet? Lo mau kurang ajar ma gue?!"

"Kurang ajar apanya? Gue mau kencing! Lagian siapa juga yang tertarik sama lo?!" Sadar, Malvin melepaskan genggamannya. "Eh, tunggu. Lo dikunciin orang?"

Ana melepaskan tangannya. "Kok lo tau?"

"Lha itu, tadi pintu ini dikunci. Lo dikunciin orang? Ck, udahlah. Gak penting juga. Lo keluar sana, gue mau kencing."

Buru-buru Ana pergi tak ingin berlama di sana sebelum ada hak yang justru lebih bahaya menimpanya.

Apa kata dunia kalo mereka tahu ada dua sejoli di dalam toilet? Hancur dunia persilatan.

Ana masih merasa malu dengan apa yang nyaris saja dilihatnya. Kenapa juga dia bisa sesial ini?

Wajahnya memerah, ia masih tetap menutupi sepanjang perjalanan menuju angkutan kota. Ck, ish. Sial memang. Kenapa juga harus ketemu sama cowok dalam keadaan kayak itu?

...

Jadi karyawan sekaligus mahasiswa memang tidaklah begitu mudah baginya. Setumpuk tugas mingguan sudah menunggu untuk dijamah, Ana masih kuliah dengan mengambil kelas karyawan di jurusan akuntansi.

Rambut diikat dua, celana kolor di atas lutut, kaos gaya hoodie dan tak lupa kacamata tebal bertengger di atas hidung yang gak terlalu mancung itu menunggu untuk dilemparkan saking tidak menambah kecantikannya.

Segelas susu murni yang biasa ia sediakan sebelum memulai tugasnya. Ya, itu penting, demi menjaga stamina.

Baru berapa angka ia masukan ke dalam kolom tugasnya, lampu sudah mati!

"Aaawww ...!" susunya tumpah ke tangan.

"Kenapa gue lupa beli token listrik?"

"Ana ... Neng Ana ...." seorang wanita mengetuk pintu.

Itu, suara Ibu Kost. Pasti ia mau nagih uang bulanan.

"Neng Ana ada tamu ...."

"Tamu, ia sebentar ...." Ana berusaha mencari jalan dalam kegelapan.

Brak! Sesuatu seperti terjatuh ke lantai. Ana terus berjalan, tanpa sadar kakinya yang memang telanjang itu menginjak sesuatu.

"Aw!" pekiknya.

Ana menggapai sebuah saklar, menekannya beberapa kali. Ya pasti akan percuma karena mati listrik di rumahnya disebabkan oleh energi yang sudah habis.

"Siapa, Bu?" Akhirnya Ana berhasil terlepas dari kegelapan.

"Ini katanya temen kamu. Kok rumahnya gelap sih?" tanya Ibu Kost.

"Ana lupa beli token, Bu."

"Sebentar, Ibu ambilin emergency ya." Lampu emergency maksudnya. Yang bisa nyala tanpa saklar.

"Elo? Ngapain ke rumah gue?"

Dia Malvin. Hanya berdiri tanpa dipersilahkan duduk sama sekali.

"Gue mau balikin tas lo. Tadi tertinggal di toilet." Ia menyodorkan.

"Oh, makasih." Wajah datar.

"Gue gak disuruh duduk?" sedikit sungkan.

"Oh, sorry. Silahkan duduk."

"Neng, ini emergency---nya. Kalo gitu, Ibu balik ke rumah dulu ya." Ibu kost menyodorkan senter lebih tepatnya.

"Oh, iya. Makasih, Bu."

"Yaampun, kaki lo berdarah!" Malvin melotot menyadari ada banyak darah bersimbah di lantai.

"Hem?" Ana tanpa sadar.

"Lo gak sadar kaki lo berdarah?"

"Da darah? Hah?"

Ana menggigil. Ia memang pobia terhadap darah. Seketika tubuhnya terguncang, lemas, gelap kemudian.

"Ibu ...." Bibirnya lirih memanggil. "Pak ... maafin Ana ...."

Kecelakaan beberapa tahun silam yang sukses merenggut nyawa kedua orang tuanya itu seolah menjadi boomerang baginya. Ana, ia ingat betul bagaimana kedua orang tuanya bersimbah darah di hadapan, membuat ia merasakan trauma yang amat mendalam.

Sejak saat itu, Ana akan senantiasa menggigil setiap kali melihat darah, meski itu darah haidnya sendiri.

Tapi beruntung jika hanya darah datang bulan tidak akan separah ia melihat darah menetes dari luka, atau bahkan lebih lagi yang bersimbah itu. Ana akan senantiasa terguncang hebat, tubuhnya melemah, lalu kemudian ia pingsan dan kejadian yang lalu itu terpampang kembali.

Matanya terbuka. Ini bukan surga kan? Pikiran gila itu tiba-tiba memenuhi otaknya.

Enggak, ini kamarnya. Ana masih tetap berada di kamar tapi kini lampunya sudah menyala.

"Udah bangun?" suara itu mengejutkannya.

"Ibu?"

Ibu Kost itu tersenyum sambil membawakan segelas teh manis hangat. "Ini minum dulu," katanya sambil menyodorkan.

"Terima kasih. Lampunya?"

"Temen kamu tadi yang beli. Langsung di isi sejuta."

"Sejuta?" Ana terbelalak.

"Iya, biar kamu gak bolak-balik beli token katanya."

"Terus dia?"

"Beli beberapa perban sama anti biotik. Buat persediaan kotak P3K kamu juga katanya."

"Kenapa begitu?"

"Dia tau kamu pobia darah, malah katanya dia yang bakal ngurus kamu selama luka itu masih ada."

"Ngapain juga? Aku kenal aja enggak."

"Katanya kalian temen kantor."

"Iya sih. Tapi ...."

Suara pintu ditutup, sudah pasti Malvin yang datang. Buru-buru Ana menarik selimutnya, kembali untuk berpura-pura tidur.

"Bu, jangan bilang kalo aku udah bangun," bisik Ana.

Baru berapa detik memejamkan mata, Malvin sudah datang dengan menenteng satu tas spunbon belanjaan. Ada diantaranya berisi camilan ringan.

"Dia belum sadar, Bu." Malvin memastikan sendiri luka yang beru dibalut kain biasa itu. "Maaf, Bu. Tolong ambilkan saya semangkuk air hangat."

"Iya, sebentar ya."

Mimpi apa gue? Baru tadi sore diselamatin dari toilet, sekarang udah diselametin dari pobia juga___Ana.

Hangat terasa meski agak perih dengan dibasuh air bercampur alkohol. Ana. Menggigit bibirnya, tetap berpura-pura tidur. Namun ia tak dapat menyembunyikan rasa geli ada perlakuan Malvin di telapak kakinya.

Kaki itu sedikit bergerak dan tak selemas pada awalnya.

"Udah bangun?" sambil tetap mengompres luka itu supaya bersih. Sedangkan Ibu Kost tak tahu sudah kemana.

"Emh," desahnya.

"Perih?"

Ana menggangguk sambil mencengkeram selimut yang melindungi tubuhnya.

"Lain kali hati-hati. Jangan sampe kejadian lagi."

Perhatian. Itu kesan pertama yang ditampakan Malvin padanya.

"Kalo lo sakit gini gimana bisa kerja? Bukannya lo hidup sendiri?"

"Dari mana lo tau?"

"Ibu Kost yang bilang."

"Sh, aw!"

"Diem!" Malvin meneteskan beberapa tetes obat luka pada kaki Ana, lalu melilitnya dengan kasa. "Gue bakal ngurus lo sampe lukanya sembuh."

"Ck, gak usah. Gue bisa sendiri." Ana menarik kakinya.

"Dengan kejadian tadi? Lo mau sok-sokan gitu? Ck, emang lo pikir gue gak tau kalo lo pobia darah?"

"Emh, lo tahu itu dari Ibu Kost juga? Kok bisa-bisanya dia bongkar semua tentang gue." Sedikit gugup.

"Tanpa dia bilang juga gue udah tau, lo pingsan setelah lihat darah." Menggunting plester dan menempelkannya.

"Kacamata gue mana?"

"Tuh, di samping." Menunjuknya dengan lirikan mata. "Lo lebih cantik kalo gak pake kacamata."

Ana meraihnya dan kembali mengenakan benda itu. "Kalo gini kan jelas," katanya.

"Lo minus berapa?"

"Ck, gak perlu tau lah."

...

BRAK!

Sesuatu kembali pecah. Malvin yang semula hampir terlelap itu seketika terbangun.

***

Next.