Chereads / Untukmu Mariana / Chapter 3 - Tipuan yang Gagal

Chapter 3 - Tipuan yang Gagal

Jangan lupa like, komen dan follow yes.

"Kenapa lagi sih tuh si cupu?"

Malvin yang semula terbaring di atas sofa kamar itu, ia segera berlari menuju arah suara.

Ana tengah berusaha membersihkan serpihan gelas yang baru saja dijatuhkannya. Mungkin ia haus, tapu tak berani untuk membangunkannya.

"Ck, sini biar gue bersihin," sergah Malvin sambil meraih serpihan itu.

"Gak papa, biar gue aja."

"Lo mau tangan lo luka terus pingsan lagi? Kenapa gak bangunin gue aja sih?" menepis tangan Ana dari beberapa beling itu.

"Gue gak mau repotin orang."

"Tapi kalo kayak gini malah tambah repot kan gue?"

"Lagian juga gue gak pernah minta bantuan lo. Siapa juga yang nyuruh lo buat gak pulang?"

"Ck, gue perhatian sama lo. Kalo bukan gue yang ngurus, emang mau siapa lagi? Kaki lo jadi berdarah lagi kan."

Panik melihat kasa di kaki Ana sudah memerah. Menggendong gadis itu untuk pindah ke kamarnya.

Tak ada penolakan sama sekali. Ya, ia pun memang merasa kakinya agak ngilu jika harus terus berjalan. Kalo musti loncat-loncat dengan sebelah kaki, agak ngeri juga sih pas tau-tau ada yang ngikutin pake jubah putih berkupluk, ihhh ... serem kan?

"Nama lo Ana kan?" membuka perban di kaki Ana.

"Lo denger sendiri tadi Ibu Kost manggil gue apa." Sedikit meringis.

"Gue Malvin."

"Gak nanya."

"Ya gue jelasin. Masa lo gak mau tau siapa nama dewa penolong lo?" Melirik nakal.

"Gak usah mikir yang aneh-aneh!"

"Idih, kePeDean!"

"Ck, pelan-pelan ih."

"Ini juga gue udah pelan-pelan, Neng. Dengan perasaan malah." Membersihkan lukanya. "Eh, ngomong-ngomong ini lukanya gede lho. Kenapa gak gue jahit aja ya biar cepet sembuh?" Menyeringai jahil.

Bias raut wajah Ana berubah seketika. "Gak usah, lagian gue juga gak butuh bantuan lo! Pulang aja sana!"

"Gue sih gak bantuin lo, gue cuma ...."

"Cuma apa?"

Ngerasa bersalah sama lo, karena udah merenggut semuanya. Termasuk kebahagiaan lo___Malvin.

"Cuma apa?!"

"Enggak, cuma ... cuma gak ada kerjaan aja."

"Ck, ish ...."

"Eh, Pupu. Lo beneran cuman sendiri di sini?"

"Pupu?" Ana mengernyitkan dahinya. Panggilan itu terasa begitu asing baginya.

"Iya, lo kan cupu. Boleh dong gue panggil Pupu?"

"Serah lo."

"Eh, Pup."

"Pup?"

"Iya, Pupu maksudnya."

Kok Ana ngerasa agak ilfeel ya dengernya? Ya gimana gak ilfeel, dia dipanggil Pup, lo tau apa itu P-U-P?

Bodo amat, Ana rasanya gak mau terlalu pusing memikirkan hal itu. Yang jelas, ngilu di telapak kakinya serasa agak ringan setelah Malvin menyelesaikan lilitannya.

"Udah beres, lo tidur lagi gih."

"Emh, bisa gak lo tidur di kamar sebelah aja? Gue masih perawan soalnya."

Malvin menyeringai geli. "Cewek di luaran sana banyak yang lebih cantik dari lo. Kenapa juga gue harus tertarik?"

Ya, mungkin gak terlalu bahaya juga. Ana tak ambil pusing dan hanya membiarkan Malvin kembali terbaring di atas sofa itu.

Tampan, itu kesan pertama yang Ana lihat dari sosok Malvin Danuar. Nama itu gak begitu terkenal sih, mungkin memang karena ia pun karyawan baru di perusahaan itu. Jabatannya juga gak begitu tinggi, staf biasa aja.

Malam telah larut, bahkan sudah nyaris waktu pagi. Mata yang semula terjaga dengan pandangan agak kabur setelah melepas kacamata itu perlahan melemas, membiarkan tubuh itu melakukan tugasnya.

...

Gue pergi bentar, lo jangan lakuin yg aneh2 lagi. Ada beberapa bahan makanan yang harus gue beli.

Secarik kertas dengan tulisan yang tak begitu rapih itu tergeletak begitu saja ketika Ana pertama kali mengenakan kacamatanya. Aneh juga, ini pertama kalinya ia seolah mendapat perhatian lebih, meski Ana tak begitu menyadari akan perasaan itu. Ada apa sebenarnya? Padahal mereka baru saja kenal di toilet itu.

Sesaat ia meregangkan kedua tangannya. Nyaris saja Ana berdiri untuk membereskan kamar ketika tiba-tiba Malvin datang dan menahannya.

"Eh, lo mau ngapain? Siapa suruh lo berdiri?" panik.

"Ck, gue gak papa, gue mau beresin kamar terus siap berangkat kerja."

"Gue udah izinin lo ke kantor."

"Hah? Gimana bisa?"

"Ya bisa lah, apa sih yang gak gue bisa?"

"Tapi ...."

"Lo gak percaya? Telpon gih HRD, tanyain ke mereka." Malvin melipat tangan.

Aneh memang. Padahal dia hanya sekedar staf biasa, itu pun juga masih baru. Bahkan mungkin Ana lebih dulu bekerja di sana. Tapi rasanya juga tak seleluasa itu.

"Lo duduk aja, Pup. Biar gue yang beresin kamar lo."

"Pup?" Ana agak kesal dengan panggilan itu.

"Iya, Pupu."

"Ck, lo bisa gak sih manggil gue dengan sebutan yang layak aja? Itu ih, pup bukannya buang berak ya?"

"Kenapa emangnya?" Malvin menahan tawa. Ia meraih selimut untuk dilipatnya. "Gue seneng sama panggilan itu."

"Ya tapi kan gue gak suka ...!"

"Bodo."

Tak perduli dengan Ana yang terus mengoceh mempermasalahkan nama panggilan, Malvin lebih memilih menutup telinganya dengan earphone sambil terus membersihkan ruangan itu. Mulai melipat selimut, memindahkan Ana untuk kemudian mengganti kain sprei, menyapu, mengepel, membersihkan setiap debu menggukana vacum cleaner, hingga akhirnya Ana menikmati itu sambil memakan camilan dan menontin tv.

Lelah, Malvin terkapar di lantai. Ia menghela nafas beberapa kali, tapi tak ada rasa terpaksa di raut wajahnya. Malah ia terlihat lebih senang ketika Ana meminta bantuannya untuk melakukan sesuatu.

"Lo laper gak, Pu?" mengganti panggilannya.

"Laper lah."

"Gue masakin ya."

"Lo, masak? Emag bisa?"

"Terus lo pikir buat apa gue keluar nyari bahan makanan kalo gak bisa masak?" Sambil bengkit dan ngeloyor keluar kamar.

Jelas terlihat bekas keringat mengembun di lantai itu. Ana tersenyum, serasa dirinya istimewa.

Bau nikmat menyeruak dari arah dapur. Secepat ini? Sedangkan yang Ana tahu, memasak jenis makanan itu membutuhkan waktu yang cukup lama.

Malvin sudah tersenyum dengan sepiring lauk yang ditemani nasi putih hangat. Nikmat memang. Hingga Ana terkesan seperti tak tahan menelan liurnya sendiri.

"Sarapan dulu, Pup," ujar Malvin.

Sontak hal itu membuat Ana menjitak kepalanya. Bagaimana mungkin hal yang menyangkut dengan kenikmatan lidah tiba-tiba dirusak begitu saja dengan sebutan menjijikan itu.

"Gue gak mau." Ana cemberut.

"Ck, sarapan dulu ...." Malvin menyodorkan sendok berisi nasi dan daging sapi berbumbu itu.

"Gak mau, ada kotorannya." Ana lebih memilih memutar posisi tubuhnya.

"Kotoran? Gak ada ah, ini kan gue beli steril banget. Dari restoran mahak pula."

Malvin segera menutup mulutnya, terlebih tatapan mata Ana begitu tajam ke arahnya. Serasa ada aliran listrik yang tiba-tiba menyambar habis keberaniannya.

"Lo bohong?"

"Emh, sorry. Gue cuma ...."

Ana segera merebut hidangan itu dan melahapnya dengan rakus. Malvin melotot, ternganga tak percaya.

Sebenarnya cewek ini kenapa? Tadi dibilang gue yang masak, dia bilang ada kotorannya. Nah sekarang pas udah tau beli dari restoran, malah segila itu makannya___Malvin.

"Lo gak makan?" Ana menyeka mulutnya yang belepotan setelah hidangan itu bersih tak tersisa.

"Ya gimana gue bisa makan? Hidangannya abis."

Niat hati Malvin ingin praktekin kemesraan yang sempat ia lirik pada tayangan drakor yang semalam sempat ia tonton bersama Ibu Kost selama Ana tak sadarkan diri. Tapi ... Hasilnya gagal total.

Tadinya, jika Ana tetep tidak mau makan seperti dalam film, Malvin akan melahap hidangan itu terlebih dahulu kemudian memasukannya ke dalam mulut Ana lewat transfer makanan antar mulut ke mulut. Tapi hasilnya tak sesaui rencana, Ana malah melahap habis makanan itu.

"Lo nyesel hidangannya gue abisin?"

"Ya masalahnya bukan gitu, harusnya lo nolak terus nanti gue makan hidangan ini dan gue suapin lo lewat bibir."

Plak! Ana menepuk keras pucuk kepala Malvin hingga membuat cowok itu meringis.

"Lo jadi cewek galak banget! Barbar lo!"

"Lo yang mesum!" Ana meraih minum di atas nakas, "kurang ajar," gumamnya kemudian mereguk minumnya.

***