"Gus. gus." panggil Ja'far, salah seorang santri senior yang juga merupakan abdi ndalem keluarga gus Muha.
Ia sudah mondok di pondok pesantren Nurul Ulum selama kurang lebih 10 tahun, yang mana pesantren itu diasuh oleh abi dan umi gus Muha. Dia mondok ketika usia 17 tahun, tepatnya ketika ia lengkap menjadi seorang yatim piatu. Ayahnya sudah meninggal ketika ia berusia 6 tahun. Dan ibunya meninggal karena penyakit liver yang dideritanya selama 5 tahun. Ia diarahkan oleh pamannya yang juga merupakan alumni dari pondok pesantren Nurul Ulum. Pamannya tidak mau keponakannya itu kehilangan arah dan salah pergaulan karena tidak ada yang mengawasinya. Pamannya pun mengantarkannya ke pesantren dan menitipkan Ja'far di ndalem. Ketika itu, gus Muha pun masih berusia 18 tahun. Karena usia mereka yang hanya berselisih 1 tahun, mereka menjadi sangat akrab. Meskipun begitu, sebagai Abdi ndalem Ja'far tentu sangat menghormati gus Muha sebagai keluarga ndalem.
"Apa?" dengan begitu dingin gus Muha menjawab tanpa menoleh siapa yang memanggilnya dan melanjutkan langkah lebarnya. Memang sudah menjadi sifatnya, dingin, kaku, cuek dan bermuka angkuh. Namun begitu, ia memiliki rasa kasih dan sayang yang begitu besar kepada semua orang terutama keluarga dan para santrinya.
Masih dengan nafas yang naik turun karena mengejar langkah lebar gusnya itu, Ja'far menjawab dengan gugup dan panik "Ning Fety gus".
Deg, seketika gus Muha menghentikan langkahnya, menatap tajam ke arah Ja'far.
"Ada apa dengan adik ku?" rasa cemas mulai terlihat di raut wajah gus Muha.
"Anu gus, ning Fety masuk rumah sakit karena kecelakaan jam 9 pagi tadi. Sekarang abi sama umi lagi perjalanan kesana, saya di utus mengantarkan gus menyusul ke rumah sakit dan membawa keperluan yang dibutuhkan".
"Astaghfirullah, oke aku akan bersiap-siap dan kita langsung ke sana". Tanpa berkata-kata lagi gus Muha berlari menuju dalem dan menyuruh Sahila yang juga salah seorang abdi ndalem di keluarga gus Muha untuk mempersiapkan segala keperluan yang dibutuhkan.
Sahila, santriwati cantik yang begitu terkesima terhadap ketampanan dan ketaqwaan gus Muha sekalipun tak pernah berani menatap wajah gusnya itu, meski ia sangat ingin walau hanya sekedar melihat sekilas. Ia begitu segan dan menghormati keluarga ndalem gus Muha.
Diperjalanan, tak terpungkiri gus Muha terlihat begitu murung dan melamun. Ia begitu cemas akan terjadi hal yang tidak diinginkan terhadap adik kesayangannya itu. Adik yang selalu ceria, hampir tidak pernah terlihat murung dan ia sangat cantik.
"Gus, mbok ya jangan melamun gitu. Saya jadi ikut sedih lihatnya" tegur Ja'far yang melihat raut wajah gusnya itu. Meski air mukanya terlihat begitu tenang, namun Ja'far sangat mengenal baik gusnya itu. Bahwa dari air mukanya ia terlihat begitu cemas.
"Siapa yang melamun, wong saya lagi baca tulisan didepan itu lo" sambil menunjuk ke salah satu truk di depan mobil yang mereka kendarai yang bertuliskan "budayakan cuci tangan jangan cuci mata"
Ja'farpun yang melihat itu seketika langsung tertawa. "Jnengan itu kok ya ngeles terus, saya itu sudah lama mengenal jnengan lo gus, jadi saya sudah sangat hafal sifat, watak bahkan raut muka jnengan" celetuk Ja'far sembari menghibur gusnya itu. Dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Terserah kau sajalah" jawabnya dengan singkat dan dingin seperti biasa.
Mereka melaui sepanjang perjalanan sembari berbincang-bincang hingga sampai di rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, gus Muha bergegas menanyakan kepada perawat ruang dirawatnya adiknya, dan segera melewati koridor untuk mencari ruangan itu. Sesampainya di depan ruangan, ia menemukan kedua orang tuanya yang selalu terlihat begitu tenang dan berwibawa.
Dengan hanya melihat mereka, itu sudah menjadi pengobat kecemasannya. Mereka adalah pengobat setiap luka lara yang anak-anaknya rasakan di saat gundah gulana, mereka menjadi pelipur masalah yang anak-anaknya hadapi, betapa besar rasa kasih dan sayang yang dilimpahkan oleh kedua orang tua itu terhadap anak-anaknya, pun kepada beribu-ribu santrinya yang saat ini sedang diasuhnya.
Gus Muha merasa tenang setelah mendapat penjelasan dari kedua orang tuanya bahwa adiknya hanya mengalami luka luar di bagian kakinya dan akan segera dipulangkan.
Ia segera menemui adiknya kedalam ruangan dan ingin menanyakan apa yang sudah terjadi padanya hingga terjadi hal seperti ini.
"Fety, apa yang terjadi kepadamu?" tanpa berbasa-basi gus Muha menanyakan pertanyaan itu ketika melihat wajah adiknya yang tetap terlihat manis.
"Kakak ini, masuk nggak salam nggak nyapa, langsung aja aku diintrogasi" celetuk ning Fety tetap dengan wajah bawelnya.
"Kamu tahu, kamu itu sudah bikin kakak khawatir"
"Iya kak maaf, hehe"
"Memangnya kamu tadi kenapa kok bisa sampai naik ojok online gitu?"
"Anu kak, tadi mobilnya mogok dan aku gugup takut telat ke kampus, lalu pak Surip aku minta memesankan ojek online dan aku minta pak ojolnya ngebut, eh malah hampir nyerempet tukang sate, trus aku jatuh dan kaki ku tertindih sepeda. Tapi kak, untungnya bapak ojolnya baik dan aku di anterin ke sini"
"Sekarang bapaknya mana? "
"Sudah pulang kak, begitu abi sama umi kesini"
"Lain kali jangan begini, telfon kakak kalau ada apa-apa ya"
"Aku takut mengganggu kakak, kakak kan lagi mengajar" sambil meringis dia sangat senang diperhatikan seperti ini oleh kakaknya, perhatian seperti ini yang akan dia rindukan sepanjang masa. Terlebih ketika dia akan berniat kuliah ke luar negeri setelah lulus S1 nya.
"Yasudah kamu istirahatlah, kakak mau ke administrasi dulu"
Gus muha menuju tempat administrasi dan segera mengurus semuanya. Tak ada mata yang tak menatap untuk mengagumi ketampanan dan kharismatiknya. Ia adalah santri tulen dengan bersarung dan berpeci. Ia terlihat begitu gagah dengan kemeja tosca yang dikenakannya itu, kulitnya pun semakin terlihat putih bersih. Hidungnya yang mancung dan matanya yang tajam hitam kecoklatan membuat semua yang melihatnya terhipnotis padanya. Bentuk wajahnya memang sangat mirip dengan kakeknya yang juga merupakan keturunan orang Turki. Usianya yang menginjak 28 tahun menjadikannya terlihat seperti pria dewasa, dan semakin terlihat gagah perkasa.