"Mbak, aku pengen keluar rumah". Kata ning Fety ketika aku mengantarkan sarapan untuknya di kamarnya. Ning Fety memang begitu akrab denganku, ia tak sungkan membicarakan apapun keinginannya ataupun bercerita padaku.
"Nggih ning, saya bantu ke kursi roda ya kita ke taman belakang rumah yuk".
"Nggih mbak, terima kasih"
Aku kemudian mengajaknya ke taman belakang ndalem yang lumayan luas. Taman itu sangat Indah dan asri. Umi yang mendekorasi dan merawatnya sendiri setelah mengajak para santri untuk kerja bakti membuat taman itu.
Berbagai macam tanaman bunga dan pepohonan kecil berjejer rapi nan subur. Tak kurang pula disertai pondok-pondok kecil yang nyaman. Semua orang mengagumi keindahan taman itu dan ingin berlama-lama ketika berada di sana.
Siapapun boleh menempati taman belakang rumah asalkan mau menjaga kebersihan dan ikut merawatnya. Begitu kata umi waktu itu. Disana ada 2 pondok bambu kecil lesehan dan ada 2 pondok kecil beserta kursi dan meja dari kayu jati.
Aku membawa ning Fety lurus ke arah pterima kasih kecil lesehan tak jauh dari pintu belakang. Aku bantu ia turun dari kursi roda kemudian duduk di pondok bambu itu. Aku membawakan bantal dan leptop untuknya agar ia bisa lebih santai. Ia seorang penulis, namun bukan cerita pesantren yang biasa ia tulis, melainkan romansa anak muda mulai dari SMP, SMA hingga kuliah.
Katanya waktu kutanya mengapa tidak menulis cerita pesantren, jawabnya belum ada yang menarik dari lingkungannya. Mungkin karena memang ia hidup dilingkungan pesantren namun ia tak mengambil peran sebagai santri.
Ia memang mengikuti jejak uminya, yang mana sudah hafal Al-qur'an 30 juz sejak usia 12 tahun. Dan ketika lulus, ia lebih memilih sekolah SMP-SMA dari pada dipondok kan. Namun umi dan abah tetap mewajibkannya ikut mengaji diniyah di pondok. Ia pun patuh.
"Aku itu sebenarnya pingin sih mbak sekali-kali nulis cerita tentang pesantren, tapi belum nemu kisah nyata yang bagus yang menarik gitu. Emm atau mungkin embak pernah tahu kisah santri yang berbeda, unik, mengharukan atau yah berbeda gitu?". Tanya ning Fety dengan bersemangat ketika aku menyodorkan leptop untuknya.
"Belum pernah tahu sih ning. Mbak-mbak santri disini ya gitu-gitu aja ceritanya yang aku tahu". Jawabku.
"Emm.. Gitu ya mbak, yaudah deh lain kali aja, aku mau lanjutin nulis dulu. Embak kalau mau lanjutin pekerjaan gak papa kok, nanti jemput aku lagi ya mbak 2 jam lagi"
"Baik ning, mbak tinggal dulu ya!"
Baru saja aku mau beranjak turun dari pondok, aku mendapati sosok tubuh tegap tepat berada di depanku. Sontak aku mendongak melihat siapa gerangan sosok itu. Betapa terkejutnya aku mendapati gus Muha yang begitu dekat denganku. Seketika aku berdiri dan menunduk kemudian mengambil jarak dengannya, tak lain untuk menghormatinya.
Dengan tetap fokus membenahi kancing lengan baju nya ia berkata "aku mencari jas ku, apa kamu mencucinya?"
Aku masih kebingungan dan diam sejenak, siapa gerangan yang ia tanyai itu, aku menoleh ke ning Fety. Ia tetap fokus pada layar leptop nya. Aku menoleh ke kiri, tidak ada siapapun.
"Aku tanya kamu!" ia mengatakan hal itu namun tetap tanpa melihatku, dan betapa terkejutnya aku, belum pernah gus Muha berbicara padaku meski itu hal penting sekalipun. Tak dapat dipungkiri, peristiwa langka ini membuat jantungku ingin melompat.
"Anu gus, kemarin saya mencuci satu jas hitam namun saya tidak tahu itu punya jnengan atau punya abah. Jadi saya serahkan ke umik. Ngapunten gus!" aku menjawab dengan grogi dan agak gugup.
"Oh yasudah gak papa, o iya nanti sore akan ada temanku yang mau nginep disini. Aku minta tolong kamu sama mbak-mbak siapkan makan malam untuknya ya terima kasih"
"Nggih gus, sama-sama" belum selesai aku menjawab, ia sudah beranjak pergi ke dalam. Aku memandang punggungnya yang tegap hingga hilang dari pandanganku. Kemudian aku menyusul masuk ke ndalem dan melanjutkan pekerjaanku.