Chereads / IMAGINER: Si Cacat, Pesaing, dan Tetesan / Chapter 2 - 1. Sebuah Kabar

Chapter 2 - 1. Sebuah Kabar

Aku membuka mataku. Menoleh secara hati-hati keselilingku. Sejauh mata memandang yang kulihat hanya cahaya bergemerlap. Ada ratusan bahkan ribuan cahaya-cahaya disekelilingku. Tampak indah, namun aku tak mampu ke sana untuk mengantunginya satu. Saat aku menyadarinya, kurasa ini memang ruang angkasa. Aku berdiri di ruang hampa, tanpa pijakan apa-apa.

"Oh ya ampun, akhirnya kita bisa menemuinya." Suara pria yang begitu tegas dengan usia yang tak bisa kukira-kira baru saja bergema di ruangan tak berujung itu.

"Siapa?" Aku bersumpah, aku benar-benar mendengarnya.

"Kau benar, lumayan sulit untuk menemuinya. Manusia-manusia itu benar-benar membuatku geram. Sebenarnya apa yang mereka lalukan padanya?" Suara itu terdengar lagi , namun kali ini berbeda. Suara kali ini terdengar lebih berat dari yang sebelumnya. Aku bisa merasakan kepribadian yang temperamen dari suaranya.

"Aku yakin mereka hanya terlalu waspada. Ayolah, jangan diambil hati," kata yang satunya. Suara pria kali ini, terdengar lebih tenang dan bersahabat, entahlah. Kurasa kita bisa dekat nantinya, walau hanya tebakan asalku saja.

"Kalian siapa!?" Tanyaku pada mereka. Rasa penasaranku menjadi-jadi, suara-suara ini rasanya sangat familiar. Aku yakin ada alasan mengapa aku berada di sini. Namun, bahkan tak satupun dari mereka yang mau menjawab pertanyaanku barusan.

"Sudahlah, tak ada lagi yang perlu diributkan. Ini kesempatan baik yang sangat jarang. Waktu kita tak banyak, ingat?" Kata salah satu dari mereka lagi, aku yakin yang barusan itu suara seorang wanita. Suara penengah barusan seakan membuat suara-suara lainnya sadar atas kecerobohan mereka.

Aku masih tak tahu siapa mereka. Setelah memeriksa di setiap sudut jarak pandang yang mampu kulihat pun, tak ada siapapun di sini kecuali aku seorang. Aku sempat bergidik merinding, sekaligus kesal, namun disisi lain rasa penasaranku mengalahkan semua itu.

"Maafkan kami atas kelancangan ini, kedatangan kami memang mendadak," ujar wanita tadi. Aku yakin percakapan kali ini benar-benar tertuju padaku. "Namun, peristiwa seperti ini sangatlah sulit kami temukan, tidak seperti yang sebelum-sebelumnya." 

"Baiklah, kurasa langsung saja," timpa pria dengan suara tegas tadi. "Wahai engkau yang saat ini berdiri tepat di depan kami, ini adalah pesan untuk dirimu yang merupakan seorang utusan."

"Maaf atas ketidaksopanan ini , tapi izin kami mengatakannya. Kami yang saat ini ada di hadapanmu dengan ini menyatakan kesetiaan sehidup semati pada dirimu. Saat ini engkau adalah salah satu tuan kami. Sang utusan yang merupakan sahabat baru kami," lanjutnya. Aku bisa merasakan kewibawaannya.

"Aku yakin kedepannya kau akan mengalami kesulitan yang lebih, kesengsaraan yang tiada duanya. Tapi kami yakin kau mampu melewati semuanya. Ini bukan kehendak kami, nak. Kami percaya kau bisa melampaui mereka," kata pria bersuara tenang. Intonasi lembut dari suaranya seakan-akan mengatakan bahwa mereka begitu yakin terhadapku.

Aku masih bungkam mencerna perkataan mereka.

"Baiklah, nak. Ini adalah giliranmu. Kurasa kami hanya mampir untuk mengatakan, 'Selamat berjuang!' untuk saat ini. Lain kali kita akan berjumpa lagi dengan cara yang lebih layak." Kata pria bersuara berat itu menyeru.

Seketika setelah dirinya berkata seperti itu, aku bergerak mundur. Tubuhku terhisap bahkan rasanya seperti jatuh dalam ruang gelap tak berujung. Rasa sakit, sesak, bingung, bahkan penasaran benar-benar mencekikku. Aku berpikir keras atas apa yang mereka katakan, mencoba mencerna perkataan mereka satu-persatu. Apa yang dimaksud dari semua perkataan mereka?. Bahkan aku tahu mereka ini siapa.

Aku benar-benar tak mengerti. Semakin dipikirkan, semua yang kurasakan saat ini menjadi semakin mencekik dan hisapan dahsyat yang menjatuhkanku terasa semakin berat. Aku melesat dengan sangat cepat, gravitasi yang menarikku sangatlah besar. Kurasa tubuhku sudah tak sanggup lagi. Aku benar-benar jatuh ke arah yang sama sekali tak kuketahui.

"Aaaa." Teriakanku keluar begitu saja secara naluriah dari mulutku. aku mengerang dengan sangat kencang atas ketidakberdayaan yang sedang kuhadapi.

***

Tittt... Titt... Tittt

Suara alarm yang menunjukkan pukul 7 pagi berdering dengan sangat keras, membangunkanku dari mimpi yang melelahkan barusan. Napasku masih terengah-engah, aku masih terbaring dikasurku dengan keadaan kelelahan sekaligus bingung. Apa maksud semua itu? Entahlah, aku benar-benar masih tak mengerti. Bahkan setelah terbangun, mimpi itu menjadi lebih samar ketika kucoba untuk diingat kembali.

Aku menyeka keringatku yang tanpa sadar bercucuran—membuat sebagian bantal dan spreiku basah—dengan lenganku. Mungkin ini pertama kalinya aku bermimpi sampai seperti ini. Sebenarnya itu bukan mimpi yang menyeramkan, namun entah mengapa itu terasa begitu menegangkan dan ya, hal yang benar-benar kuingat saat ini ketika diriku jatuh, melesat dengan cepat. Walaupun itu hanya mimpi, kuharap keadaan dimana aku terjatuh seperti itu tidak ada datang lagi.

"Raf! Mau sampai kapan kau tertidur? Turun dan makan sarapanmu!" Teriak ibuku dari bawah, suaranya benar-benar jelas hingga mencapai kamarku. Oh ya ampun, kurasa mungkin sebenarnya aku tak membutuhkan alarm di kamarku kedepannya. Teriakan ibu benar-benar lebih efektif dari alarm kurasa, haha.

"Ya, bu! Aku sudah bangun." Balasku tak lama. Aku membereskan selimut yang kukenakan dengan rapi, juga memberikan jarak untuk bantal dan sprei yang basah agar kering nantinya. Seandainya aku seseorang dengan atribut air atau angin kurasa sprei dan bantal ini tak akan bau nantinya dan akan segera kering, pikirku tersenyum pahit. 

Aku menuruni tangga dengan cepat dan berhati-hati. Selang beberapa langkah, meja makan sudah berada tepat di depanku. Mereka semua sudah di sana, ayah, ibu, dan adik perempuanku.

"Cepatlah kemari nak, sebelum susu hangatmu dingin." Kata ayahku memanggil.

"Oh ayolah yah, aku sudah berumur sepuluh tahun, oke? Aku bukan anak kecil lagi," bantahku sambil berjalan ke arah meja makan kemudian duduk tepat di depan Erie.

"Baiklah, tuan yang baru saja dewasa. Cepat habiskan sarapanmu. Kau bahkan belum mandi dan bersiap untuk berangkat. Bel masukmu akan berbunyi pukul 8, ingat?" Kata ibu mengoceh.

"Kwakak cewrewtt." Sahut adikku dengan mulut penuh, ia masih melahap roti isi selai kacang di kursinya.

"Kosongkan dulu mulutmu nona kecil, ingat bagaimana etika makan? Jangan diulangi lagi Erie." Sahut ibuku, ia kini beranjak duduk di depan ayah untuk bergabung dengan kami, setelah menaruh air di dalam teko kaca di atas meja makan.

Erie hanya mengangguk di seberang sana, tak berani menjawab takut ibu akan mengocehinya lagi. Ayah menggaruk kepalanya yang tak gatal kemudian tersenyum canggung di ujung sana, seakan sudah terbiasa dengan sifat cerewet ibu yang seperti ini saat sarapan. Aku mengangkat bahuku, menggelengkan kepala sebab hal biasa seperti ini. Kurasa Erie juga akan seperti ini nantinya saat menjadi seorang ibu.

Aku mengunyah roti isi coklat kejuku dengan lahap dan meneguk susu hangatku dengan cepat. Ah, kurasa sarapan dengan menu ini memang yang terbaik. Kemudian aku meraih teko kaca berisi air lalu menuangkannya ke dalam gelasku.

"Em, Raf, kurasa kita punya kabar baik mengenai erie." Kata ibuku dengan ragu setelah ia mengosongkan mulutnya. Aku meliriknya dengan sorot penasaran selagi menaruh kembali teko kaca berisi air pada tempatnya lalu meneguk air pada gelasku itu sambil menunggu ibu melanjutkan apa yang ingin ia katakan.

"Yah, kau tahu? Erie baru saja terbangun dan kurasa dia mewarisi atribut yang sama sepertiku." Kata ibu, ia tersenyum canggung sambil mengangkat kedua alisnya. Seketika aku tersedak oleh air yang sedang kuteguk.

"Uhuk, b-benarkah? Diumurnya yang baru menginjak 8 tahun? Dia beratribut sama seperti ibu!? Uhuk-uhuk, I-itu hebat Erie, kau seorang jenius!" Kataku terkejut, sambil menepuk-nepuk pelan dadaku. Ayah terlihat khawatir di meja makannya dan memberikanku sapu tangan untuk menyeka mulutku.

Erie mengangguk bangga selagi ia meneguk susu hangatnya. Ia mengacungkan jempol kanannya di seberang sana. Melihat aku yang tersedak dan tingkah Erie yang lucu, ibu tertawa kecil sambil menutup mulutnya.

Yah, baiklah. Kurasa tak buruk mendengar kabar ini. Ayolah, maksudku ini kabar gembira untuk keluarga kita. Akhirnya kita memiliki seorang jenuis seperti ibu. Ibu adalah satu-satunya —setelah Erie terbangun pagi ini tidak lagi— user yang kita miliki di keluarga kita. Sementara ayah adalah seorang shifter menjanjikan dengan kekuatan fisiknya yang sangat mengerikan.

"Baiklah, kurasa nanti malam aku senggang," kata ayah sambil menyeka mulutnya, menandakan ia telah selesai dengan sarapannya. "Bukan ulang tahun Rafa yang ke-10 juga belum kita rayakan? Bagaimana kalau kita rayakan juga nanti malam? Kita adakan perayaan ganda untuk jagoan kita dan nona kecil di sana." Lanjut ayah mengusulkan, tatapan matanya berbinar seakan memberi isyarat tentang apa yang akan terjadi nanti malam.

Erie mengangguk setuju dengan girang, begitu juga kami. Kami semua menjerit riang. Dengan adanya perayaan nanti malam maka akan diadakan juga makan besar dan itu artinya? 

Barbeque!

Roman's POV:

Aku tahu ini akan berat untuk putra sulung kami. Namun, hal seperti ini kurasa bukanlah hal yang harus kami tutup-tutupi, bukan? Maksudku lambat laun dia akan mengetahuinya dan itu tidak akan mengubah apapun nantinya. Sejujurnya aku dan Aliya bahkan juga terkejut atas apa yang terjadi satu jam yang lalu.

Satu jam yang lalu.

Aku menaruh beberapa piring untuk kami sarapan di atas meja makan. Kemudian kembali ke arah dapur untuk mengambil selai dan roti, sementara Aliya menyiapkan susu untuk kami semua.

"Sayang, kau sudah mengenakan kemejamu. Taruh itu kembali, agar pakaianmu tetap bersih," ujarnya selagi ia terburu-buru mengaduk susu hangat yang dibuatnya, aku bisa melihat kerut khawatir di kening putihnya. Semenjak ia menjadi seorang ibu dia begitu perhatian dan cerewet pada kami semua, tak terkecuali aku.

"Tak apa, Al. Aku akan berhati-hati. Aku berjanji tak akan mengotori kemejaku," balasku padanya. Aku tetap mengambil roti dan selai lalu mengantarnya ke meja makan. Aku menaruhnya di sana dan menyusunnya dengan rapi. 

Namun, saat sedang menata dan memastikan bahwa meja makan sudah terlihatsempurna, aku bersumpah mendengar suara kaca pecah dari atas, tepatnya dari kamar sebelah kanan. Aku dan Aliya bertukar pandang, dari tatapannya aku yakin Aliya juga mendengarnya. Kami saling mematung, menantikan kelanjutan dari suara itu.

Tak lama setelahnya, suara retakan pintu terdengar dari kamar Erie, kemudian dari sana keluar tanaman menjalar —dan beberapa dari mereka berduri—seperti milik Aliya secara perlahan. Sontak aku dan Aliya berlari secepat mungkin ke atas untuk memastikan apa yang  sedang terjadi.

Aku mendorong pintu kamar yang menjadi lebih serat karena tanaman menjalar yang keluar dari sisi pintu. Setelah menggunakan beberapa kali dorongan kuat pintu itu akhirnya terbuka. Kemudain, saat pintu itu terbuka, di dalam kamar bercat merah muda itu, Erie masih terlelap dengan tanaman menjalar yang sudah merambat ke seluruh penjuru ruangan kamarnya.

Tanaman menjalar itu mengangkat boneka beruang milik Erie yang selama ini menemaninya tidur. Tanaman menjalar itu memecahkan kaca rias bahkan jendela kamarnya juga. Beberapa dari mereka juga berduri, mereka keluar dari pintu kamar Erie dan menjalar perlahan-lahan ke tempat lain. Tak ada luka yang diderita Erie, seakan-akan tanaman itu hanya mengamuk namun tetap melindungi tuannya.

Mata kami terbelalak melihat kejadian ini. Erie masih berusia 8 tahun. Namun kemampuannya sudah terbangun. Normalnya seseorang akan terbangun diusia sembilan hingga sepuluh tahun, untuk seseorang yang terbangun diusia bawahnya kami menganggap kasus ini hanya dialami oleh para jenius. Aku memperhatikan Aliya yang menutupi mulutnya dengan telapak tangannya sebab terkejut sekaligus senang melihat tuan putri kita mewarisi kekuatannya diusia 8 tahun yang terbilang lumayan dini itu.

"Ehem, Al," aku berdeham kaku, menyadarkan Aliya dari rasa terkejutnya sebab situasi ini. "Aku tahu kau terkejut sekaligus senang. Tapi kurasa kita harus membangunkan Erie sebelum tanaman menjalar itu menghancurkan rumah kita, sayang." Kataku tersenyum masam.

Aliya terkekeh, kemudian ia beranjak ke dalam untuk membangunkan Erie dan memberi arahan padanya perlahan-lahan agar tanaman menjalar itu menghilang. Aku membawakannya segelas air lalu memeluknya erat dan mengusap kepalanya pelan untuk menenangkan Erie yang masih terlihat panik dan juga terkejut.

Benar, kukira siapapun akan terkejut dengan kejadian langka ini, begitu juga Rafa. Dia juga terkejut saat mendengar apa yang akan diderita selamanya oleh dirinya itu.

Dua bulan yang lalu, tepatnya setelah Umur Rafa memasuki 10 tahun lebih beberapa hari. Kami memeriksa keadaan tubuhnya. Itu adalah hal normal yang dilakukan untuk melakukan pemeriksaan secara rutin ketika seorang anak memasuki umur 10 tahun. Namun bahkan pada pemeriksaan pertama, sayangnya putra sulung kami difonis bahwa dia bukanlah seseorang yang akan mengalami awaken dalam rupa apapun nantinya di masa mendatang. Entah beratribut ataupun non-atribut, Rafa tidak akan memilikinya.

Pada masa ini, setelah pemerintah menciptakan alat yang mampu mengeluarkan kemampuan masing-masing individu. Setengah dari populasi bahkan juga diberkahi kemampuan yang beratribut. Para pengguna atribut-atribut itu kami menyebutnya dengan user. Lalu, adapula yang tidak memiliki atribut namun diberkahi tubuh yang kuat dan memiliki kecocokan oleh atribut tertentu dan bahkan bisa meminjam kemampuan, kami menyebutnya shifter. Kebanyakan user adalah para petarung. Mereka memiliki kekuatan yang hebat apabila mampu mengendalikan ability nya. Sementara para shifter ada yang memilih menjadi petarung dan ada juga yang tidak.

Namun, sedangkan apa yang terjadi pada putra sulung kami, Rafa. Dia bukanlah seorang user ataupun shifter yang mempunyai kecocokan atribut atau mampu melakukan pinjaman ability dalam kondisi tertentu. Tidak ada ability, tidak ada kecocokan atribut, dan juga tidak bisa melakukan pinjaman. Benar, dengan kata lain putra sulung kami, Rafa, hanyalah anak normal biasa tanpa ability apapun.

Aku benar-benar ingat hari itu, dimana Erie menangis sejadi-jadinya setelah mengetahui kakak laki-laki tersayangnya akan mengalami hal pait semasa hidupnya. Namun satu hal yang membuatku tertegun bingung pada putra sulung kami. Ia bahkan tak meneteskan satu air mata saat mendengar kabar itu.

"Oh ayolah, nona kecil. Ini hanyalah masalah sepele. Ini hanya sebuah ability, aku akan melakukan sesuatu di masa depan nanti. Percayalah pada kakakmu ini." Rafa berkata, ia tersenyum lembut saat memeluk Erie yang enggan lepas dari dirinya. Ia mengelus kepala nona kecil itu dengan sangat lembut dan hati-hati.

"Kau akan tetap tumbuh menjadi kuat, kan kak nanti? Siapa yang akan melindungi ibu dan aku nantinya kalau bukan ayah dan kakak." Nona kecil itu merengek, ia mengusap sebagian air matanya dengan lengan kemudian kembali memeluk Rafa dengan erat.

"Oh ayolah, kau kira siapa aku." Sahut Rafa geli, ia terkekeh puas. Kami semua tertawa geli karena perkataan Erie yang begitu lugu. Dia masih terisak di sana, dalam pelukan kakak laki-laki kesayangannya.

Pada waktu senggang, saat Erie sudah terhenti pada tangisnya. Aliya membutuhkan waktu kurang lebih satu jam untuk menghiburnya di sebelah sana. Aku dan Rafa berjalan di belakang mengikuti mereka berdua secara perlahan. Ya, hanya kita berdua. Kami tak membicarakan apapun sejak Erie berhenti menangis tadi, saling membisu dan berjalan.

Pandangan putra sulung kami lurus dan begitu tegar. Aku tahu dia memikirkan banyak hal. Aku tahu dia memikul kesedihan. Aku tahu dia memiliki begitu banyak mimpi pastinya, namun saat mimpi itu dicabut darinya, satu tetes air mata bahkan tak terjatuh dari kelopak mata kecilnya itu.

"Kau baik-baik saja, nak?" Tanyaku, memecah keheningan diantara kita. Aku menyikutnya agak keras agar dia terbangun dari lamunannya.

"Tak pernah sebaik ini, kurasa?" katanya sambil mengangkat bahu. Ia menggelengkan kepalanya lemas, seakan dia tidak dalam mood yang bagus untuk bercanda sebab berita barusan.

Aku terkekeh pelan melihat reaksinya. Kemudian aku berdehem agar nada bicaraku selanjutnya terdengar agak serius. "Hei, ada yang ingin kutanyakan padamu," ujarku. "Apa yang akan kau lakukan jika kau menjadi kuat?"

Raut wajahnya tampak gusar dan pasrah, saat pertanyaan barusan kulontarkan padanya. Ia menghela napas lelah, mengumpulkan kekuatan untuk menjawab.

"Sudahlah, ini tidak akan mungkin, y-"

"Kalau kubilang bahwa, semua ini belum berakhir, bagaimana?" ucapku memotong ucapannya yang berusaha terdengar tak peduli, ada sebuah ketegasan saat aku mengatakannya.

"Apa maksudmu?" tanyanya tak mengerti.

"Aku hanya butuh jawabanmu, nak!" Kataku singkat dengan nada serius dan lebih tegas. Kita terhenti di lorong panjang, tertinggal oleh Aliya dan Erie di depan sana.

Ia mengeraskan rahangnya, sejenak keputusasaan yang tadi kulihat begitu membuatnya mati kutu sebelumnya sekarang agak terkubur. Kali ini ia benar-benar berusaha menatapku dengan sorot mata tegar seakan menyembunyikan serangakaian keputus-asaan yang membuatnya begitu buntu.

"Aku akan melindungi kalian dan orang yang pantas kutolong, kurasa." Tukasnya asal.

"Kau yakin? Apakah 'kalian' itu termasuk aku?" tanyaku memastikan. Ia menggangguk dengan penuh arti.

Aku tertawa kecil atas jawabannya, "baiklah. Maka lakukanlah yang terbaik untuk sekarang, nak. Jangan cepat menyerah atas keadaan yang sedang kau hadapi."

Kemudian aku melangkahkan lagi kakik, menyusul mereka dan diikuti oleh dirinya dari belakang. Ada begitu banyak pertanyaan yang tergambar dari rawut wajahnya. Namun bagiku, untuk sekarang ini ia belum pantas untuk memperoleh apapun.

Maafkan aku, nak. Aku harap kau siap menghadapi kemungkinan yang terjadi nantinya.