Rafa's POV:
Tidakkah aku begitu riang selagi di rumah? Tersenyum dengan ringan seakan semuanya baik-baik aja. Tidak ada yang tahu kekecewaan yang kurasakan pada kondisi yang kualami.
Bukan! Jelas sekali di sini aku yang salah. Ketidakberdayaan dan penderitaan yang ada padaku ini, sebab siapa lagi jika bukan karenaku? Bahkan berharap saja sampai-sampai aku tak berani, betapa menyedihkanya diriku. Aku tahu, kekuatan, popularitas, dan kekuasaan bukanlah segalanya. Tapi kehidupan saat ini seakan-akan mengharuskan kita memiliki salah satunya.
Saat ini, bumi tahun 2092. Pemerintah dan para ilmuan seluruh dunia di masa lalu meneliti sebuah teknologi secara serentak. Namun, dari sekian banyak wilayah hanya negara inilah yang menjumpai kesuksesan. Negara lainnya terkagum. Kemudian, untuk pertama kalinya nama dari negara yang kutinggali ini terkenal atas kecerdasan dan teknologinya.
Teknologi yang menjadi perbincangan publik itu kabarnya mampu mengeluarkan bakat asli seseorang berdasarkan gen. Tidak hanya itu, bahkan atribut tersembunyi—sesuai keturunan—yang tidak pernah terprediksi muncul begitu saja di dalam tubuh mayoritas penduduk. Seperti sihir tapi bukan sihir. Kami semua menyebutnya ability.
Evolusi sekala besar kemudian terjadi di negara ini. Cara pandang dan pemikiran penduduk berubah. Ability diteliti lebih lanjut kemudian diadakan pembelajaran secara menyeluruh untuk mengendalikannya. Setahun setelah kejadian itu, ekonomi negara meningkat. Problematika yang sempat terjadi di waktu lalu menghilang satu-persatu.
Melihat perkembangan ini, seluruh dunia sekali lagi gempar. Beberapa negara maju seperti Amerika dan Jepang tak mau kalah. Mereka membeli bakal teknologi ini dari kami untuk dibawa pulang ke negara mereka. Namun sayang, hasil penerapan di negara mereka tak sebaik di sini.
Negara yang dulu terkenal akan hutangnya kini menjadi tumpuan dunia layaknya Amerika dan Jepang pada masanya. Barang import bukan yang terbaik saat ini, tidak ada orang kaya yang memamerkan barang dari negara asing. Melainkan orang asing lah yang saat ini memamerkan barang dari negara kami.
Tidakkah terdengar luar biasa? ya, memang. Bukankah seharusnya segalanya jadi membaik dengan adanya perkembangan ini? jawabannya, tidak seratus persen iya.
Segalanya berkembang, begitu juga dengan angka kejahatan. Harusnya, tingkat kriminal juga berkurang, bukan begitu? Tapi kenyataanya dua bejana dengan bentuk yang berbeda, ketika ia diisi dengan air akan memiliki jumlah air yang berbeda juga nantinya. Itulah yang sebenarnya terjadi, perbedaan kekuatan mulai diketahui. Perselisihan mulai terlihat seiring berjalannya waktu. Bahkan dibeberapa distrik sempat terjadi pembully-an, penculikan, pembunuhan, perampokan, juga pertengkaran antar kelompok.
Mereka hanya meningkatkan kualitas penduduk, sementara moral dasar yang mereka miliki sama sekali tidak. Maksudku, kamu tidak akan bisa mengubah sifat dasar seseorang hanya dengan memberi mereka sesuatu seperti itu. Bukankah justru kita malah memfasilitasinya?
Itulah mengapa, akhirnya pemerintah juga memutuskan untuk meningkatkan keamanan negara. CCTV bertebaran dimana-mana, traffict robot berkeliaran memantau kondisi lalu lintas, sehingga dengan adanya ini pihak berwajib lebih terbantu untuk menjaga keamanan. Tapi seperti yang kalian tahu, selalu ada saja celah yang bisa para pelaku manfaatkan.
Dan disinilah aku, sebab kekurangan yang kumiliki inilah nasib yang aku alami. Kukira berjalan sendirian menyelusuri tratoar seperti ini di pagi hari ketika menuju sekolah adalah hal yang terbaik untuk kunikmati, tapi kurasa sekarang tidak lagi. Bahkan sampai-sampai sebuah gang yang sebelumnya—tepatnya dua bulan yang lalu— terlihat biasa saja, kini menjadi lebih meresahkan untuk di lewati.
Gang itu adalah sarang yang digunakan BEARD untuk menindas korban mereka. Kebanyakan target dari mereka adalah anak yang belum mengalami awaken, walaupun sudah tetap saja ada kemungkinan menjadi bila kekuatan ability-nya dirasa lemah. Sebab BEARD, kelompok kecil-kecilan—yang terkenal di sekolah kami—yang beranggotakan Billy dan kawanannya adalah anak-anak yang diberkahi kekuatan awaken yang besar. Seperti halnya Billy yang merupakan ketua dari kelompok BEARD, anak bertubuh gemuk itu memilki atribut tanah, dan mampu melakukan penguatan pada beberapa bagian tubuhnya. Sementara Reinard, anak bertubuh jangkung yang selalu bersama Billy itu, ia memilki ability atribut angin yang kekuatannya juga besar, sehingga dengan membayangkan berhadapan dengan duo dari BEARD saja benar-benar sangat menyusahkan.
Sialnya lagi, Billy memiliki kelas yang sama denganku. Dia benar-benar tahu, siapa saja anak diangkatannya yang cocok menjadi targetnya. Kebiasaan di zaman ini adalah setelah melakukan pemeriksaan secara rutin di rumah sakit atau unit kesehatan tertentu, kita bisa tahu awaken macam apa yang akan kita dapatkan. Lalu hal ini akan menjadi topik pembicaraan yang paling sering dibahas nantinya oleh anak-anak manapun. Disanalah kesempatan Billy mengumpulkan informasi dan informasi yang dia tahu tentangku saat ini adalah bahwa aku mengalami keterlambatan awaken, bahkan tidak diketahui apa atributnya.
"Wah, bos lihat ini," kata salah seorang anggota BEARD. Ia menarik kerah bajuku, selagi aku mengendap-endap melewati gang itu.
"Si cacat mau main-main dengan kami ya?" ejek Reinard kemudian, ia berjalan ke arahku sambil membunyikan jari-jarinya sementara Billy masih sibuk dengan korban lainnya di ujung sana. "Sepertinya ada yang lupa dengan hadiah dari kami, nih."
Aku yang sempat terjatuh kini memegangi leherku sebab tarikan di kerah tadi sempat mencekik. setelah akhirnya aku berdiri, aku tetap bungkam tak menjawab apa yang dikatakan Si jangkung.
Ia menyeringai ganas, "kau tadi mau kabur kan?" tanyanya memastikan selagi melesatkan tinjunya.
Aku menghindari pukulan ke arah wajahku itu dengan tenang yang membuat dia agak terkejut. selain itu, aku tetap diam tidak membuka mulutku sama sekali. Sebab aku tahu, apapun jawaban yang kuberikan padanya, itu tidak akan membuatnya berhenti melakukan aksi barusan.
"Loh, kok menghindar!?" pekiknya sedang, wajahnya terlihat tak senang. Seketika semua anggota BEARD menoleh ke arahku, tak terkecuali Billy.
Tidak seperti korban BEARD lainnya, aku sama sekali tidak merasakan takut. Bukan juga tak berani melawan, sudah kucoba untuk melawan balik mereka, tapi tetap saja gagal. Perbedaan diantara kita terlalu jauh. Aku tidak mengerti bagaimana caranya keluar dari perlakuan ini.
"Dasar bodoh! Bagaimana sih, kau lupa ya kejadian dua bulan lalu? Keluarkan sedikit ability-mu untuk melawan orang ini, kalau kau tidak ingin kejadian dulu terulang lagi." Ucap Billy kesal.
Ia berjalan ke arahku dengan teknik penguatan yang sudah ia siapkan. Rambut klimisnya itu mengkilap saat sinar diterjangnya. Mata sipitnya semakin tak terlihat sebab daging di pipinya menguap. Gelembung di mulut kirinya itu berpindah sebab permen lolipop di mulutnya baru saja ia geser ke kanan. Ia menggulung lengan kaos putih yang ia kenakan dengan agak memaksa, sebab bila dilihat itu agak kekecilan di tubuh besarnya.
Sontak anak-anak lain yang menghalangi jalannya minggir untuk membukakan jalan. Ketika ia sampai tepat di depanku, ia melancarkan pukulan yang sudah ia perkuat ke arah perutku dengan cepat.
"ugh!" aku mengerang. Tanganku tanpa sadar memegangi bagian yang baru saja dipukul olehnya.
Kemudian pukulan kuat ke arah sisi kiri dan kanan wajahku menyusul, sehingga membuatku tersungkur. Kulihat anak-anak itu mengangguk ketika melihat Billy tersenyum ke arah mereka selagi menjawil hidung besarnya sebab sukses menjatuhkanku.
Reinard terkekeh, "tentu saja aku tahu! aku hanya menyisakan bagian terbaiknya untukmu saja, kau tahu." belanya kemudian.
Billy mendengkus, kemudian wajahnya terlihat tak peduli atas apa yang dikatakan Si jangkung barusan.
"Sudah, jangan buang waktu kalian dengan orang ini, lanjut saja urus yang lain!" Perintahnya pada yang lain. Lalu kecuali Reinard, anggota BEARD lainnya kembali sibuk dengan korban lainnya.
"Kau, kirim tugas kami sekarang! Kemudian pergilah dari sini. Cepat lakukan, mumpung aku sudah puas denganmu," ucap Billy padaku.
Setelah mengirimkan tugas mereka yang sudah kukerjakan, aku beranjak pergi dari sana. Berjalan dengan agak tertatih secepat yang aku bisa ke arah Unit kesehatan yang sekolah kami miliki—sebelum orang lain melihatku.
Ya memang, diumurku yang sekarang, yaitu sepuluh tahun lebih dua bulan ini merupakan hal yang aneh jika belum mengalami awaken, itulah kenapa para BEARD memanggilku cacat. Namun tetap saja, kulihat para BEARD masih menahan diri terhadapku. Mungkin sebab mereka masih beranggapan, diriku terlalu abstrak saat mereka perhitungkan.
Saat ini aku masih menutupi fakta bahwasanya aku memang tidak akan mengalami awaken pada semua orang. Apa jadinya jika mereka tahu? Tidak ada yang tahu tentang fakta ini, entah BEARD maupun orang itu. Aku yakin BEARD juga akan semakin liar terhadapku bila mereka tahu hal ini.
Setelah sampai di Unit Kesehatan, pintu otomatis di sana terbuka saat aku mendekat. Ruangan itu masih tampak gelap. Tirai-tirai yang masih tertutup menandakan memang belum ada seorangpun yang datang kemari sejak tadi.
Mungkin mereka semua masih belum datang. Pikirku.
Bola mataku berkeliaran, tetap mencari seseorang disini. Barangkali masih ada yang salah dengan apa yang kulihat sebab pukulan yang kuterima tadi. Namun benar, memang tidak ada siapapun disini. Padahal kukira aku bisa mendapat perawatan soal memar di wajahku.
"Buka tirainya," kataku kemudian. Seketika AVN (Automated Voice Notification) di sana merespon apa yang kukatakan.
Perintah buka tirai, diterima.
Setelah suara balasan itu terdengar, tirai di ruangan ini terbuka secara otomatis. Bergerak perlahan diikuti sibakkan cahaya pagi. Aku menghela napas, menarik sedikit otot-ototku lalu menepuk kedua pipiku agak pelan—menyemangati diriku sendiri. Setelahnya menggerakkan kakiku ke arah kotak obat, mencari sesuatu yang barangkali bisa membantu.
Sebenarnya aku sendiri bingung dengan apa yang kucari, sehingga yang kulakukan hanya mengecek obat-obatan itu satu-persatu dan membaca khasiatnya. Sampai-sampai aku tak sadar kalau ada seorang gadis yang baru saja masuk kemari.
"Yang membuka tirai itu, kau?" tanyanya padaku. Aku tersentak, sempat mundur selangkah.
Napas gadis itu terengah-engah. Rambut bobnya yang jatuh tepat di bahu terlihat agak berantakan. Sementara pada mata kecilnya tergambarkan sorot panik. Pada hidung greeknya itu terlihat butiran keringat berkerumun. Setelah melihat kulit kuning langsatnya juga agak berkilau, aku yakin ia baru saja berlari.
Aku mengangguk seraya membalas. Memasang wajah bertanya-tanya sebab masih tak mengerti kenapa ia terlihat buru-buru.
Gadis berwajah bulat itu menghela napas lega. Selagi menggeleng, ia mengatur napasnya perlahan-lahan. Ia memperhatikanku sejenak yang kembali sibuk dengan obat-obatan.
"Apa yang kau butuhkan di sini?" tanya anak itu dengan napas yang masih seadanya.
Belum sempat kujawab, seakan tahu apa yang kucari, raut wajah penasarannya berubah saat melihat memar di wajahku.
"Tidak ada obat yang dapat menghilangkan memarmu di kotak obat itu, kau tahu?" ujarnya kemudian. Ia meletakkan tas kecil yang sejak tadi bergelantung di pundaknya, lalu mencari sesuatu di dalam sana.
"Aku tahu," lirihku. Aku menunduk lemas. "Aku hanya ingin sedikit mengurangi kontrasnya, kalau bisa."
"Ini masih pagi, dari mana semua itu berasal?" tanyanya merujuk pada memarku. Ia masih sibuk mengorek isi tasnya. Enggan menanti jawabanku, ia lanjut menebak dengan nada penasaran. "Perkelahian?"
Aku masih berkutat di tempatku, berpura-pura tak mendengar tebakan barusan. Tiba-tiba ia mengulurkan tangannya, memberikan sebuah pot kaca berukuran kecil dari dalam tasnya. Sebab tak ada respon dariku, ia menggoyang-goyangkan lengannya. Matanya melotot sebal mengisyaratkan untuk cepat mengambil pot itu sebelum ia berubah pikiran.
Aku yang baru saja meraihnya tetap bingung walaupun kini sudah membuka tutup dan melihat —bahkan sempat mencium— isi dari pot itu.
"Itu krim," jelasnya. "Kalau ingin meredakan memarnya pakai es batu. Ini hanya untuk menyamarkan warnanya saja."
Mendengar apa yang ia katakan, senyumku tanpa sadar mendadak mekar. Memang ini yang paling aku butuhkan untuk sekarang juga kedepannya—mungkin.
"Terima kasih," ujarku singkat.
Ia memutar bola matanya, "itu untuk tirai." katanya agak ketus.
Entah atas dasar apa, hanya karena sebuah tirai ia memberikanku pot krim ini. Walaupun cara bicaranya barusan agak judes, kurasa tak masalah untuk mengenal dirinya. Hitung-hitung, bila krim ini habis nantinya, aku bisa memintanya lagi pada orang ini.
"Namamu?"
"Naura," jawabnya singkat. Ia membalikkan tubuhnya lalu beranjak ke arah tasnya yang di dudukan. Setelah menggendongnya ia menoleh, "Naura Kaylila."
***
Kabarnya sekolah kami akan mengadakan bakti sosial. Itulah yang kudengar barusan ini. Penggalangan dana dibawah pengawasan guru akan dilakukan di kelas ini mulai esok hari. Itulah mengapa ketua kelas, wakil, serta bendaharanya berdiri di podium kelas kami sekarang.
"Aku mohon kerjasama dari kalian ...," pinta anak laki-laki di depan kami.
Rambut lurus anak itu, yang terlihat agak berminyak di sisir rapi. Mata beningnya bercahaya, namun sorotnya tampak ramah. Ia mengembangkan senyum tipis di wajah simetrisnya saat mengatakan hal itu barusan.
Kata demi kata ia lontarkan, seisi kelas bungkam tak mengeluarkan suara. Seakan ia membius mereka semua —terutama gadis-gadis kecil itu— dengan gaya bicaranya. Bahkan Billy sepertinya juga begitu, ia terlihat jinak di belakang sana. Tak heran dia terpilih sebagai ketua kelas. Parasnya yang kukira agak lumayan memang cukup mendukung. Tapi, apa yang kalian harapkan dari anak yang baru menginjak sepuluh tahun? Aku yakin para gadis kecil itu hanya mengalami cinta monyet saat ini.
Salah satu anak perempuan yang sejak tadi berdiri di sampingnya, kini angkat bicara. Ia berkata dengan lantang bahwa esok ia membutuhkan sukarelawan. Tapi, menurut diskusi mereka dengan wali kelas kami, piket hari esok lah yang akan mendapat sialnya.
"Mm, jadi begitu. Aku minta maaf sebelumnya, bagi yang bersangkutan boleh mengangkat tangan?" pintanya agak canggung, aku yakin ia pribadi pun merasa tak enak.
Setelah aku mengangkat tangan, gadis yang rambutnya terurai itu sumringah, namun anak perempuan satunya—si bendahara—justru terlihat cemas. Disusul teman piketku, yang merupakan juga teman semasa kecil, Dein, mengangkat tangannya. Ia memutar bolanya saat ekor mataku mengintipnya. Mungkin pikirnya, 'kenapa harus orang ini'. Tapi dengar, kau tahu? Kalau bisa aku juga enggan berpasangan dengannya.
"Rafa, Dein, setelah ini tolong koordinasi dengan kami, ya." pinta Arga ramah, selaku ketua kelas.
Melihat ia dan yang lainnya tak curiga dengan bekas memarku, membuatku yakin pot krim yang diberikan Naura benar-benar berguna.
Kami mengangguk kecil. Setelah menurunkan tangan, aku menolehkan kepala ke arah Dein. Tempat duduk kami memang berseberangan jauh, aku berada pada baris kedua yang nyaris dekat jendela luar, sementara miliknya di sebelah kananku berpepetan dengan tembok. Namun tetap saja aku masih bisa merasakan tatapan mengganggunya sesaat lalu.
Saat menoleh ke arah Dein, aku bersumpah ekor mataku menangkap Billy melontarkan senyum liciknya. Ia menatapku tajam penuh arti. Kendati demikian, ia tetap terlihat tenang di kursinya. Walau sejujurnya, firasatku menuntut waspada.
***
Hari pengumpulan dana telah datang, kemarin saat aku dan Dein melakukan koordinasi dengan Arga dan lainnya, mereka meminta tolong kami untuk membantu Ruri—bendahara mereka.
Gadis kecil berkacamata itu pemalu, rambut kepang duanya sangat mendukung wajah paranoidnya. Ditambah tubuh mungilnya yang terlihat sebagai santapan empuk. Itulah mengapa Arga dan wali kelas kami agak khawatir dengannya. Tapi hei, orang macam apa yang tega meminta gadis malang itu untuk menjadi bendahara. Kau tahu, harusnya bendahara adalah penagih hutang yang handal, ia adalah versi lite debt colector yang menyeramkan.
Oleh karena itu, di sinilah peranku dan teman kecilku itu. Ruri dan Dein akan mengurus penagihan serta perekapan data, sementara aku adalah penjaga uangnya. Tapi apakah mereka bercanda? Aku kan juga salah satu dari mereka—kau tahu aku juga target BEARD.
"Hei, ayo kita bertukar,"
"Apa?" tanya Dein galak.
"Tugas kita maksudku," ucapku agak ragu. "Kau tahu, bagaimana kondisiku."
Aku yakin dia juga tahu, berita itu pasti telah hinggap di telinganya. Kabar bahwa aku mengalami telat awaken, dan sekarang menjadi target BEARD.
"Kau takut dengan mereka?" ujarnya menantang, "heh, sialan. Kenapa kau jadi begini?"
Oh ya ampun, aku pernah mencobanya tapi tetap tak berhasil. Bukan berarti aku takut atau apa. Tapi ini tanggung jawab—kemungkinan terburuknya—kalau uang itu hilang, aku harus bagaimana?
"Ayolah, sekali ini saja." pintaku padanya.
"Ku-pikir, itu ide bagus Dein," ucap Ruri lirih, ia agak ragu saat berkata barusan.
Dein berdecak kesal, sementara Ruri bergidik ngeri saat mendengar decakkannya. Dari tatapannya jelas bisa kulihat, sebenarnya tugas ini pun enggan ia lakukan, ditambah permintaanku barusan, aku yakin itu menyulut emosinya.
"Urus saja dirimu sendiri," pungkasnya kesal. Ia berjalan agak cepat agar kami tidak sejajar lagi, diikuti dengan Ruri, aku mendengkus pasrah.
Dein, teman masa kecilku itu. Sejak dulu ia memang begitu, maksudku sifat tempramennya. Memang agak sulit berkomunikasi secara normal dengannya, perlu mental dan kesabaran ekstra. Ia dikenal sebagai anak yang bermasalah saat ini.
Kau tahu, sebenarnya bukan dia yang memulainya, ia hanya tak mampu menjaga emosinya dengan baik. Saat itu tiga orang anggota BEARD mencoba memalaknya ketika mereka tanpa sengaja bertemu di Toilet sekolah. Kurasa itu kesalahan terbesar mereka bertiga karena memilih untuk berurusan dengannya.
Kejadian itu sekitar dua bulan yang lalu, ketika kebanyakan anggota BEARD telah mengalami awaken. Sebab percaya diri dengan ability yang mereka punya, mereka memalak anak lainnya ketika mereka memasuki toilet, dan itulah yang terjadi. Sialnya ada Dein di sana, kebetulan ia baru mengalami awaken dua hari lalu. Kabarnya, ketiga orang itu babak belur, Dein menghabisi mereka dengan ability-nya yang beratribut api .
Menurut saksi mata, Dein terlihat brutal saat menghajar mereka, ditambah dengan rambut merah maroon lacipnya yang mencuat, dari sana orang-orang menyebutnya—termasuk para BEARD—si Setan Merah.
Kudengar Billy menahan Reinard untuk membalasnya. Kukira bukan sebab takut, ia yang sekelas dengan kami jelas saja tahu kalau Dein memang harus diperhitungkan. Dari sanalah kebanyakan siswa angkatan kami menjadi ngeri sekaligus segan dengan Dein. Karena meski sikapnya begitu, ia tidak menjadi pemalak seperti BEARD.
Seperti yang diharapkan dari Dein, pengumpulan dana di kelas kami di selesaikan dengan cepat. Ya, bahkan tidak sampai bel istirahat berbunyi. Semua anak di kelas kami sudah membayarnya dengan sangat lancar. Bahkan dari apa yang Ruri katakan, Billy sangat jinak saat memberikannya. Tidakkah ini agak aneh?
Setelahnya, Ruri merekap semua dana itu dengan cepat dan akurat. Kami bahkan tak perlu membantunya. Disinilah aku tahu, alasan mengapa ia menjadi bendahara. Data-data pengeluaran dan pemasukan yang ia buat benar-benar terperinci dan mudah dimengerti.
"Walau kelihatan begini, Ruri hebat kan?" ucap Arga bangga, ia berkacak pinggang.
Wakilnya, Lira mengangguk setuju. Gadis kecil yang rambutnya terurai itu tersenyum bangga. Bando yang ada di kelapanya tak jatuh meski kepalanya baru tergoyang.
"Aku dan kakakku memang berpikir bahwa Ruri cocok dengan tugas ini, well kami adalah teman masa kecil," lanjutnya. Sudah kuduga memang ia dalangnya. Tapi tunggu kakak dari anak laki-laki jahat ini juga berpikir begitu?
"Kakak?" sahut Lira, ia tampak tak percaya. "Kau punya kakak?"
"Loh, kukira kau sudah tahu."
Yah, tak heran. Jika Lira yang sering bersamanya saja tidak tahu, bagaimana dengan anak-anak seisi kelas termasuk diriku?
"Kakak Ar-rga itu Pak Farhan," jelas Ruri agak takut.
Tunggu, Pak Farhan? Bukankah nama itu terdengar tak asing? Entah hanya dugaanku saja atau memang sama.
"Orang yang kau maksud Pak Farhan itu, wali kelas kita?" tebakku asal. Kemudian Ruri, si gadis paranoid mengangguk kecil.
"Loh, kok aku tak tahu?" Sahut Lira tak terima.
Arga tampak bingung dengan senyumnya yang dipaksakan. Yah, kalau dipikir lagi untuk apa memberi tahu sesuatu yang seperti itu bila tidak ditanyakan.
"Oh pantas saja," sahut Dein ketus, walau sejak tadi hanya diam.
"Mirip ya?" duga Arga riang.
Dein mengangguk seadanya, ia memalingkan wajahnya lalu melipat kedua tangannya di dada, "sama-sama suka merepotkan orang."
Aku dan Lira memegangi mulut, menahan tawa sejadi-jadinya, setelah mendengar apa yang dikatakan Dein. Sementara Arga, tawa keringnya mendadak keluar dari bibirnya yang tersenyum masam.
"Oh," tukas Arga singkat, agak kesal.