Chapter 43 - Luluh

~selamat membaca~

"Gue boleh ikut duduk di sini nggak?"

Aden dan teman-temannya menoleh ke arah dara cantik yang baru saja meminta ijin untuk duduk bersama mereka.

"B-boleh," ucap Aden yang langsung disambut dengan senyuman manis sama Nina.

Setelah Pandu, Lukman dan Aldo pergi keluar kantin, tidak lama setelah itu Nina memang datang menghampiri Aden.

"Makasih," ucap Nina seraya mendudukan dirinya di kursi, didekat Aden, dan juga Tristant.

Nina tersenyum simpul, sambil menatap Jonathan, Roby, Alex, Tristan, dan berhenti ke arah Aden yang sedang duduk disebelah nya.

Sementara mereka hanya bengong saja melihat Nina. Mereka hanya diam dan memilih melanjutkan menghabiskan cilok nya masing-masing.

"Den... sebenarnya ada yang pingin gue omongin sama elu," Nina membuka obrolannya meski dengan hati yang terlihat ragu-ragu.

Aden menyeruput jus alpukat milik Pandu yang baru diminum sedikit sama pemiliknya, sebelum Pandu pergi dari tempat itu. "Mau ngomong apa?" Tanya Aden.

Manik mata Nina kembali menatap satu persatu Jonathan dan yang lainnya. Meskipun dengan perasaan tidak enak, akhirnya Nina berani mengungkapkan maksudnya, "Eh... semuanya, gue pingin ngobrol berdua dong sama Aden."

"Tinggal ngomong aja kali," serga Tristant, ia menoleh ke arah Nina yang ada di sebelah Aden. "Tuh anaknya ada di deket lu."

"Iya ni tinggal ngomong aja ribet amat." Jonathan mengimbuhi.

Kata-kata Tristant dan Jonathan membuat Nina mendengkus kesal, ternyata mereka tidak peka. Maksudnya kan Nina cuma pingin ngobrol berdua sama Aden, tanpa ada mereka.

"Emangnya mau ngomong apa Nin?" Tanya Aden kembali, dengan gayanya yang kalem seperti biasa.

"Gue nggak bisa kalo ada mereka," ucap Nina.

Tristant memutar bola matanya jengah, kesal dengan sikap Nina, "Maksudnya lu ngusir kita?" Ucapnya sinis.

Bukannya Tristant benci dengan Nina, tapi melihat gelagatnya, ia curiga kalau Nina mempunyai maksud terselubung. Tristant cuma tidak ingin Pandu semakin marah karena melihat Aden dekat sama Nina.

"Maksudnya apa Ni?" Alex juga ikut-ikutan ketus.

Sumpah demi para cowo straight yang ada di dunia ini. Sebenarnya, kalau boleh jujur Alex lebih setuju jika Aden didekati sama Nina, otaknya masih waras kalau disuruh memilih temannya pacaran sama siapa. Cuma karena di sini ia tahu kalau sahabatnya 'Pandu' sangat sayang sama cowok yang sedang didekati sama Nina, oleh sebab itu ia tidak mendukung Nina untuk melakukan pendekatan sama Aden. Sebagai sahabat Alex sudah tahu sifat Pandu seperti apa. Apalagi saat ini hubungan Pandu dengan Aden sedang tidak baik, ia tidak mau kedekatan Nina dengan Aden akan semakin memperkeruh keadaan. Alex cuma tidak ingin sahabatnya semakin sakit hati.

Anggap saja itu rasa solidaritas nya sebagai sahabat. Tidak ada salahnya juga kan menjaga perasaan teman? Pikir Alex.

"Udah ngomong aja di sini, gue nggak dengerin." Imbuh Jonathan. "Lagian apa lu masih belum tau tempat ini kekuasaan siapa?" Imbuhnya mengingatkan.

Ya, meja kantin yang sedang mereka duduki memang dikuasai sama Pandu dan kawan-kawan. Tidak ada yang boleh duduk di sana tanpa seijin mereka. Maklum saja, orang tua Pandu donatur terbesar, lalu dikuatkan dengan keberadaan Lukman sebagai anak pemilik yayasan. Semua siswa tidak ada yang berani berulah.

Nina mengerutkan kening sambil mengigit bibir bawahnya. Dara cantik berambut lurus sebahu itu jadi merasa terpojok sekarang.

"B-bukan gitu maksud gue, gue cuma pingin ngobrol berdua sama Aden. Masak sih kalian gak mau kasih kesempatan buat gue sama Aden berdua. Sebentar aja. Plis." Ucap Nina memohon.

"Nggak bisa," tegas Roby. "Lu kalo mau ngobrol-ngobrol aja, nggak usah pake acara ngusir-ngusir kita segala."

Teman-teman Pandu memang setia kawan. Satupun diantara mereka tidak ada yang mau menuruti permintaan Nina.

"Sama cewek kok nggak ada yang mau ngalah sama sekali sih. Kalian ganteng-ganteng tapi kok galak ya sama cewek." Nina mendengkus putus asa. Usahanya sia-sia teman-teman Pandu tidak ada yang mau diajak bekerja sama. Nina memutar bola matanya seraya bergumam. "Cakep-cakep galak, pantes masih pada jomblo."

"Apa lu bilang?" Sayang sekali gumamman Nina cukup jelas, sehingga dapat terdengar oleh Roby. "Asal lu tau ya, kita pada masih jomblo itu bukan karena nggak ada yang mau sama kita, tapi karena kalian para cewek belum ada yang lulus seleksi." Ujar Roby dengan gaya sombong.

"Udah... udah... jangan ribut," ucap Aden mencoba melerai perdebatan yang tidak penting itu. Kemudian ia fokus menatap ke arah Nina lalu berbicara selembut mungkin. "Beneran nggak bisa kalo ngobrolnya di sini sama mereka?" Tanya Aden memastikan.

Nina juga kembali fokus menatap wajah ganteng Aden, ia mengangguk-anggukkan kepala seraya berkata, "Iya, penting soalnya, gue nggak bisa ngomong kalo ada mereka."

Mendengar ucapan Nina, Tristant yang duduk di dekat Aden memutar bola matanya kesal.

Menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya Aden keluarkan secara perlahan. Kepalanya menoleh ke arah meja kantin yang masih kosong, "yaudah kita ngobrol di sana aja gimana?"

Nina reflek memutar kepalanya, melihat ke arah yang ditunjuk sama Aden dengan wajahnya. "Yaudah deh," ucap Nina setuju.

Bukannya Aden tidak mau pembicaraan nya dengan Nina didengar sama Jonathan dan yang lain. Aden hanya ingin menghargai maksud Nina. Selain itu ia juga cukup tau diri, ia bukan siapa-siapa jadi tidak mungkin Aden meminta tolong kepada Alex dan yang lainnya agar menyingkir sebentar dari tempat itu. Jadi membawa Nina ke meja lain adalah pilihan yang tepat buat Aden. Supaya Nina bisa segera mengatakan maksudnya.

"Maaf ya aku tinggal dulu," Pamit Aden seraya berjalan menuju meja kantin yang masih kosong.

Sementara Nina mengekor dibelakang Aden.

"Dasar racun, bikin ribut aja deh?" Ketus Tristant setelah Aden dan Nina terlihat sudah duduk di meja yang mereka tuju.

"Siapa racun?" Tanya Alex penasaran.

"Siapa lagi kalo bukan Nina?" Jelas Tristant.

"Kok racun sih?" Alex semakin penasaran.

Tristant memutar bola matanya malas, kesal dengan ke kepoan Alex. "Yah liat aja kelakuan itu cewek, udah kayak keong racun, lagu yang jaman dulunya viralnya di yutub." Jelas Tristant.

"Ha... ha... ha..." Alex terbahak mendengar keterangan Tristant. "Bisa aja lu ulet keket."

"Enak aja ngatain gue ulet keket." Protes Tristant, kemudian ia mengambil cup berisi cilok milik Lukman yang belum disentuh sama sekali. Cilok milik Tristant sudah habis ia makan.

"Eh punya Lukman itu," ucap Roby mengingatkan.

"Nggak papa kali, nggak akan marah kalo gue yang ngabisin." Bela Tristant, kemudian ia memasukan cilok kedalam mulut nya. "Kalo kak Lukman marah, entar cilok dia yang cuman dua biji itu gue makan juga." Canda Tristant dengan mulut yang masih dipenuhi dua butir cilok.

"Ha... ha..."

Candaan Tristant sukses membuat Alex dan Roby terbahak.

"Bener-bener dah lu Trist, somplak." Olok Alex.

Alex dan Roby sudah tahu kalau Tristant berani seperti itu cuma dihadapan mereka. Jika ada orang lain, Tristant dan Lukman bisa menjaga, mereka berdua tidak mau dihujat.

Sementara Jonathan hanya bengong sambil menelan ludahnya susah payah, saat melihat mulut imut Tristant sedang mengunyah cilok. Melihat mulut imut Tristant, tiba-tiba saja yang di bawah sana mulai berkedut, dan semakin lama semakin membuat celana dalamnya terasa sangat sempit.

~♡♡♡~

Akhirnya Meskipun dengan susah payah, Lukman dan Aldo berhasil menyeret Pandu, membawanya ke pojok sekolah. Di tempat biasa.

Pandu memang harus dipaksa. Walapun dengan terpaksa dan separuh hati, tapi ia mau juga diajak Lukman dan Aldo.

"Ngapain sih ah kalian ngajakin gue kesini?" Ketus Pandu saat tubuhnya sudah dipepetkan ke tembok sama Aldo dan juga Lukman.

"Lu kalo lagi ada masalah jangan disimpen sendiri. Apa gunanya punya temen kalo gitu caranya." Ujar Lukman, tangannya masih mencekal lengan Pandu, supaya Pandu tidak bisa kabur lagi. "Sekarang lu cerita sama kita, ada masalah apa lu sama Aden? Kali aja kita bisa bantu."

"Bukan urusan kalian, gue juga nggak ada masalah apa-apa sama itu anak." Sangkal Pandu, ia berusaha menyingkirkan tangan Lukman dan Aldo yang masih mencekalnya. "Lepas," ucapnya.

"Jangan bohong Ndu, kita nggak akan lepassin kalo lu nggak mau cerita. Kita ini temen lu, kita peduli sama elu." Ujar Aldo.

"Bohong kalo lu nggak ada masalah apa-apa sama Aden." Imbuh Lukman.

"Dibilangin nggak ada. Nggak usah sok tau kalian." Tegas Pandu.

"Trus apa yang bikin lu nggak mau lagi cuci darah?" Lukman menatap Pandu dengan tatapan penuh selidik.

Pertanyaan Lukman membuat Pandu terdiam, ia heran, darimana Lukman bisa tahu soal itu?

"Kita temen lu Ndu, jangan bikin kita khawatir." Imbuh Aldo, kemudian ia memasang raut wajah sedih. Perlahan ia mulai merenggangkan cekalannya di lengan Pandu. "Tolong sih Ndu jangan egois, jangan keras kepala. Kita semua nggak ada yang nggak khawatir sama elu."

Kata-kata Aldo membuat hati Pandu sedikit melunak, hatinya mulai tersentuh saat melihat bola mata Aldo berkaca. Pandu dapat merasakan jika Aldo benar-benar tulus menyampaikan itu.

"Kalian nggak akan ngerti," ucap Pandu datar. Kemudian ia menempelkan kepalanya di tembok, matanya yang mulai berkaca-kaca menatap Aldo dan Lukman secara bergantian. "G-gue sakit hati." Aku Pandu suaranya mulai terdengar terbata.

"Iya makanya cerita, ada apa?" Bujuk Lukman. Ia juga melepaskan cekalannya di di lengan Pandu.

Pandu masih terdiam, wajahnya datar menatap Lukman dan Aldo secara bergantian. Sebenarnya ia bingung, apa iya masalah seperti itu harus diceritakan sama teman-teman? Ia tidak tahu dari mana harus memulai, semuanya terasa begitu rumit.

"Emangnya lu diapain sama Aden? Kasih tau sama gue." Tanya Aldo.

"Dia nggak salah, gue yang terlalu bego." Ucap Pandu. "Gue terlalu sayang sama dia, sampai gue buta nggak bisa lihat kalo dia udah bohongin gue."

"Dibohongin gimana sih Ndu?" Tanya Lukman penasaran.

Sebenarnya Pandu juga merasa malu ingin menceritakan semua sama teman-temannya, tapi apa boleh buat, Lukman dan Aldo mendesaknya.

"Dia nggak beneran sayang sama gue," aku Pandu. "Dia lakuin itu semua cuma demi uang. Mukanya aja kelihatan polos tapi sebenarnya hati nya busuk. Kenapa coba gue musti ngikutin perasaan yang terlalu sayang sama dia. Ujung-ujungnya gini, gue sakit hati, gue kecewa setelah gue tau semuanya." Pandu mengehela napas, mengusir rasa sesak di hatinya.

"Gue nggak ngerti, dia sayang sama elu cuma demi uang?" Lukman semakin penasaran.

"Yang jelas dong Ndu." Ucap Aldo. "Kita nggak ngerti maksudnya apaan."

Menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya Pandu keluarkan secara perlahan, "dia dibayar sama nyokap gue buat pura-pura suka sama gue. Orang tua gue tau kalo gue_" Pandu menggantungkan kalimatnya, rasanya terlalu sakit jika diucapkan. "Mereka tau kalo gue gay."

"Hah?"

Aldo dan Lukman terkejut mendengar pengakuan Pandu.

"Kok gitu sih Ndu? Masak nyokap lu gitu? kan aneh. Gue juga nggak yakin kalo Aden begitu." Ujar Aldo.

"Tapi emang begitu kenyataannya," tegas Pandu. Bola matanya mulai berkaca, ia menatap nanar kepada dua sahabatnya itu.

Dan akhirnya, meski dengan berat hati, Pandu menceritakan semua yang terjadi antara ia dengan Aden. Pandu juga bercerita jika Aden masuk sekolah mereka karena propaganda ibunya bersama Aden.

Pandu menghela napas setelah semua yang ia alami sudah diceritakan sama Aldo dan Lukman. "Gimana perasaan kalian kalo ada di posisi gue. Orang tua kalian bayar orang buat jadi pacar kalian? Selama ini gue udah mati-matian nutupin kalo gue itu gay, tapi nyatanya mereka udah tau. Gue malu."

Aldo dan Lukman begitu terkejut mendengarkan semua penuturan dari Pandu. Keduanya menatap iba kepada sahabatnya itu.

Lukman bengong sambil menelan ludahnya susah payah, "Tapi kalo Aden beneran nggak sayang sama elu, kenapa dia mau donoroin ginjalnya buat elu?" Ujar Lukman, wajahnya terlihat masih bingung.

Deg!

Mendengar ucapan Lukman, tentu saja Pandu sangat terkejut. "Maksud lu?"

"Sebenarnya Aden ngelarang gue buat kasih tau soal ini sama lu, dia pernah minta anterin gue nemuin dokter lu, dia mau donorin ginjalnya buat lu. Dan Kata dokter lu ginjal dia cocok sama punya lu." Jelas Lukman.

"Oh jadi yang mau jual ginjal itu dia. Mungkin duit yang dikasih nyokap gue masih kurang, makanya dia rela jual ginjalnya." Ucap Pandu dengan gaya bicara yang mengejek. "Begok emang."

"Bukan gitu!" Serga Lukman. "Aden nggak ada niat buat jual ginjal nya. Dia ikhlas mau bantu elu. Antara Aden dan yang mau jual ginjal itu beda orang Ndu, dokter lu sendiri yang bilang, dan gue denger semuanya. Makanya gue heran, gue nggak yakin kalo Aden sayang sama elu cuma demi uang." Jelas Lukman. Ia terpaksa melanggar janjinya sama Aden agar tidak bercerita sama Pandu. Tapi Lukman juga tidak mau ada salah paham antara Pandu dengan Aden.

Pandu terdiam, mulutnya terkunci mendengar penuturan Lukman. Apa Iya Aden benar akan melakukan itu? Untuk apa? Tapi semua yang ia lihat dan ia dengar sangat jelas. Pandu juga tidak sedang bermimpi saat itu.

Aldo memukul pelan lengan Pandu seraya berkata, "Gue yakin lu cuma salah paham Ndu."

"Tapi gue denger, gue juga liat." Pandu masih kekeh dengan pemikirannya sendiri. Tapi jauh di dalam sana, hatinya sedikit tersentuh setelah mendengar cerita dari Lukman.

"Lu nggak ngasih Aden kesempatan," potong Lukman. "Lu tau kan Aden kayak apa sifatnya? Kasih dia kesempatan buat ngomong, gue yakin dia anak baik, dia nggak bakal kayak gitu. Kasih dia kesempatan buat jelasin alasan dia. Gue liat dia itu sedih banget pas cerita sama gue kalo lu nggak mau terapi cuci darah. Gue nggak percaya kalo dia enggak sayang sama lu, dia nggak mau kehilangan elu."

"Bukan cuma Aden," potong Aldo. "Gue, Lukman, dan semua juga sedih kalo lu kayak gini. Kita semua sayang sama lu." Bola mata Aldo kembali berkaca-kaca setelah mengungkapkan unek-uneknya.

Mendengar penuturan sahabatnya, Pandu tidak bisa menahan haru. Ia tidak menyangka ternyata mereka semua sangat menyayanginya. Hati Pandu mulai melunak dan bola matanya juga ikutan berkaca-kaca.

"Plis jangan kayak gini Ndu, kasih Aden kesempatan buat jelasin semua alasannya sama elu," Ucap Lukman.

Pandu menarik kedua ujung bibirnya, ia tersenyum sangat tipis karena bercampur rasa haru.

"Mau kan?" Tanya Aldo.

Meskipun sangat pelan, akhirnya Pandu menganggukan kepalanya. Tanda kalau ia mau menuruti kata-kata Aldo dan Lukman.

Helaan napas lega keluar dari mulut Aldo dan juga Lukman. Keduanya tersenyum nyengir, rasanya sangat bahagia sekali bisa mencairkan hati Pandu yang membatu.

"Nah.... gitu dong," ucap Lukman seraya menghamburkan tubuhnya, memeluk Pandu.

Aldo juga tidak mau ketinggalan, ia ikut mengurung Pandu dalam pelukannya.

"Thank's ya..." ucap Pandu di tengah-tengah pelukan Aldo dan Lukman.

"Iya... lu kan sahabat gue," ujar Lukman seraya mengeratkan pelukannya. "Eh Ndu, kok aneh ya?"

"Aneh kenapa?" Tanya Pandu bingung.

"Lu sakit, gue juga kayaknya udah mulai makin belok ni, tapi kok punya gue anteng aja ya pas lagi meluk elu?" Aku Lukman setelah melepaskan pelukkannya.

Aldo dan Pandu mengerutkan kening, menatap bingung wajah Lukman yang sedang tersenyum nyengir.

"Ya.... itu senjata gue kaga reaksi apa-apa pas meluk lu, beda kalo gue lagi meluk Tristant, pasti langsung kenceeeng...." canda Lukman sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tristant emang is the best."

Plak...!

"Najis...!" Umpat Pandu setelah ia memukul pelan kepala Lukman. Kemudian ia melenggang, meninggalkan Lukman dan juga Aldo.

"Dasar mesum Lu," maki Aldo sambil mendorong tubuh Lukman, lalu ia meninggalkan Lukman sendirian di pojok sekolah.

"Tungguin.....!" Teriak Lukman seraya berjalan cepat mengejar Aldo dan juga Pandu.