"Den..."
"Hem.."
"Lu udah ngantuk?"
"Belum, kenapa emangnya?"
Dugdug-dugdug-dugdug....!
Kira-kira seperti itu suara detak jantung Pandu yang berpacu, kala ia sedang berduaan dengan Aden, di dalam kamar kos yang gelap.
Saat ini keduanya sedang tidur miring, saling berhadapan dengan jarak wajah yang tidak lebih dari satu jengkal, lantaran mereka tidur hanya menggunakan satu bantal. Kedua nya hanya menggunakan guling masing-masing yang sedang mereka peluk untuk membatasi jarak tubuh.
Ruang kamar yang sangat gelap, juga membuat keduanya sulit melihat dengan jelas wajah lawan bicaranya. Padahal sudah lebih dari tiga puluh menit lampu mati, namun keduanya enggan beranjak untuk mencari penerangan. Selain itu mereka juga tidak ada persiapan lilin atau sebagainya. HP mereka sengaja dimatikan, karena Lukman tidak henti-hentinya meneror mereka dengan mengirimi gambar atau video porno.
"Dingin," keluh Pandu sembari mengeratkan pelukannya di guling.
"Iya, hujan soalnya." Aden juga melakukan apa yang dilakukan Pandu, memeluk erat gulingnya.
Sementara itu, adik kecil yang masih berada di dalam celana mereka, seperti tidak bisa diajak kompromi. Sudah sejak tadi benda berbentuk lonjong yang sudah mengeras itu, seperti sedang berteriak-teriak meminta ingin segera dilemaskan. Percaya atau tidak, menahan hasrat, dan berusaha suapaya yang berada di dalam celana itu agar bisa anteng dan mengecil sendiri, rasanya sangat sulit, sekaligus menyiksa.
Udara yang dingin disertai dengan rintik hujan, suasana kamar yang gelap gulita, ditambah dengan adegan seks di dalam video porno yang baru saja mereka tonton, sangat berpengaruh kuat, menambah tegangan tinggi dibagian pangkal paha mereka.
Tapi keduanya masih berusaha untuk menahan.
Pandu, ia tidak ingin bertindak ceroboh dengan melakukan kesalahan yang sama. Pukulan dari Aden beberapa hari yang lalu membuat Pandu menjadi lebih hati-hati dalam bertindak. Pandu tidak ingin dipukul lagi, walaupun saat ini ia tahu Aden juga menyukainya, tapi ia ingin Aden memberikan itu tidak dengan paksaan. Pandu hanya ingin supaya Aden yang memulai lebih dulu.
Aden, meskipun yang di dalam celana sudah bereaksi sejak tadi, tapi ia masih bingung. Melampiaskannya bersama dengan lelaki, menurut Aden itu aneh, dan sulit diterima dengan akal sehatnya.
"Den..."
"Iya,"
Pandu terdiam, ia benar-benar bingung dari mana ia harus memulai. Menarik napas dalam-dalam, kemudian Pandu menghembuskannya dengan sangat pelan.
"Lu nggak pingin bales dendam sama gue?"
"Bales dendam gimana? Kamu nggak pernah jahat sama aku."
"Lu ingetkan, waktu lu mukul gue, gue habis ngapain elu coba?"
Gue pernah nyium elu, sekarang gantian lu nyium gue. Sebenarnya itu yang ingin Pandu sampaikan kepada Aden. Tapi jika terlalu berterus terang seperti itu, rasanya terlalu frontal, Pandu mencoba memilih kosa kata yang halus, dan tidak terlalu mengarah ke inti. Walaupun sebenarnya ia sangat ingin.
"Harusnya kan kamu yang bales dendam, kan aku yang mukul kamu." Ujar Aden.
Pandu membuang napas lembut, jawaban Aden membuat ia harus menelan mentah-mentah rasa kecewanya, lantaran Aden masih saja belum nyambung dengan maksudnya.
"Apa kamu pingin dicium?"
"Eh,"
"Iya" jawab Pandu dalam hati. Setelah itu ia menelan salivahnya susah payah.
Ini Aden yang terlalu polos atau bagaimana? Mendapat pertanyaan frontal seperti itu rasanya benar-benar menohok, "buruan cium gue," lanjut Pandu masih di dalam hati. Tapi pertanyaan Aden sukses membuat debaran di jantung Pandu, semakin tidak beraturan.
Polos, tulus, apa adanya, dan ganteng sebagai bonus. Sebenarnya itu alasan kenapa Pandu sangat menyayangi Aden. Kalau boleh jujur, Pandu ingin supaya Aden tetap polos seperti itu. Polos seperti kertas HVS yang belum tergores tinta sama sekali. Dan Pandu tidak akan mengijinkan siapapun menggoreskan tinta di kertas polos itu. Hanya ia yang boleh menggoreskan tintah di sana. Menggoreskan cerita-cerita indah, dimana hanya ada nama Pandu dan Aden dalam goresan itu.
"Kok diem?" Tanya Aden heran, lantaran Pandu belum menjawab pertanyaanya. Walaupun sebenarnya Pandu sudah menjawab, tapi di dalam hati, sehingga Aden tidak mendengarnya.
"Eh enggak..." gugup Pandu. "Emang lu mau nyium gue?" Pancing Pandu.
"Ya nggak papa sih, kan kita udah pacaran." Aden hanya berusaha membuat Pandu supaya lebih yakin dengan aktingnya. Menurutnya, itu adalah sala satu cara supaya Pandu terus merasa bahagia.
Benar saja, ucapan Aden barusan membuat senyum Pandu mengembang, debaran jantungnya semakin kencang saja berdetaknya.
"Tapi nyiumnya di kening aja ya?" Pinta Aden.
Detik itu juga senyum Pandu memudar, khayalan indah agar bisa merasakan bibir seksi Aden, seakan sirna oleh pernyataan Aden. Pandu menggit bibir bawahnya, bersamaan dengan wajah yang ia kerutkan.
"Emang kenapa, kok pilihnya di kening terus?" Selidik Pandu. "Apa lu nggak serius sayang ama gue?"
Pertanyaan Pandu membuat Aden menelan ludahnya susah payah. Ia seperti terjebak sendiri dengan kepolosannya. Aden memutar otaknya, mencari alasan masuk akal supaya bisa dimengerti sama Pandu. Entahlah, meski sudah tumbuh rasa sayang di hatinya, tapi otaknya selalu menolak. Oataknya selalu berusaha berdalih, rasa sayang itu masih sama seperti dulu, sayang sebagai sahabat.
"Bukan gitu_"
"Trus?" Potong Pandu.
"Aku sayang kok sama kamu, aku juga suka sama kamu."
"Lu nggak ngasih gue bukti, lu nggak mau nyium yang lain selain kening?" Tandas Pandu.
"Ya... yaa... aku mau kasih hukuman sama kamu," jawab Aden gugup.
Pandu mengerutkan keningnya, "hukuman apa?" Tanya Pandu bingung.
"Kan waktu itu kamu nyiumnya nyuri, nggak minta ijin." Kila Aden. "Jadi sebagai pencuri harus dihukum, hukumannya enggak boleh nyium bibir dulu."
"Sampe kapan hukumannya?" Tanya Pandu sambil membuang napas berat.
Aden terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya ia menjawab.
"Sampai aku berani nyium kamu di depan ibumu, ayahmu, dan di depan temen-temen."
"Jangan gila deh, lu kira gue mau lu nyium bibir gue di depan umum? Itu sama aja gue bunuh diri." Pungkas Pandu.
Aden terkekeh pelan tanpa memperdulikan perasaan Pandu yang sedang kesal. "Lha emangnya kenapa? Kan itu bukti kalo aku benaran sayang sama kamu." Ujar Aden. Sebenarnya itu hanya alasan saja, Aden janji seperti itu lantaran ia tahu kalau Pandu pasti tidak mau melakukannya.
"Terserah," kesal Pandu, kemudian ia mendengus sambil merubah posisi tidurnya menjadi miring, memunggungi Aden.
Tawa Aden berhenti kala ia menyadari jika Pandu marah karena ucapannya. Tangannya mengulur, meraih pundak Pandu sambil menarik supaya menghadap kembali ke arahnya. "Ndu..."
Pandu mengedikan pundaknya, berusaha menyingkirkan telapak tangan Aden yang masih mencekal pundaknya.
"Kamu marah apa?" Tanya Aden polos seperti biasa.
Pandu diam, ia tidak bersuara sama sekali. Tapi otaknya berpikir tentang sikap yang sedang ia lakukan srkarang ini. Ternyata Aden benar-benar letak kelemahan Pandu, sebenarnya ia jijik dengan ngambeknya itu. Entah apa yang akan dilakukan Lukman dan yang lain jika mereka tahu Pandu ngambek seperti ini.
Hanya dengan Aden lah, Pandu seperti itu.
"Pandu....!" Aden mengulangi panggilannya, kali ini nada suaranya sedikit dinaikan, bersamaan dengan tambahan tenaga untuk menarik tubuh Pandu. Sehingga mau tidak mau Pandu harus memutar tubuhnya, menghadap kembali ke arah Aden.
"Apa?" Ketus Pandu saat ia sudah berhadapan dengan Aden.
Menarik napas dalam-dalam, sebelum akhirnya Aden hembuskan dengan lembut. Telapak tangannya memegang puncak kepala Pandu, membelai rambutnya dengan lembut.
"Maaf," ucap Aden dengan lembut. "Dengerin aku dulu ya, aku itu sayang sama kamu, aku nyium kening kamu itu karena aku pingin buktiin, kalo aku beneran sayang sama kamu. Kalo aku nyiumnya bibir itu sama aja kaya napsu doang. Kayak yang di tipi-tipi itu lho... kalo nyium kening tandanya sayang, kalo nyium bibir cuma pingin muasin napsu doang. Tapi beneran, nanti kalo hukumannya udah selesai aku bakal cium kamu kok. Di bibir." Kilah Aden dengan polosnya. Kemudian ia tersenyum simpul, tapi tidak terlihat oleh Pandu karena cahaya kamar masih gelap. "Maaf... ya Ndu," imbuh Aden di dalam hatinya.
Ternyata jadi orang polos itu ada untungnya juga ya? Sulit untuk tidak percaya jika orang polos yang sedang mengatakan sesuatu. Terbukti Pandu mulai menerbitkan senyumnya akibat Aden berbicara dengan gayanya yang polos. Seolah-olah tidak ada kebohongan di sana. Terlebih lagi saat Aden kemudian menarik pelan kepala Pandu, lalu mendaratkan kecupan di kening dengan begitu mesra. Detik itu juga Pandu langsung melupakan kekesalannya, ciuman di kening itu membuat Pandu merasa sangat nyaman, dan percaya jika Aden benar-benar sangat menyanginya.
Pandu seperti seorang cowok yang mempunyai kepribadian ganda. Di hadapan teman-temannya ia selalu berusaha tegas, dan keras supaya disegani dan ditakuti. Tapi di hadapan Aden, Pandu seperti kerbao yang dicucuk hiungnya, tidak mampu berkutik, dan hatinya gampang sekali luluh. Mungkin itu yang dinamakan cinta.
Tapi hati memang tidak bisa berbohong, sesuatu yang berasal dari hati, maka akan cepat sampai ke hati pula. Karena pada saat bibir Aden menyentuh kening Pandu, Aden melakukan dengan tulus dari hatinya. Ia merasakan nyaman dan bahagia, menyelimuti hati saat bibir seksinya menempel di kening Pandu. Akan tetapi otaknya masih saja berusaha memungkiri, ia menganggap jika yang sedang dirasakan oleh hatinya itu hanya perasaan sayang kepada teman.
"Lama amat nyiumnya," protes Pandu, lantaran sejak lima menit berlalu, Aden masih belum melepaskan ciuman di keningnya.
"Hem..." Aden bergumam sedikit tersentak, ia mengangkat kepalanya lalu meletakan dagunya di atas kepala Pandu. Secara otomatis wajah Pandu tenggelam di lehernya, membuat bibir merah Pandu menempel di sana.
"Gue boleh peluk lu kan?" Ijin Pandu sambil menikmati aroma leher Aden.
"Pake nanya, biasanya juga meluk terus." Ucap Aden sambil memindahkan guling di belakang tubuhnya. Sehingga saat ini tubuh mereka hanya terhalang satu bantal.
"Hah?! Kapan?!" Sergah Pandu mengelak.
"Kamu kan tidur, jadi enggak sadar kalo pagi-pagi meluknya kuat banget." Ujar Aden.
Kemudian telapak tangannya meraba-raba, mencari keberadaan tangan Pandu. Setelah telapak tangannya mencekal pergelangan Pandu, Aden mengangkatnya, lalu meletakan tangan itu dibalik tubuhnya.
Tidak menunggu lama lantaran sudah mendapat lampu hijau, Pandu langsung beringsut untuk merapatkan tubuhnya, kemudian memeluk erat tubuh sekal Aden yang masih terhalang oleh guling. Rasanya sangat nyaman. "Kok gue nggak sadar ya?" Ucap Pandu seraya mencoba mengingat-ingat.
"Ya kamunya kan tidur," jelas Aden. "Udah malam tidur ya," Tangan Aden meraba-raba guna mencari selimut yang ada di dekat kepala mereka, dan membiarkan Pandu memeluk erat tubuhnya. Setelah tangannya menemukan benda yang ia cari, lalu dengan satu tangannya Aden melebarkan selimut untuk menutupi tubuh mereka berdua.
Selesai dengan urusan selimut, Aden kembali menaru dagunya di atas kepala Pandu. Telapak tangannya dengan lembut mengusap-usap punggung Pandu, sambil menekan pantatnya agar lebih rapat menempel di guling yang menghalangi tubuh mereka.
Pandu dan Aden memang sengaja tidak menyingkirkan guling yang menjadi pembatas tubuh mereka. Karena kalau tidak ada guling tersebut, dengan keadaan mereka yang sedang berpelukan, maka bagian depan selangkangan mereka pasti akan saling menempel. Dan secara otomatis, keduanya akan sama-sama tahu jika adek kecil yang masih di dalam celana, sudah berdiri tegang. Mereka masih malu.
Tepukan-tepukan lembut dari telapak tangan Aden di punggung Pandu, ditambah rasa nyaman lantaran wajah Pandu masih tenggelam di leher Aden, mau tidak mau mengundang rasa kantuk datang menghampiri Pandu, hingga akhirnya ia pun terlelap.
Begitupun dengan Aden, usapa tangannya di punggung Pandu lambat laun melambat, lalu berhenti bersamaan dengan ia memejamkan mata.
Beberapa saat kemudian, keduanya sudah nyenyak dalam tidur, meskipun yang berada di dalam celana masih terlihat sangat segar dan semakin mengeras.
~♡♡♡~
Pandu berdiri sambil melipat kedua tangannya di perut. Bibirnya tersenyum simpul, sorot matanya lurus menatap Aden yang sedang melakukan dribbling di dalam lapangan basket sekolah.
Saat itu mereka memang sedang berlatih di sekolah pada saat jam istirahat.
Ternyata baru beberapa hari Aden berlatih, tapi ia sudah terlihat sangat mahir. Gerakannya juga sudah sangat gesit, lincah dan energik.
Awalnya Aden hanya akan dijadikan sebagai pemain cadangan saja, tapi karena melihat perkembangannya yang signifikan, sehingga Aldo memutuskan supaya Aden yang menjadi pemain inti. Sedangkan Aldo kembali lagi ke awal, hanya sebagai pemain cadangan. Tapi tetap saja mereka ber enam selalu latihan bersama. Sedangkan Pandu manjadi penonton sambil mengamati permainan teman-temannya. Sesekali ia juga memberikan ide, tehnik atau strategi yang harus mereka mainkan pada saat pertandingan itu tiba.
Senyum Pandu menyeringai, bersamaan dengan telapak tangannya yang reflek bertepuk kala ia melihat Aden berhasil memasukan kembali bola basket ke dalam ring. Kalau tidak salah hitung, Aden sudah tujuh kali melakukan shooting, dan berhasil memasukan bola ke ring basket. Ternyata ilmu yang sudah Pandu transferkan kepada Aden melalui teori, dapat diserap dengan baik.
Terlihat Lukman dan yang lainya sangat kagum dengan keahlian yang dimiliki sama Aden. Lukma dan teman-temannya pun turut memberikan tepuk tangan untuk Aden, tiap kali Aden berhasil memasukan bola ke ring basket.
"Wah kak Aden, jago juga ya?" Puji Tristant yang membuat Pandu tersentak lantara ia tidak menyadari keberadaan Tristant di sampingnya.
Pandu mengedarkan pandangannya di sekitar ia sedang berdiri. Ia juga merasa heran kalau ternyata di dekat ia berdiri sudah di penuhi banyak murid-murid yang di dominasi oleh anak perempuan.
Mungkin Pandu terlalu fokus melihat Aden yang begitu seksi kala tengah bermain basket, sehingga ia sampai tidak menyadari kalau ternyata sudah banyak yang berkumpul di sana.
Sudah cukup lama mereka tidak berlatih basket di sekolah, membuat murid-murid lain menjadi rindu akan aksi mereka di tengah lapangan. Mereka juga tidak mau menyiakan kesempatan, terutama kaum hawa, mereka ingin sekali melihat tubuh berkeringat para idola sekolah. Karena keringat di wajah para idola juga membuat mereka semakin terlihat seksi dan berseri. Wajah para idola yang sedang kelelahan, juga menjadi pemandangan indah, sekaligus moment yang paling ditunggu oleh murid-murid perempuan.
Suasana semakin ramai saja, lantaran hari itu lapangan basket sekolah sedang bertabur bintang;
Ada...
Pandu; siapa yang tidak kenal sama cowok paling populer di sekolah karena kegantengannya, dan jago bermain basket. Selain itu profesinya yang masih menjadi model remaja, membuat ia semakin dikagumi.
Lukman; cowok cakep, anak pemilik yayasan dan terkenal palyboy. Tidak sedikit murid-murid cewek yang ingin juga menjadi pacarnya. Tapi sekarang Lukman sudah tobat, ia tidak mau membuat baper lagi anak-anak lantaran ia sudah menemukan orang yang sangat disayanginya. Siapa lagi kalo buak Tristant.
Aldo; meski tidak jago bermain basket, dan hanya menjadi pemain cadangan, tapi cowok ini lumayan membuat para cewek penasaran. Sikapnya yang tenang, tidak banyak omong, tapi kalau sudah berbicara ia sudah seperti duplikatnya Mario Teguh. Banyak cewek yang gemes sama Aldo, suaranya sering ditunggu-tunggu sama fansnya. Selain itu Aldo paling pintar diantara yang lain.
Roby dan Alex, dua cowok yang suka bicara ceplas-ceplos, dan yang selalu bikin rame jika sedang kumpul. Keduanya hampir memiliki kesamaan, sama-sama suka merayu murid-murid cewek.
Jonathan; digandrungi banyak cewek lantaran wajahnya sedikit mirip bule, dan ganteng sudah pasti ya. Selain itu ia juga tidak banyak omong, sama seperti Aldo.
Dan yang terahir ada pendatang baru yang justru terlihat paling menonjol diantara yang lainnya. Terlihat enerjik, lincah saat sedang bermain basket. Meski wajahnya tidak ada tampang kota, tapi jika di jajarkan dengan yang lain, ia tidak kalah ganteng. Tatapan matanya seperti elang, dan warna kulitnya yang eksotis, membuat ia terlihat paling beda dari yang lain. Tidak bikin bosen jika dipandang mata.
Siapa lagi pendatang baru itu kalau bukan si polos Aden.
Kehadiran mereka di lapangan basket, membuat heboh para murid-murid perempuan.
"Pandu!" Tegur seorang remaja yang diketahui bernama Vito. Kalau tidak salah ingat, Vito ini dulunya pernah menjadi ketua osis dan sempat juga menjadi idola. Tapi setelah ia naik kelas 12, lambat laun pesonanya tergeser oleh kehadiran Pandu dan kawan-kawan.
Pandu menoleh ke arah Vito yang sudah berdiri tepat di sampingnya.
"Lu serius nggak main basket lagi?" Tanya Vito, lantaran ia tidak melihat Pandu di lapangan basket.
"Enggak," jawab Pandu. "Tuh udah ada gantinya," terang Pandu sambil menunjuk Aden dengan yang sedang berebut bola dengan Lukman di lapangan.
"Oh, yaudah kalo gitu gue minta data diri anak itu dong. Lu ada kan?" Tanya Vito.
"Buat apa?" Heran Pandu.
"Nanti kita mau undang wartawan dari tabloid remaja, mereka bakal ngeliput pertandingan kalian. Yah sekalian promo buat yayasan kita. Jadi profile mereka nanti bakal di muat di bagian rubrik sekolah. Kalo yang lain kan kita udah ada. Tapi anak baru itu kita belum punya." Jelas Vito.
"Niat banget kelas 12, ampe ngundang media segala. Lebay!" Cibir Pandu, kemudia ia berjalan mendekati celana abu-abu milik Aden yang kebetulan tergeletak di kursi para penonton. "Ntar gue cariin."
Tanpa permisi Pandu mengambil dompet milik Aden yang di simpan di kantong celana abu-abu. Ini pertama kalinya Pandu sedikit lancang, mengambil tanpa permisi. Sebenarnya tidak lancang sih, mereka kan tinggal satu kos, mereka juga sudah sepakat, apapun yang dimiliki adalah milik bersama. Kan pacaran.
Pandu mengambil kartu pelajar yang terselip dibagian sisi dompet Aden. Sebelum menyerahkan kepada Vito, terlebih dahulu Pandu membaca identitas Aden yang tertera di kartu pelajar. Setelah mencermati tanggal lahir Aden, Pandu mengerutkan kening, dan bibirnya tersenyum nyengir. "Lusa Aden ulang tahun." Ucap Pandu di hatinya. Kemudian Pandu terdiam sambil mengulas senyum. Otaknya seperti sedang memikirkan sesuatu.