Aden...
'Takut'. Iya takut, kesan pertamakali aku melihatnya yang aku rasakan itu takut. Bukan apa-apa sih, menurut kabar yang beredar, aku dengar dari anak-anak yang suka membeli cilok denganku si Pandu ini terkenal anak yang nakal. Ohiya aku tahu namanya 'Pandu' dari pelanggan setiaku. Mereka sering menyebut namanya saat sedang bergosip di dekat-ku.
Aku takut karena aku tidak ingin berurusan dengan yang namanya keributan. Aku ingin tenang, dan damai berjualan di sini. Mungkin dia memang tidak usil denganku, tapi bisa saja kan? namanya anak nakal, pasti tidak melihat siapa yang akan menjadi korban kenakalannya.
Sebenarnya sih, kalau dipertemukan satu lawan satu, aku yakin aku bisa mengalahkan dia, jika sampai kami beradu fisik sepertinya aku akan mudah melumpuhkannya.
Tapi yang aku tahu dia anak orang kaya, bisa saja dia memanfaatkan kekayaannya itu, untuk mengganggku. Tapi untung saja dia tidak pernah usil denganku. Mungkin dia merasa tidak se level untuk berurusan denganku.
Tapi yang membuat hati dan perasaanku was-was, beberapa minggu terhir ini terlihat dia selalu meliriku. Terus terang aku merasa tidak nyaman, mungkinkah dia sedang merencanakan sesuatu untuk usil denganku? Entahlah. Semoga saja tidak.
Sampai hari ini tadi pagipun, dia masih melirik dan melihatku. Sampai akhirnya aku juga reflek ikut melihatnya, dan itu membuat pandangan kami bertemu. Dua kali, iya sudah dua kali tatapan mata kami bertemu. Ah... aku benar-benar gelisah. Semoga saja aku tidak akan menjadi korban kenakalan-nya.
~♡♡♡~
Bel tanda pulang berbunyi sangat nyaring. Bunyi bel itu dapat langsung mengubah keadaan kelas yang tadinya tenang, menjadi sangat ramai seperti pasar. Tanpa perintah seorang guru yang sedang mengajar, mereka langsung berhamburan keluar kelas.
"Pulaaaaang...!!!"
Teriak penuh girang para siswa dan siswi.
Lukman berjalan cepat mengejar Pandu yang sudah berada di depannya. Ia mengalungkan tangan ke pundak Pandu setelah sampai tepat di samping Pandu.
Pandu hanya menoleh sekilas, sambil berjalan dirangkul oleh Lukman.
"Ndu, pulang bareng gue?" Tawar Lukman setelah mereka keluar dari kelas.
"Nggak gue dijemput," tolak Pandu. "Nyokap gue bakal marah kalau liat gue pulang naik motor." Imbuhnya menjelaskan.
Lukman mendengus, kemudian ia berdecak sambil menggelang-gelengkan kepalanya heran.
"Gue nggak habis pikir sama lo, secara di sekolah lo itu ditakutin sama anak-anak. Tapi di sisi lain lo tuh kayak anak mamai. Masak elo nggak malu sih pulang sekolah masih diantar jemput?"
Begitulah Pandu, ia memang mampu menaklukan teman-temannya di Sekolah. Akan tetapi Pandu tidak akan pernah bisa menaklukan ibunya yang over protektif. Meski tampilannya bak berandal, tapi di mata ibunya, Pandu adalah sosok anak yang manis. Ibunya Pandu tidak akan membiarkan kulit anak kesayangannya terbakar oleh sinar UV.
Semua keperluan Pandu harus dalam pengawasan ibu Veronica, ibunya Pandu. Termasuk jajanan atau makanan yang masuk kedalam perut Pandu, itu juga harus diketahui oleh ibu Veronica. Selain itu ibu Veronica juga mempersiapkan supir pribadi untuk Pandu untuk mengantar jemput Sekolah.
Walaupun sebenarnya Pandu tidak suka, tapi Pandu tidak punya daya untuk menolaknya. Karena semua fasilitas, kartu kredit, termasuk gadget, akan ditarik jika Pandu sampai ketahuan membangkang. Wanita sosialita yang doyan arisan berlian bersama teman-temannya itu memang sangat ketat dalam mengawasi Pandu.
Paling Pandu bisa keluar rumah untuk bermain dengan alasan belajar. Atau ia harus bekerjasama dengan sopir pribadinya.
"Lo bawel amat? Kayak nggak tahu nyokap gue aja."
Kelima teman akrab Pandu memang sudah hapal betul dengan ibu Veronica. Jika kedua alis lancip ibu Veronica sudah naik ke atas, maka nyali Pandu dan kelima temannya seperti kerupuk di siram air. Melempem.
"Eh... tapi entar malam kita dugem kan? Malam minggu bro..." Lukman melepas rangkulannya di pundak Pandu. Kemudian ia berjalan mundur tepat di hadapan Pandu sambil kedua telapak tangannya mengacungkan jari tengah. Pantatnya bergerak maju-mundur seraya berkata, "ajib... ajib... kita..."
Pandu hanya menarik sebelah ujung bibirnya, tersenyum tipis sambil menggelng-gelngkan kepalanya.
"Anak-anak gimana? Siap?" Tanya Pandu.
"Siap dong..." jawab Lukman.
"Kak, ikutan dong..."
Suara Tristan yang tiba-tiba membuat Pandu dan Lukman menghentikan langkahnya. Pandu memutar tubuhnya menghadap Tristan, sedangkan Lukman mendekati Pandu sambil merangkul kembali pundaknya.
"Ikut kemana?" Tanya Pandu dengan raut wajah yang malas.
"Dugem," Tristan tersenyum simpul sambil menaik turunkan kedua alisnya, menatap Pandu.
"Eh... anak kecil ngapain lo ikut-ikutan? Mending lo bobo cantik di rumah." Serga Lukman. "Emang lo nggak tahu apa? Kalau tempat kayak gitu itu serem. Banyak orang jahat ngerti nggak?" Lukman mencoba menakut-nakuti Tristan.
"Udah deh kak jangan panggil gue anak kecil. Kita cuma selisih satu angkatan doang kan? Seserem apapun itu tempat, gue nggak takut. Lagian kan gue perginya sama kak Pandu, sama kalian. Gue yakin kalian pasti bakal jagain gue." Ujar Tristan.
"Sayang lu nggak bisa ikut sama kita." Ucap Pandu tanpa ekspresi di wajahnya. Kemudian ia memutar tubuhnya dan kembali berjalan diikuti oleh Lukman.
"Kak tunggu...!"
Pandu dan Lukman menghentikan langkahnya, mereka memutar tubuh secara bersamaan untuk menghadap Tristan.
"Apa?" Tanya Pandu dengan gaya yang cuek.
"Gue ikut pliss... gue pingin gabung sama kalian-kalian. Gue janji bakal lakuin apa aja buat kalian, asal gue ikut sama kalian." Ucap Tristan dengan raut wajah memohon.
"Nggak bisa..." tolak Pandu yang semakin kesal. Kemudian ia kembali berjalan meninggalkan Tristan yang sedang mendengus kesal.
Sedangkan Lukman masih berdiri mematung memandang Tristan.
"Beneran lo mau ikut sama kita-kita?" Tanya Lukman setelah Pandu berjalan semakin menjauh.
Tristan yang sedang memandang punggung Pandu yang sudah jauh sedikit tersentak. "Iya.. boleh kan?"
Lukman melipat kedua tangan di depan dadanya. Manik matanya menelusuri ujung tubuh Tristan dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Kenapa kak?" Tanya Tristan heran sambil mengerutkan kening.
"Lo tadi ngomong apaan? Mau ngelakuin apa aja buat kita?" Tanya Lukman menegaskan kata-kata Tristan.
"Iya," jawab Tristan.
"Yakin apa aja?" Lukman menatap Tristan dengan mata yang menyipit, dan menyelidik.
"Yang penting gue bisa ikut," jawab Tristan mantap.
Lukman mengangguk-anggukan kepalanya, ia membasahi bibir bawah dengan menjilat dengan lidahnya. Sedangkan matanya menatap intens bibir merah Tristan.
Yang ditatap bergidik, sambil mengerutkan keningnya.
"Kalau gitu lo pulang bareng gue! Mau?"
Entah kenapa Tristan merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan cara Lukman melihatnya. Untuk itu ia hanya diam dan berpikir selama beberapa saat.
"Kelamaan," Lukman mendengus sambil memutar tubuhnya. Kemudian ia berjalan meninggalkan Tristan seraya berkata, "ya udah kalau nggak mau ikut."
"Eh kak...! yaudah gue mau pulang bareng lo!" Tristan berteriak sambil berjalan cepat mengejar Lukman.
Kesempatan emas buat Tristan agar bisa mendekati Pandu, dan masuk kedalam kelompok anak-anak cakep yang sudah terkenal.
Lalu, jawaban Tristan membuat Lukman menarik ujung bibirnya, tersenyum menceng.
~♡♡♡~
Pandu sedang duduk di halte bis, ia sedang menunggu sopir pribadi yang akan menjemput nya. Pandangan mata lurus ke seberang jalan, ia melihat Aden yang sedang sibuk melayani siswi-siswi yang membeli ciloknya.
Beberapa saat kemudian Pandu merogoh saku seragamnya, mengambil bungkus rokok yang ia simpan di sana.
Pandu merokok?
Iya tentu saja ia merokok. Awalnya sih hanya sekedar coba-coba saja. Ia merokok hanya untuk menunjang penampilannya supaya lebih terlihat garang dan jantan. Supaya lebih ditakuti oleh teman-temannya. Tapi akhirnya yang berawal dari coba-coba justru membuatnya menjadi kebiasaan atau kecanduan.
Dan anehnya rokok yang ia hisap itu tidak benar-benar merubah dirinya menjadi seorang pejantan. Memang sih, Pandu terlihat jantan di luar saat sedang merokok. Tapi jauh di dalam sana, di hatinya ia masih menginginkan seorang pejatan, yang lebih jantan dari dirinya.
Kenakalan Pandu yang sebenarnya juga hanya karena ia tidak ingin terlihat sebagai penyuka sesama jenis. Awalnya bersikap kasar yang dibuat-buat. Namun kini Pandu merasa nyaman, karena kenakalanya itu membuat ia merasa disegani, dan ditakuti. Menurut Pandu ditakuti itu, sangat menyenangkan.
Ohiya, kebiasaannya merokok Pandu tentu saja tidak diketahui oleh ibunya. Karena kalau sampai ibu Veronica tahu bisa berabe urusannya.
"Huuuuuft..." Pandu mengeluarkan asap rokok yang baru saja ia hisap. Ia melihat arloji yang melingkar di pergelangannya. Ia mendengus kesal karena tidak biasanya sopir pribadinya terlambat menyemput.
Pandangan mata Pandu kembali melihat sosok remaja yang ada di seberang jalan sana. Aden. Ia melihat sudah tidak ada lagi yang membeli ciloknya.
Beberpa minggu ini Pandu hanya berani menatapnya dari jauh, dan meliriknya sekilas saja. Sebenarnya ia ingin sekali sekedar menyapa, atau sekedar mengobrol sambil menunggu sopirnya. Namun ia bingung karena tidak punya alasan.
Namun kali ini keinginan itu begitu kuat, selain itu ia juga merasa bosan menunggu terlalu lama sopir pribadinya. Menarik napa panjang, kemudian ia hembuskan secara perlahan.
Pandu mengisap rokoknya yang tinggal setengah batang itu secara berulang-ulang. Saat batang rokok tinggal satu senti, ia membuang putungnya sambil berdiri dari duduknya. Setelah ia menginjak putung rokok itu, Pandu berjalan ke arah seberang jalan.
"Hye..." sapa Pandu saat ia sudah berdiri tepat di samping gerobak Aden. Pandu berusaha bersikap sebaik mungkin, ia menghilangkan kesan sangar di wajahnya.
Yang disapa mengerutkan kening, sambil membungkuk takjim. Perasaan Aden tiba-tiba saja sangat tidak enak.
"Abis ya?" Tanya Pandu sambil melihat gerobak cilok yang terbuat dari kaca.
"Masih a' tinggal satu porsi," jawab Aden. Perasaan yang tidak enak mendadak hilang karena sikap Pandu yang terlihat ramah. Wajahnya juga tidak sesangar seperti Pandu berhadapan dengan teman-tamannya.
"Gue mau dong," ucap Pandu, kemudian ia tersenyum simpul.
"Oh... iya a'.." dengan sigap Aden berdiri dari kursi plastik yang selalu ia bawa. Telapak tangannya yang beruruat begitu cekatan memasukan cilok, dan bumbu sambal yang terbuat dari kacang.
Pandu begitu tertegun memandang wajah Aden yang ternyata begitu berseri kalau dilihat dari jarak dekat. Timbul perasaan iba saat melihat Aden mengusap pelipis dengan punggung tangan. Tiba-tiba timbul rasa ingin bertanya di hatinya, "lu umur berapa sih? kayaknya masih semuran deh ama gue?"
"Oh saya jalan tujuh belas tahun a'..." jawab Aden tanpa melihat yang bertanya. Ia masih sibuk memasukan saos dan kecap ke dalam plastik yang sudah diisi cilok. "Bentar lagi depalan belas."
"Apa gue bilang? Seumuran kan ama gue!" Pandu tersenyum nyengir, ia bangga pada dirinya sendiri karena bisa menebak usia Aden. "Trus nama lu siapa?"
"Saya Aden a'..."
"Oh Aden... gue Pandu."
Aden hanya tersenyum nyengir, karena sebenarnya sudah tahu nama remaja yang kini ada di hadapannya.
"Ini a'..." Aden memberikan cilok yang sudah dimasukan kedalam plastik bening, lengkap dengan bumbunya.
"Berapa?" Tanya Pandu setelah cilok sudah berada di tangannya.
"Tiga ribu a'..."
"Lu nggak usah panggil gue A'a, nggak enak banget dengernya. Lagian kita kan seumuran. Gue juga bukan orang sunda." Ucap Pandu sambil mengambil dompet yang ia taruh di saku bagian belakang celananya. "Panggil gue Pandu." Imbuhnya. Kemudian ia menyodorkan uang pecahan seratus ribu rupiah untuk membayar cilok yang sudah ia beli.
"Yaudah kalau gitu, Pandu."
"Nah gitu dong... jadi nggak berasa tua banget kan gue."
Aden tersenyum nyengir mendengar kata-kata Pandu. Ia merasa terlihat santai sekarang, ternyata anak yang katanya terkenal nakal, sangat bersahabat dengannya.
"Ini ambil duitnya..." ucap Pandu sambil menyodorkan uang, karena Aden masih belum menerimanya sejak tadi.
"Uang kecil aja atuh, haragnya cuma tiga ribu, masak uangnya gede amat."
"Kenapa? Nggak ada kembalian nya?" Tanya Pandu.
"Yaada sih, cuma uangnya receh semua." Ujar Aden menjelaskan.
"Udah nggak papa receh juga, gue nggak ada uang kecil."
"Yaudah kalau nggak papa mah..." Aden mengambil uang pecahan seratus ribu dari tangan Pandu. Kemudian ia menarik laci yang menyatu dengan gerobak ciloknya. Laci yang ukurannya kecil itu biasa ia gunakan untuk menyimpan uang hasil penjualan.
Namanya juga pedagang cilok, harganya cuma tiga ribu. Jadi wajar saja jika di dalam laci itu isinya pecahan uang kecil. Paling besar nominalnya sepuluh ribu rupiah.
Aden menghitung kembalian sambil merapihkan uangnya karena banyak yang menggulung atau lecek.
Sedangkan Pandu memperhatikannya dengan tertegun.
Tin... tin...!!
Belum selesai Aden menghitung jumlah kembalian yang harus diberikan pada Pandu, suara klakson mobil mengalihkan perhatian mereka.
"Jemputan gue dateng, udah kembaliannya ambil aja." Ucap Pandu sambil berjalan cepat menuju mobil
Alphard yang sudah berhenti di dekat halte bus.
"Tapi Pandu...!" Aden mencoba berteriak namun Pandu tidak menghiraukannya. Ia juga buru-buru menghitung jumlah uang kembalian, tapi sayang, begitu Aden selesai menghitung dan berusaha mengejar mobil Alphard yang membawa Pandu sudah meluncur dengan kecepatan tinggi.
~♡♡♡~
"Pantes lama..." Pandu mendengus kesal, sambil menyandarkan punggungnya di jok mobil.
"Maaf sayang, tahu sendiri Jakarta macetnya kayak apa kan?" Jelas ibu Veronica yang ternyata ikut menjemput Pandu bersama sopir pribadinya karena ada keperluan. Biasanya ibu Veronica tidak pernah ikut sama sekali, kebetulan ia sedang malas membawa mobil sendiri.
"Dari tadi mami muter-muter nyari menu makanan pembuka buat acara arisan mami minggu depan. Tapi nggak ada yang cocok, semua menu makanan yang ada Jakarta sudah kami coba. Kamu tahu sendiri ibu-ibu arisan mami yang ini ribetnya seperti apa? Permintaan mereka aneh-aneh."
Ibu Veronica menjelaskan panjang lebar, tapi Pandu hanya memutar bola matanya. Ia sangat malas mendengarkan.
"Maklum saja mereka wanita-wanita sosialita, yang perfeksionis tiap arisan harus dengan menu makanan yang terbaru." Lanjut ibu Veronica sambil melihat-lihat tas hermesnya yang belum lama ia beli.
"Bukan urusan Pandu."
Pandu memperhatikan cilok yang masih ia pegang dan belum sedikitpun ia mencicipi. Ia merasa sangat penasaran dengan makanan yang belum pernah ia coba sekalipun. Kemudian ia menusuk cilok menggunakan tusuk yang sudah disiapkan oleh Aden. Secara perlahan Pandu membuka mulutnya dan...
"Stop...."
Ibu Veronica membuat sopir yang sedang menyetir terkejut. Terutama Pandu ia juga sangat terkejut sampai menjatuhkan cilok yang belum sempet menempel di bibirnya yang merah.
"Apaan sih mami? Ngagetin aja deh. Kotorkan celana Pandu." Keluh Pandu sambil melihat celana di bagian paha yang kotor karena terkena bumbu cilok.
"Itu makanan apa sayang?" Ibu Veronica mengerutkan kening, sambil menatap jijik, cilok yang sedang dipegang Pandu.
"Cilok." Jawab Pandu singkat.
"Astaga makanan apa itu? Inget pesen mami, kamu enggak boleh jajan sembarangan. Kamu enggak tahukan gimana proses pembuatan makanan itu? Hati-hati sayang. Perut kamu nggak boleh di'isi sama makanan yang enggak jelas asal ususl-usulnya. Kamu bisa sakit perut. Mami enggak mau anak kesayangan mami terkontaminasi dengan makanan kampung. Mami yakin sekali itu pasti nggak steril. Penjualnya juga pasti jorok, terus banyak keringetnya... ih.. jiji....k."
ibu Veronica menarik tubuhnya menjauh dari cilok itu. Mulutnya meringis, sepertinya wanita yang mempunyai toko perhiasan itu benar-benar jijik dengan makanan yang terlihat asing baginya.
"Plis mi... nggak usah lebay. Kata temen-temen Pandu ini makanan paling enak. Murah dan meriah. Nggak usah kuatir sama kebersihannya dijamin sehat. Pedagangnya juga enggak jorok." Ujar Pandu menjelaskan. "Pandu penasaran, makanya Pandu beli."
Pandu kembali menusuk sebutir cilok, air liurnya sudah hampir keluar karena ia benar-benar sangat ingin merasakan cilok itu. Oleh sebab itu Pandu tidak mendengarkan kata-kata ibunya.
"Emmm.... beneran mi enak." Ucap Pandu sambil mengunyah dan meresapi rasa cilok yang sudah berada di dalam mulutnya. "Mami mau?" tawar Pandu sambil menyodorkan sebutir cilok yang sudab ia tusuk tepat di hadapan wanita yang ia panggil mami.
"No..." ibu Veronica beringsut mundur menjauhkan dirinya dari Pandu. "Jauhkan makanan itu dari mami."
"Mami enggak usah berlebihan. Ini beneran enak, steril, pedagangnya juga enggak keringetan. Lagian mi, jangan makanan Internasional terus yang mami coba. Belum tentu juga itu makanan sehat kan? mending ini, asli has Indonesia dijamin sehat, aman tanpa bahan pengawet. Mami harus cinta sama produk lokal."
Pandu berbicara panjang lebar, masih dengan mengarahkan sebutir cilok ke arah ibunya.
"Ayolah mi cobain dikit, enak beneran," bujuk Pandu.
"Enggak Pandu. Plis jauhin itu dari mami." Tolak ibu Veronica yang duduknya semakin mepet pada pintu mobil.
"Hem..." Pandu menarik kedua ujung bibirnya. "Yaudah..." ucapnya sambil memasukan sebutir cilok yang ia sodorkan pada ibunya tadi.
"Emmm... beneran mi ini enak banget." Ucapnya sambil mengunyah cilok di mulutnya. "Mami nyesel pasti kalau enggak mau nyobain."
Pandu terus mengunyah sambil memejamkan mata. Ia terlihat begitu menikmati, sekaligus menggoda ibu Veronica supaya mau mencicipi cilok jualan Aden.
"Beneran enak?" Tanya ibu Veronica. Ia masih mengerutkan kening, namun terlihat penasaran. "Steril nggak tuh?"
Pandu tersenyum sambil tetap mengunyah ciloknya. Kemudian ia kembali menusuk sebutir cilok dan kembali mengarahkan pada ibunya.
"Kalau nggak nyobain, mana tau," ucapnya sambil mendekatkan sebutir cilok di bibir ibunya.
Ibu Veronica hanya memandang cilok itu. Ia nampak ragu untuk mencobanya. Sedikit-demi sedikit mulutnya terbuka dan...
"Hap...!" Ucap Pandu sambil dengan paksa memasukkan cilok itu kedalam mulut ibunya. Sehingga mau tidak mau ibu Veronica dapat merasakan bumbu dan sedikit mengunyah ciloknya.
Awalnya ibu Veronica mengerutkan kening, namun lama-kelamaan ia mulai meresapi dan merasakan enakanya cilok itu.
"Enak juga..." ucap ibu Veronica setelah ia habis mengunyah dan menelan sebutir cilok.
"Apa Pandu bilang. Ini tu enak..."
Ibu Veronica mengangguk-anggukan kepalanya. Beberapa saat ia terdiam dan terlihat sedang berpikir.
"Eh Pandu...!"
"Ya mi...!" Jawab Pandu sambil menghabiskan sisah ciloknya.
"Mami punya ide, mami yakin temen-temen arisan mami belum pernah nyobain makanan begininan. Mami bisa minta tolong sama kamu, pesenin sama yang jualan cilok buat acara arisan mami minggu depan."
Pandu sedikit tersentak dan menarik wajahnya. "Mami yakin?" Tanya Pandu memastikan.
"Yakin banget..." jawab ibu Veronica sambil tersenyum simpul.
Pandu mengangguk-anggukan kepalanya seraya berkata. "Iya deh, ntar kalau ketemu Pandu pesenin."
"Kasih alamat rumah kita biar dia bisa langsung antar kerumah kita." Usul ibu Veronica.
Pandu tersenyum simpul.