Di ruang tamu milik tante Inggrid, Aden sedang duduk di kursi tamu yang terlihat sangat mewah. Sedangkan Pandu yang masih memakai seragam sekolah juga duduk di sana, berdampingan dengan Aden.
Tante Inggrid dan tante Siska duduk di kursi berbeda, di samping kanan Aden dan Pandu. Enatahlah, padahal secara penampilan Pandu lebih keren dari pada Aden. Tapi aura yang dimiliki Aden mampu membuat dua wanita dewasa itu tidak berhenti memandang wajah rupawan Aden. Meski sederhana tapi Aden memiliki daya pikat tersendiri.
Senyumnya tulus dan tatapan matanya teduh. Wajar jika kedua tante itu benar-benar ingin membungkusnya.
Kedua tante itu tersenyum menceng, menatap Aden yang masih duduk sambil merundukkan kepalanya.
"Tolong dipikirin lagi, kesempatan tidak akan datang dua kali!" Tante Inggrid masih berusaha membujuk Aden. Sebenarnya ia merasa kecewa sama keputusan Aden yang menolak tawarannya supaya menjadi assisten pribadinya.
Tante Inggrid juga sedikit terkejut kalau Aden ternyata datang kerumahnya tidak sendiri, melainkan bersama Pandu. Selain itu ia sedikit kesal, karena yang lebih banyak berbicara dengannya itu adalah Pandu. Aden hanya diam, terkadang ia cuma menganggukan kepala jika setuju dengan apa yang dikatakan Pandu.
Aden menoleh kesemping, menatap Pandu yang sedang duduk di sebelahnya. Kemudian perhatiannya kembali ke arah tante Inggrid.
"Iya bu, maaf saya enggak bisa terima tawaranya ibu." Manik mata Aden melirik ke arah amplop berwarna cream yang sudah ditaruh di atas meja sama Pandu. "Itu uangnya aku kembalikan aja."
Tante Inggrid menarik napas lembut, kemudian ia bersitatap dengan tante Siska di sebelahnya. Ia terdiam dan seperti sedang merencanakan sesuatu. "Berarti itu artinya kamu sanggup ganti baju tante itu dong?" Ujar tante Inggrid.
Pertanyaan tante Inggrid membuat Aden menoleh ke arah Pandu. Secara kebetulan juga Pandu menoleh ke arahnya. Terlihat Pandu mengangguka kepala sambil tersenyum simpul. Isyarat supaya Aden menyanggupi permintaan tante Inggrid.
Beberapa saat kemudian Aden kembali menatap tante Inggrid, kemudian meski dengan perasaan raguan akhirnya Adenpun menyanggupinya.
"Iya bu, saya sanggup, tapi... tolong kasih saya waktu." Tawar Aden dengan wajah yang memelas.
"Ohiya tante, masak harus ganti sesuai dengan harga baju itu? apa itu namanya bukan pemerasan?" Ucap Pandu.
"Pandu... dengerin tante, baju itu udah rusak, tante nggak mau pakai lagi, kalau enggak rusak tante masih bisa pake berkali-kali-" tante Inggrid menggantungkan kalimatnya. Ia diam lalu melihat Aden dan Pandu secara bergantian. "Yaudah gini aja, nggak usah sesuai harga baju itu, kamu cukup ganti lima puluh juta aja." Tante Inggrid menatap Aden dengan senyum yang sulit diartikan.
Tante Inggrid merasa yakin, seandainya ia menurunkan nomilnya, semisal sepuluh juta pun, Aden tidak akan sanggup menggantinya, pikir tante Inggrid.
Akhirnya Pandu bisa sedikit bernapas dengan lega, meski angkanya masih terlalu besar setidaknya sudah berkurang.
Berbeda dengan Aden, wajahnya masih terlihat lesu, angka lima puluh juta masih sangat besar baginya.
Terlihat Pandu mendekatkan wajahnya di telinga Aden, "udah lu tenang aja, nggak usah kuatir, gue bantu." Bisik Pandu.
Aden hanya tersenyum tipis, wajahnya masih terlihat datar.
"-tapi ada syaratnya," imbuh tante Inggrid.
"Syarat?" Pandu dan Aden bertanya secara bersamaan.
"Iya, kamu tante kasih syarat. Lima puluh juta itu harus udah kamu kasih ke tante minggu depan." Tegas tante Inggrid.
Mendengar waktu sesingkat itu, Aden menelan salivanya. Wajahnya kembali terlihat bingung.
"Oke satu minggu!" Ucap Pandu penuh dengan keyakinan.
Sedangkan Aden refleks menoleh ke arah Pandu. Ia benar-benar tidak yakin.
"Udah lu tenang aja," bisik Pandu kembali. Ia berusaha untuk mencoba menenangkan Aden. Karena ia bisa membaca kebingungan di raut wajah Aden.
"Oke kalo gitu, satu minggu dari sekarang. Kalo kamu nggak bisa kasih uang itu sama tante, kamu harus siap tante ajak ke seuatu tempat," ucap tante Inggrid.
"Hye... Pandu? Aden? kalian di sini?"
Suara Desma yang sedang menuruni anak tangga mengalihkan semua perhatian.
Tante Inggrid mengerutkan kening, ia merasa heran bagaimana bisa putrinya bisa kenal sama penjual cilok itu.
Desma berlari kecil mendekati Aden dan Pandu. Ia hanya memakai celana yang pendeknya sampai di atas paha. Sehingga kakinya yang mulus, dapat terlihat dengan jelas. Selain itu bagian atas tubuhnya hanya ia tutupi menggunakan tang top berwarna hitam saja. Payudara yang ranum, dan belahan dadanya membuat mata lelaki tidak ingin berkedip saat melihatnya.
Seperti Aden, rasanya sulit sekali untuk menghindari pemandangan yang indah itu. Air liurnya sampai habis ia telan.
Jantung Aden berdebar kencang saat Desma sudah berdiri di hadapan Pandu. Keseksian Desma membuat hayalan Aden melayang-layang. Hanya saja ia berusaha bersikap biasa.
Wajarlah jika Aden seperti itu, di kampungnya ia tidak pernah melihat wanita cantik berpenampilan se seksi Desma.
"Lu mau nemuin gue ya?" Tanya Desma penuh percaya diri. Kemudian ia mengambil tempat duduk di tengah-tengah antara Pandu dan Aden. "Udah lama belum? kok nggak ngabarin gue sih?"
"Bukan, gue nganterin Aden, dia ada perlu sama nyokap lu." Jelas Pandu dengan nada yang jutek. Hati Pandu merasa gelisa, karena ia sempat menangkap basah kalau Aden sempat melirik bagian payudara yang ranum milik Desma.
Kedua alis Desma menyatu, matanya menyipit, menatap tante Inggrid dengan tatapan selidik. "Apa? Aden? ada perlu sama nyokap gue?" Tanya Desma, namun perhtiannya tidak beralih dari ibunya.
Ditatap seperti itu oleh anaknya, tante Inggrid menjadi salah tingkah. Ia khawatir jika Desma mempunyai pikiran yang tidak-tidak terhadapnya.
"Desma kamu kenal sama anak itu?" Tante Inggrid mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Ada perlu apa mama sama dia?" Tanya Desma tanpa menjawab pertanyaan ibunya. Ia benar-benar merasa curiga kepada ibunya. Bagaimana tidak Desma sudah tahu persis gimana ibunya, tante Inggrid sering terang-terangan membawa laki-laki se usia Aden dan pandu untuk bermalam di rumahnya.
Dan jika diperhatikan, dibanding brondong-brondong yang sering dibawa ibunya, Aden terlihat lebih istimewa. Meskipun penampilannya sangat sederhana.
"Aden punya utang sama nyokap lo," serga Pandu menjawab pertanyaan Desma yang ditujukan kepada tante Inggrid.
"Utang? Utang apaan? Tolong jelasin gue nggak ngerti?" Tanya Desam dengan kening yang ia kerutkan. Ia menatap Pandu, Aden, dan ibunya secara bergantian. Wajahnya terlihat sangat bingung.
Karena tante Inggrid tidak menjawab pertanyaan Desma, kemudian terdengar Pandu menceritakan kronologi, kenapa ia dan Aden bisa sampai berada di rumahnya. Pandu juga menjelaskan syarat yang diberikan kepada Aden, jika Aden tidak mampu menganti baju sesuai permintaan tante Inggrid.
Desma menyimak dengan antusias, kecurigaan nya mulai terjawab setelah ia mendengar penjelasan dari Pandu.
"Gila, apa-apa ini ma? assisten?" Ucap Desma sambil menatap ibunya dengan tatapan yang mengejek. "Mama nggak waras ya? Pandu sama Aden itu temenku ma, mama nggak usah ganggu mereka. Mama ingetkan aku pernah cerita sama mama waktu aku diganggu preman? Aden yang nolongin aku."
Deg, gawat. Tante Inggrid merasa khawatir dan cemas. Apa mungkin tante Inggrid akan melepaskan Aden sebagai balas budi karena sudah menolong anaknya? Tidak, tante Inggrid tidak akan membiarkan itu terjadi. Ia sudah sangat penasaran ingin merasakan tidur dengan Aden. Selain itu ia sudah terlanjur mengirim foto Aden kepada teman-temannya yang suka mengikuti arisan brondong. Dan semua sudah terlanjur sangat menyukai Aden, mereka tidak mau brondong yang lain, tante Inggrid tidak akan melepaskan Aden begitu saja.
"Oh... jadi Aden yang nolong kamu?" Tanya tante Inggrid berusaha bersikap tenang. Kemudian ia tersenyum simpul dan menatap Aden dengan tatapan yang bangga. "Tante enggak nyangka, kamu pemberani juga ya? Tenaganya pasti kuat-"
Kemudian tante Inggrid mengalihkan perhatiannya ke arah anaknya, "yang ditolong kan kamu, bukan mama, dia punya urusan sendiri sama mama, kalau kamu mau balas budi, jangan sangkut pautkan urusan mama sama dia."
Deg...!
Ungkapan tante Inggrid membuat Desma dan yang lainnya terkejut. Semua tidak menyangka kalimat seperti itu akan keluar dari mulut tante Inggrid.
Aden yang mendengarnya bergidig merinding, ia menjadi takut dengan wanita itu.
Kemudian tante Inggrid berdiri dari duduknya, tatapannya menatap lurus ke arah Aden yang masih terkejut. "Ingat minggu depan uang itu harus sudah ada," ucapnya dengan tegas. Kemudian tante Inggrid menoleh kembali kearah anaknya, "Desma semua fasilitas kamu akan mama blokir, ATM, kartu kredit, visa pokonya semua, nanti mama buka lagi kalau temen kamu sudah menyelesaikan urusannya sama mama. Kamu kalau mau bantu dia pake cara kamu sendiri."
Tante Inggrid sengaja melakukan itu, karena ia tidak ingin Aden bisa lepas begitu saja.
Setelah menyampaikan itu tante Inggrid berlalu meninggalkan Desma, Aden, dan Pandu yang masih bengong di ruang tamu. Sedangkan tante Siska mengikutinya dari belakang.
"Nggrid kamu kejam juga ternyata ya?" Ucap tante Siska sambil mengimbangi langkah tante Inggrid. "Eh tadi aku liat jempol kaki Aden itu besar juga lho..."
Tante Inggrid tersenyum simpul. "Itu sebabnya aku nggak mungkin lepasin dia."
Tante Inggrid dan tante Siska dua wanita berpengalaman. Ia bisa mengetahui ukuran alat kelamin laki-laki melalui jempol kaki. Jika jempolnya besar, maka ukuran penisnya pasti besar, dan sebaliknya, jika jempolnya kecil, maka ukuran kelaminnya pun ikut kecil.
Dan kedua wanita sosialita itu sudah membuktikannya.
~♡♡♡~
Akhirnya Pandu dan Aden bisa bernapas lega, walaupun keduanya sempat dibuat dongkol sama tante Inggrid. Tapi semua itu bisa terbayar dengan kabar baik dari sodaranya Alex. Setelah bertemu dengan Beni, sodara Alex, Pandu bisa langsung mendapatkan job untuk mengikuti fashion show dan pemotretan.
Awalnya Beni juga sempat melirik Aden untuk diajak bergabung ke gancy nya. Namun dengan alasan tidak percaya diri Aden menolak tawaran itu. Aden lebih memilih tetap julan cilok, dan akan mencari pekerjaan sampingan lain untuk membantu mengumpulkan uang itu.
Dalam satu minggu kedepan Pandu sudah akan disibukan dengan berbagai kegiatan modeling. Untung saja semua jadwal itu bisa dilakukan setelah ia pulang sekolah. Jadi Pandu bisa tetap belajar meski akan disibukan dengan kegiatannya yang baru.
"Den lu laper nggak?" Tanya Pandu dengan nada tinggi, karena jalan di kota Jakarta sangat padat dan bising, meskipun hari sudah gelap.
"Iya!" Pandu yang duduk di bagian boncengan sepeda motor milik Lukman juga menjawabnya dengan berteriak. Kemudian ia menaruh dagunya di atas pudak Pandu, supaya jika Pandu berbicara ia bisa langsung mendengarnya.
Mereka berdua baru saja kembali dari kantor Beni. Sejak sepulang sekolah ke rumah tante Inggrid, perut keduanya memang belum terisi makanan sama sekali.
"Sebelum ambil motor lu, gimana kalau kita makan dulu?" Tanya Pandu tanpa menoleh karena ia sedang fokus mengendarai motor.
"Yaudah," jawab Aden.
Pandu tersenyum simpul, kemudian ia menarik gas dan menambah kecepatan laju kendaraannya.
Karena merasa sudah akrab, Aden sudah tidak ragu lagi melingkarkan tangannya di perut Pandu, lalu memeluknya erat. Bagi Aden sesama teman lelaki hal seperti itu sangat lumrah. Ia sering melakukannya dengan teman-teman di kampung jika sedang berboncengan motor.
Tapi bagi Pandu, di peluk rapat dan erat seperti itu adalah hal yang sangat menyenangkan baginya. Jantungnya berdetak kencang.
Beberapa menit kemudian Pandu memarkirkan motornya di sebuah rumah makan. Terlihat keduanya jalan beriringan menuju restoran tersebut.
Pandu dan Aden sudah duduk saling berhadapan di dalam restoran. Aden menebarkan pandangannya di ruangan sekitar, meski retoran yang dipilih Pandu sederhana, tapi ini kali pertamanya Aden makan di retoran.
Sedangkan Pandu sedang sibuk memilih menu makanan melalui buku menu. Ada pelayan wanita yang sedang menunggu sambil memegang pulpen dan catatan kecil.
"Den lu mau makan apa?" Tanya Pandu sambil membuka buku menu.
"Apa ajalah," jawab Aden tanpa melihat yang bertanya. Ia masih sibuk memperhatikan suasana restoran itu.
"Kalau gitu kita pesen ayam bakar aja deh dua," ucap Pandu sambil menutup buku menu lalu memberikan kembali kepada pelayan itu. "Minumnya es jeruk dua, sama air mineral ya." Imbuh Pandu.
Setelah mencatat dan membaca ulang pesanan Pandu, pelayan restoran itu pun langsung berlalu meninggalkan keduanya.
"Den..." panggil Pandu.
Aden langsung mengalihkan perhatianya ke arah Pandu. "Ya..." jawabnya.
"Lu siap nanti antar jemput gue?" Tanya Pandu.
Sebenarnya ia merasa kasihan, karena nantinya Aden pasti akan kelelahan. Setelah jualan cilok Aden mengantar Pandu ke tempat kerja, kemudian ia harus mengantarkan Pandu pulang ke rumahnya. Setelah itu ia baru bisa kembali lagi ke kontrakannya. Selain itu jarak rumah Pandu dan Aden sangat jauh, dan juga berlawanan arah. Belum lagi nanti jika Aden sudah mendapat pekerjaan sampingan, pasti akan sangat memelahkan bagi Aden.
Sedangkan Pandu tidak mungkin meminta antar jemput sopirnya. Ia tidak mau sopir pribadinya memberitahu ibunya soal ia bekerja menjadi model.
Namun karena Pandu melaukan itu untuk Aden, maka dari itu tidak ada alasan bagi Aden untuk mengatakan tidak.
"Pasti siap, kamu kan udah bantu aku." Ujar Aden yakin.
Jawaban Aden membuat Pandu tersenyum simpul, "bagus deh, gue cuma takut ntar lu capek, jarak rumah gue ke rumah elu, sama tempat pemotretan nanti kan bakalan jauh."
"Iya juga sih," Aden terdiam sambil mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian setelah beberapa saat berpikir, akhirnya Aden menemukan sebuah ide.
"Ndu..." panggil Aden.
"Hem..." jawab Pandu.
Aden terdiam sambil mengerutkan kening, ia merasa ragu untuk menyampaikan idenya. Aden merasa khawatir Pandu tidak akan setuju.
"Apa?" Tanya Pandu.
"Em... kalau kita kos aja berdua gimana?"
Pandu menarik wajahnya, ia sedikit terkejut dengan usul yang diberikan Aden.
"Kos?"
"Iya... kalau kamu nggak kebertan sih, kita cari kos yang murah, kalau bisa tempat kosnya tengah-tengah sekolah kamu sama tempat kerja, jadi abis pulang sekolah kita pulang ke kosan, nanti aku antar kamu ke tempat poto-poto itu. Aku tungguin deh, jadi kalau udah selesai kita pulangnya ke kosan aja. Soalnya jarak kerumah kamu sama kontrakan aku jauh banget. Pasti tengah malam aku baru sampe kontrakan, nanti biar Aa aku antar cilok yang mau dijual ke kosan kita."
Aden menjelaskan panjang lebar, meski kalimatnya sederhana, tapi Pandu bisa langsung memahami.
"Bukanya aku keberatan, kamu juga udah baik mau bantu aku, tapi maksudnya biar praktis," imbuh Aden menjelaskan. "Tapi itu kalau kamu enggak mau enggak papa kok."
Pandu terdiam sambil berpikir, beberapa saat kemudian terlihat senyumnya mengembang. Ia tidak menyangka, ternyata Aden pintar juga.
"Ide lu bagus, entar gue pikirin deh," ucap Pandu.
Kemudian Pandu dan Aden saling berpandangan, sambil saling melempar senyum.