Keisha benar-benar menunggu Delima di bangku taman yang kusam itu. Duduk di bangku taman yang warna putih pada catnya telah mengelupas, seolah lapuk dimakan waktu.
Ia duduk di sana dengan tatapan nanar ke permukaan danau yang begitu tenang di pagi ini sementara sepeda gunungnya masih tergeletak di samping kiri bangku begitu saja.
Sang pria 28 tahun duduk dengan segala keresahan dan kegelisahannya, dalam lamunan yang sejatinya adalah teriakan keras berulang-ulang di dalam kepala. Tentang penyesalan pada apa yang telah ia perbuat, tentang ia yang begitu pongah sebab menjadi seorang miliuner muda dan sekejap kemudian terhempas lagi menjadi bukan siapa-siapa.
Tentang sepasang mata yang kini tak lagi dapat menemukan keindahan warna dunia, dan inilah penyesalan paling besar di dalam dirinya kini.
Lambat laun, sepasang mata itu mengalirkan kehangatannya, bergulir perlahan di kedua pipi sembari menunggu dan menunggu.