"Tenanglah, Sayang," Dimas Aerlangga mengecup kepala putrinya yang tengah bersedih hati. "Sudahlah, jangan menangis lagi. Papa… Papa harus bertemu dengan laki-laki itu."
Arni mengangkat wajahnya yang basah, lalu menggeleng.
"Tidak, Pa," ujar sang gadis dengan suara serak dan sengau yang nyaris tidak terdengar sama sekali. "Jangan lakukan kesalahan serupa."
"Tidak, Papa hanya ingin—"
"Pa!" sahut Arni dengan sedikit kencang. "Aku tahu apa yang Papa pikirkan," ia dengan menekan segala kesedihan, amarah, dan kecewa di dalam dadanya menyeka mata dan wajahnya, mencoba terlihat tegar di hadapan sang ayah. "Tidak ada yang bisa kita lakukan, Pa. Aku pun tak hendak bertemu pemuda berengsek itu lagi, selamanya."
"Tapi, Sayang," Dimas menangkup wajah yang sembab itu dengan kedua telapak tangannya. "Dia punya kewajiban untuk menjelaskan hal ini pada kamu, pada Papa, semuanya."