Delima duduk di satu palang kayu lebar dengan dua kaki penahan, tidak mirip seperti sebuah bangku, tapi setidaknya cukup kuat untuk menahan tubuh gadis tersebut sementara Andham hanya berdiri sembari dua tangan berada di saku depan celananya.
"Harus berapa lama lagi kita menunggu, Andham?" tanya sang gadis.
Pria itu melirik arloji tua di pergelangan tangan kirinya. Sudah lima belas menit mereka menunggu angkutan di sana.
"Ini daerah pinggiran, Delima," ujar si pria. "Angkutan yang ada hanyalah berupa mikrolet yang muncul tidak setiap saat. Bersabarlah."
Delima mengela napas dalam-dalam, sementara sang surya yang bersinar lumayan terik pada siang ini membuat wajah sang gadis memerah dan berkeringat.
Andham mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya, lalu memberikan sapu tangan itu kepada Delima.
"Kau berkeringat, Delima," ujarnya. "Ambil ini, dan gunakan untuk mengelap wajahmu itu."
Delima tersenyum. "Terima kasih."