Delima memandangi lagi wajah sang ibu, ke dalam bola matanya yang bening seolah telaga hijau yang menyegarkan itu.
Sang ibu tersenyum lagi, dan mengangguk. "Apa yang dikatakan nenekmu tadi benar, Sayang."
"Aah… Ibu," Delima kembali menjatuhkan pipinya ke dada sang ibu, memeluk sang ibu dengan lebih erat lagi. "Maafkan aku."
"Tidak," sahut Delisa, jemari tangannya menyisir helaian-helaian basah rambut putrinya. "Kau tidak bersalah, kenapa harus meminta maaf kepada Ibu, Sayang?"
"Aku bersungguh-sungguh, Bu," ujar Delima, dan sebentar saja sepasang matanya itu pun sudah berkaca-kaca. "Ak—aku… aku begitu cengeng, begitu manja dan kekanak-kanakan dengan rasa rindu yang aku alami ini tanpa aku pernah memikirkan bahwa sesungguhnya Ibu juga sangat menderita."
Delisa tersenyum tipis, namun itu terlihat sangat manis. Ia mengecup lagi kepala putrinya itu.
"Maafkan aku, Bu," Delima tidak kuasa menahan tangisnya.