Senandung tanpa lirik itu pun kembali terdengar dari mulutnya dengan bibir yang bergerak-gerak halus. Sesekali, Delima memutar tubuh dengan kedua tangan terentang lebar ke samping, ujung-ujung jemari tangannya menyentuh dedaunan, ditingkah pula dengan denting dari ketiga tabung kaca di dalam bakul. Maka sempurnalah langkah kaki yang sesekali berjingkrak dalam suasana hati yang riang gembira.
Sementara itu, tidak jauh dari kawasan danau alami tersebut dari arah sisi utara keberadaan bangku usang di tengah dua taman bunga, Keisha sedang menuntun sepedanya.
Jalanan itu mungkin hanya Keisha seorang saja yang selama ini menggunakan bersama sepedanya. Sehingga, rumput-rumput tebal sama sekali tidak menghilang pada setiap jejak langkah yang ditinggalkan. Dan lagi, kontur tanah dari jalan setapak tersebut sedikit bergelombang, itu sebab Keisha lebih memilih menuntun sepedanya saja menuju bangku di taman tersebut daripada harus mengendarai sepeda dan kemudian mengalami kecelakaan, tentu itu bukan pilihan yang bijak. Terlebih, Keisha bukan seorang atlit sepeda gunung.
Dengan sedikit perjuangan—seperti yang sudah-sudah—Keisha akhirnya sampai juga di areal kecil taman bunga yang tak terurus tersebut. Ia langsung mendekati bangku usang di tangah-tangah taman, memarkirkan sepedanya di belakang bangku.
Keisha sempat memandang ke sekitar, lalu tertuju pada kelebatan pepohonan di sisi selatan danau.
Apa yang aku harapkan? Keisha tersenyum. Dan Keisha harus mengakui, bahwa itu adalah senyum pertamanya dalam beberapa bulan terakhir. Aneh, gumamnya di hati. Apa yang sudah terjadi? Karena gadis itukah?
Kembali tatapan dengan bola mata coklat gelap di bawah naungan dua alis tebal bengkok bak celurit itu menelisik kerimbunan pepohonan di sisi selatan.
Tidak ada.
Untuk kedua kalinya ia tersenyum, lalu tertunduk. Harus ia akui, ia merasa canggung dengan senyuman di bibirnya sendiri. Itu, bukan satu kebiasaan baginya—setidaknya, tidak semenjak delapan tahun yang lalu.
Apa yang bisa diharapkan? Pikirnya lagi sembari mendudukkan diri di atas bangku putih kusam itu. Ini terlalu cepat.
Lalu pandangannya kini memindai areal di sekitar danau, terutama di sisi timur di mana terdapat cukup banyak bangunan untuk bermain bagi para wisatawan. Terlihat tak lebih dari seujung kuku dari posisi Keisha duduk sekarang itu.
Sepi. Belum seorang pun yang terlihat di sana, tidak juga para pengelolanya.
Yaah, benar, gumamnya lagi di dalam hati. Terlalu cepat. Bukankah gadis penguntit itu bilang akan datang lagi di jam tiga sore ini?
Keisha lalu melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. Pukul 11.08 pagi menuju siang. Ia menghela napas dalam-dalam. Menyandarkan punggung, lalu tenggelam dalam lamunan dengan pandangan tertuju ke permukaan danau yang beriak-riak pelan disapu siuran angin.
Sesekali ia coba mencerna rumpun-rumpun bunga yang tumbuh di tepian danau, juga semak belukar yang sepertinya sedang berbunga.
Dan kemudian, kembali lagi pada riak-riak air yang sedikit mampu menenangkan pikiran.
Semua keindahan yang nyata terpampang di depan matanya itu, tak sedikit jua bisa dinikmati oleh Keisha, kecuali… ya, riak-riak kecil di permukaan itu sendiri. Itu pun riak-riak tersebut hadir dengan warna berbeda di dalam pandangannya.
Hijau tak lebih dari sekadar warna krem kusam di matanya. Merah terlihat seperti kuning kecoklatan, orang-orang bilang warna yang burik tak sedap dipandang, bahkan terkadang terlihat seperti hitam bagi Keisha. Dan yaa, lagi-lagi Keisha merasa kesal sendiri sebab bunga-bunga berwarna ungu dari rumpun belukar liar di satu sisi danau itu terlihat hanya seperti warna biru yang kehilangan keindahannya. Ia bahkan tak yakin, apakah warna biru dalam pandangannya itu benar-benar biru seperti yang seharusnya? Atau justru warna berbeda yang mengelabui dirinya selama ini.
Keisha tertunduk, dua tangan berada di atas kedua lutut. Tidak ada yang bisa ia nikmati di antara kedua pijakan kakinya itu. Rumput-rumput yang kata orang-orang berwarna hijau terlihat menjijikkan.
Perlahan mata itu terpejam. Dan biarlah sentuhan lembut sang bayu memanjakan tubuh. Setidaknya, angin tak berbohong kepada dirinya, bahwa sapuan sepoi-sepoi itu benar-benar memberikan ketenangan, bukan sekadar janji belaka.
Delima bermaksud untuk kembali menyusuri arah dari mana tadi ia datang untuk pulang ke rumahnya, hanya saja, seperti ada sesuatu yang menahan langkah kaki dan berbisik ke dalam hati untuk tidak melewati arah tersebut.
Dan kini, gadis manis itu malah memandang ke arah timur—arah di mana beradanya danau kecil.
Dengan langkahnya yang riang, Delima menerabas semak dan rumput-rumput liar ke arah timur. Cuaca menjelang tengah hari ini tidak begitu terik, hawa sejuk dari rindangnya pepohonan memberi ketenangan dan kesegaran yang sangat berarti bagi Delima. Ia terus melangkah dengan senandung lembut dari mulutnya yang tak henti-hentinya tersenyum merekah.
Satu dua ekor kupu-kupu terbang mengitari gadis tersebut seakan-akan ingin menemani langkahnya menuju danau kecil, wajah gadis itu semakin berseri.
Seekor burung merbah terbang rendah dari arah belakang dan melintas dekat sekali di atas kepala Delima yang membuat Delima tertawa-tawa kecil sembari melambaikan tangannya meminta burung itu kembali. Tapi sepertinya percuma, burung merbah itu mungkin lebih tertarik pada suara kicau pasangannya di satu sudut hutan.
Semakin mendekati taman bunga di tepi danau sisi barat itu, langkah kaki Delima semakin mirip seorang penari tradisional dengan gerakan tangannya yang seolah-olah sedang memegang selendang sutra. Sepasang kupu-kupu liar itu masih setia menemani langkahnya, namun saat gadis itu terhenti karena merasa geli hati pada gerakan tangan dan kakinya sendiri yang sedikit serampangan, kupu-kupu tersebut akhirnya terbang menjauh.
Delima hanya bisa tersenyum lebar memandangi sepasang serangga bersayap indah itu menjauh, tak lupa pula ia melambaikan tangannya. Setelah itu, Delima kembali melanjutkan langkah untuk pulang.
Keisha mendengar suara senandung dari arah belakang, sayup-sayup sampai. Untuk sesaat, ia tidak menghiraukan suara tak jelas itu. Namun, semakin lama terdengar semakin mendekat, juga seolah ada sesuatu dalam senandung yang tak lebih dari sebuah suara bergumam tersebut.
Laki-laki itu lantas berdiri, lalu menoleh ke arah belakang. Kerapatan pepohonan sedikit menyulitkan bagi Keisha untuk menelisik lebih jauh siapa sosok yang terlihat seperti sedang menari-nari di ujung sana itu.
Dari kejauhan, Delima melihat ada sesuatu yang berdiri di dekat sandaran bangku usang di tengah-tengah taman itu. Sejenak, ia menghentikan langkahnya. Sepeda? Lalu, ada seseorang yang berdiri dari duduknya, dan kini seperti memandang ke arah dirinya.
Hei…! Bukankah itu laki-laki yang kemarin?
Satu garis lengkung yang teramat manis hadir di bibir Delima. Tidak menunggu lebih lama lagi, ia pun melangkah cepat mendekati taman kecil di tepian danau tersebut.
Keisha pun tersenyum, sebab sosok itu ternyata gadis yang sama. Hanya saja, senyuman itu kembali menghilang dari mulutnya. Lagipula, Keisha merasa sedikit canggung dengan hal tersebut.