Andaikan kali ini tidak ada hal penting yang harus diselesaikan, maka sang rekan lebih rela untuk keluar saja dari ruangan itu. Biarlah ia tidak mendengar sama sekali daripada terbayang-bayang di dalam kepalanya kekusutan laki-laki di depan dinding kaca itu.
"Sekarang baru tanggal sebelas," Kurnia melirik arloji di pergelangan tangan kirinya, "dua hari lagi Papa pulang ke Lampung. Jangan terlalu diambil hati. Atau, Mama telpon saja Shifa. Minta Shifa untuk menemani Mama barang satu hari. Suaminya pasti akan memberi izin, Papa yakin."
"Baiklah, Pa." Mutiya menyeka mata yang basah.
Setidaknya, percakapan yang hanya sebentar dengan sang suami sedikit-banyaknya telah mengurangi rasa sesak di dalam dada yang ia tahan-tahan belakangan ini.
"Jaga kesehatan," ujar Kurnia lagi.
Setelah itu, panggilan itu pun terputus. Tapi, untuk sesaat, Kurnia masih berdiri di depan dinding kaca itu. Helaan napas yang panjang itu lagi.
"Kalau Pak Kurnia sedang tidak ada mood," wanita itu akhirnya berbicara juga. Paling tidak, ia tahu panggilan telepon itu sudah berakhir. "Kita bisa lanjutkan sore nanti, atau mungkin besok saja?"
Kurnia memutar langkah, kembali duduk di kursinya. Memandangi ponsel di tangan sesaat sebelum diletakkan ke atas meja, lagi.
"Tidak apa-apa. Kita teruskan saja."
"Pak Kurnia yakin?"
"Tidak masalah." Kembali ia menghela napas lebih panjang demi menentramkan perasaan yang berkecamuk. "Sudah terbiasa?"
Sang rekan tersenyum. Ya, setidaknya selama ini reputasi Kurnia cukup baik di kalangan rekan-rekan kerja mereka di kantor itu. Tidak pernah bermasalah meskipun sedang dililit masalah keluarga, dan selalu bisa diandalkan. Itu yang ia kagumi dari laki-laki di hadapannya itu.
"Kenapa tidak memboyong keluarga Bapak ke Jakarta ini?"
Kurnia tersenyum, menggeleng ringan. "Pertanyaan yang sama lagi."
"Saya hanya, yaa—sebut saja, sedikit penasaran. Kenapa harus berjauhan jika bisa berdekatan. Toh, saya tidak merasa Pak Kurnia sedang kesulitan ekonomi."
"Andai bisa semudah itu," Kurnia berkeluh kesah dalam embusan napasnya yang terdengar masygul di telinga.
Ya, sang rekan benar.
Bukannya tidak pernah Kurnia punya pikiran untuk pindah saja ke Jakarta ini, memboyong keluarganya—kecuali mungkin Shifa saja, sebab sudah berumah tangga. Hanya saja, seperti yang ia ungkapkan barusan itu: Andai bisa semudah itu, tentu ia dengan senang hati membelikan rumah seperti apa pun keinginan keluarganya, terutama dari Keisha.
Tapi tidak.
Keisha sedikit pun tidak peduli ketika ia pernah—dan sering malah—mengungkapkan niatnya untuk pindah saja ke Jakarta, lebih-lebih itu akan membuat Kurnia sendiri menjadi lebih dekat dengan kantornya. Sekaligus, ia akan lebih punya waktu untuk ikut mengawasi sang anak sulung bersama Mutiya tentunya.
Tapi semua hanya akan menjadi percuma bila ia harus membeli rumah di Jakarta ini. Berdua saja dengan sang istri, itu justru sesuatu yang tidak akan terjadi. Sebab, Mutiya sangat-sangat mengkhawatirkan kondisi putra sulung mereka itu. Tentu saja, karena ia seorang ibu, pun begitu dengan dirinya sendiri sebagai seorang ayah.
Ya, tidak semudah yang dibayangkan.
"Sudahlah, kita lanjut saja. Sampai di mana tadi?
Sang rekan tersenyum, mengangguk. "Baiklah, Pak."
***
Di sisi barat hutan rimba itu Delima menemukan apa yang ia cari. Sarang lebah madu yang siap dipanen—menurut ciri-ciri yang telah diajarkan dari sang nenek ke ibunya, dari ibunya ke Delima sendiri.
Terhitung ada dua sarang besar yang bisa dipanen Delima. Dan itu adalah botol ketiga yang harus dipenuhkan oleh Delima dengan cairan kental kuning keemasan itu, bahkan cenderung gelap. Mungkin karena di kawasan tersebut cukup banyak terdapat pohon-pohon akasia, sehingga mempengaruhi warna dari madu itu sendiri, sebab para lebah mendapatkan cairan bernutrisi tinggi itu dari pohon-pohon akasia tersebut.
Tidak seperti di tebing batu yang tadi, Delima tidak menggunakan bangku-bangku untuk dapat menjangkau sarang-sarang lebah di kawasan yang satu ini.
Lebah-lebah itu menggantungkan sarang mereka pada dahan-dahan dari pohon kapas. Tidak tinggi, hanya setinggi orang dewasa saja. Seolah, pohon-pohon kapas yang dari batang hingga ke daunnya didominasi warna hijau dan berduri itu sengaja ditanam di sana. Dan tidak lebih dari lima batang saja.
Pada setiap dahan itulah sarang-sarang yang mengandung cairan alami itu berada. Cairan alam yang bahkan semenjak ribuan tahun yang lalu telah digunakan dan dimanfaatkan, tidak saja demi rasanya tapi juga segala manfaatnya untuk kesehatan dan kecantikan.
Uniknya lagi, Delima tidak memanen madu dari sarang-sarang lebah itu sebagaimana yang sering dilakukan orang banyak. Ia tidak merampas sarang-sarang itu lalu dimasukkan ke dalam ember. Tidak. Bahkan nyaris tidak merusak sarang lebah itu sendiri.
Gadis itu hanya menggunakan satu ranting lurus seukuran dua jengkal tangan. Lalu melubangi sisi terbawah dari sarang lebah yang berbentuk kurva terbalik itu, tanpa menganggu lebah-lebah yang sibuk hilir mudik. Dan setelah dua-tiga titik, cairan berharga itu mengalir pelan ke dalam wadah penampungan di tangan Delima.
Sang gadis tersenyum-senyum menatap lebah-lebah yang berkerumun di dinding sarang. Sesekali terlihat seperti bergelombang layaknya gerak para penari. Atau dengung-dengung halus dari kepak sayap makhluk hitam-kuning tersebut.
"Terima kasih," ujar Delima dengan lembut kepada para lebah.
Entah serangga-serangga berpenyengat itu mengerti atau tidak, Delima sepertinya tidak menghiraukan itu. Ia tetap saja berkomunikasi dengan mereka.
"Terima kasih sudah memberikanku madu-madu ini. Tapi, sepertinya tidak sekental yang sebelumnya. Kenapa, ya?" Delima tertawa halus. "Apa karena belakangan ini hujan sering turun?" tanyanya lagi. "Yaah, pasti begitu."
Setelah nyaris penuh botol kaca di tangan Delima terisi oleh madu dan tetesan madu dari sarang itu sudah menjadi tetes-tetes kecil yang lambat, Delima pun menutup botol terakhir tersebut. Menempatkan botol itu ke dalam bakul kecil, menyelip di antara dua botol lainnya yang telah lebih dulu terisi madu.
"Terima kasih, ya," ujar Delisa kepada para lebah.
Seakan merespon ucapan gadis tersebut, lebah-lebah itu berdengung lantas melakukan gerakan secara bersamaan sehingga terlihat seperti sebuah gelombang dari satu sisi sarang ke sisi lainnya, layaknya sekumpulan penari latar.
Delisa terkikik manja.
"Kalian benar-benar baik. Sayangnya, aku harus pergi dulu, nanti nenek mencariku, bisa gawat," kikiknya lagi. "Sampai jumpa lagi. Banyak-banyaklah melahirkan keturunan, agar kalian tetap lestari," seru Delisa sembari melangkah menjauh dari sarang-sarang lebah tersebut.
Seperti saat ia datang begitupula kala gadis itu melangkah pulang. Tapi kali ini, jauh lebih ceria lagi sebab tiga botol kaca di dalam bakul di punggungnya itu terisi penuh. Senyum di wajah sang gadis selalu mengembang indah, semakin meneriakkan kecantikan wajahnya yang begitu sedap dipandang mata.
Senandung tanpa lirik itu pun kembali terdengar dari mulutnya dengan bibir yang bergerak-gerak lembut. Sesekali, Delima memutar tubuh dengan kedua tangan terentang lebar ke samping, ujung-ujung jemari tangannya menyentuh dedaunan, ditingkah pula dengan denting dari ketiga tabung kaca di dalam bakul.