Chereads / Perjalanan Menuju Puncak Kebahagiaan / Chapter 6 - Benih Cinta (4)

Chapter 6 - Benih Cinta (4)

"Ahaha... Itu..." jawab Dody kikuk.

Sore itu, Dody berada di tengah-tengah para kerabat dari korban serangan hewan buas yang diobati oleh Putri.

Berkumpulnya anak-anak dan juga istri yang mengkhawatirkan mereka, membuatnya merasakan kehangatan sebuah keluarga yang semasa hidupnya di Bumi tak pernah ia rasakan, karena Dody adalah yatim piatu.

Dalam sebuah ruangan tanpa pembatas, dengan alas papan bersih mengkilap dan juga aksesoris unik yang menempel di sepanjang dinding, Dody sadar betapa sepi kehidupannya yang dulu.

Namun beberapa potong kenangan yang tiba-tiba terbesit segera ia singkirkan, tatkala ada 2 bongkah melon menggoda di depannya.

Wanita itu mulai beranjak dari kumpulan beberapa wanita setengah baya lainnya dan duduk tak jauh dari Dody.

"Silahkan dibuka saja, Mas. Tak usah sungkan!" ucapnya.

Mas adalah sebuah sebutan untuk laki-laki yang baru dikenal ataupun kepada seorang pria yang lebih tua.

Namun jika orang yang lebih tua memanggil dengan sebutan mas kepada yang lebih muda, itu menandakan bahwa ia menghormati orang tersebut ataupun mengibaratkan panggilan dari anak cucunya.

"En. Itu... Bukankah rasanya kurang pantas, jika suamimu saja masih terbaring lemah dan aku menikmatinya?"

Dody menolaknya dengan halus. Karena dipandanganya kini beberapa pria termasuk suaminya tengah terkapar, dengan darah yang berkucuran.

Tak cukup sampai disitu, beberapa wanita lain segera ikut nimbrung dalam pembicaraan tersebut. Salah satu dari wanita itu segera beranjak maju, membungkukkan tubuhnya yang kemudian memperlihatkan melon miliknya.

"Hmph... Namanya lelaki! Pasti nanggung kalau ukurannya cuma segini." ucap wanita itu seraya mendorong melon wanita pertama, menjauh.

"Nih melonku aja Mas, yang lebih besar!" tawarnya menyodorkan melon yang ukurannya jauh lebih besar.

"Ini adalah yang terbaik, dari yang mereka semua miliki. Karena punyaku selalu dirawat oleh Mas Joko tiap hari, yang akhirnya bisa membesar segede ini."

"Ya, meskipun ukurannya membesar, tapi bagian kulitnya tetap kencang dan isinya pun memiliki tekstur lembut saat berada di mulut." lanjut wanita itu menjelaskan dengan nada khas keibuan.

Dody pun menelan ludah, "Glek..."

"Apakah semua wanita disini memang memiliki melon yang menggugah selera seperti ini? Ahihihi..." batinya.

Namun di tengah keasikanya dengan melon para wanita itu, tersibak tirai penutup pintu dapur dari jari lentik yang menampilkan keelokan wanita dewasa penuh pesona.

"Jangan menggodanya!" sudut bibir mungil itu terangkat tatkala mengeluarkan kata berucap dengan suara lembutnya.

"Ah, Kepala Desa!"

"Kepala Desa." kata sambutan dari beberapa orang yang hadir.

"Em." balasnya singkat.

Wanita itu melangkahkan kakinya dan berkata, "Melon-melon ini adalah hasil panen mereka sendiri, Kisanak* tak perlu sungkan memakanya. Bila perlu, bawalah pulang beberapa!"

*[Kisanak adalah sebuah kata ganti untuk Anda, rekan, kawan, dan sebagainya. Yang pada saat itu digunakan untuk menyapa dengan rasa hormat kepada orang yang baru ditemui.].

Desa Wono Sari yang memiliki lahan tanah subur pun dimanfaatkan oleh warga sekitar sebagai lahan pertanian, sehingga mereka semua tak kekurangan pangan dan bisa bertahan hidup hingga sekarang.

Beberapa lahan di dataran tinggi dimanfaatkan untuk menanam buah dan sayur, dan lahan yang lainnya digunakan sebagai sawah karena lokasinya dekat sungai.

Dody berdiri menyambutnya, "Emh. Baik, terima kasih banyak. Oh ya, panggil saja aku Dody." ucapnya ramah memperkenalkan diri.

Karena salah menduga, Dody pun kaget mengetahui bahwa wanita cantik itu sebenarnya adalah Kepala Desa Wono Sari.

"Aku fikir Kepala Desanya adalah seorang lelaki tua yang rambutnya sudah putih. Tapi siapa sangka, ternyata adalah seorang wanita cantik yang masih terlihat muda." batinya keheranan.

"Em, baiklah! Tak perlu formal!" ucapnya dengan melambaikan tangan kearah Dody.

Kepala Desa wanita itu segera berlalu menuju ke arah Putri yang sedang mengobati 2 orang terakhir.

"Bagaimana keadaan mereka?" tanya Kepala Desa pada Putri yang masih sibuk membalut luka.

"Luka mereka tak membahayakan nyawa! Tapi saat ini, beberapa orang masih lemah karena terlalu banyak kehilangan darah." jawabnya tanpa menoleh.

"Oohh. Syukurlah!"

"Semuanya kuserahkan kepada mu. Jika perlu sesuatu, katakan saja!" balasnya dengan meletakkan tubuh disamping Putri untuk menemaninya.

"Em. Serahkan padaku!" balas Putri singkat, dengan tangan yang tetap sibuk.

Waktu berlalu dengan cepat, hingga malam pun tiba. Sementara itu, beberapa orang yang sudah diobati pun satu persatu pergi setelah mengucapkan rasa terima kasihnya.

Putri yang memilik hati baik, selama ini tak pernah mengambil upah dari hasil pengobatan. Sebagai gantinya, orang yang diobati oleh Putri akan mengirimkan beberapa persediaan pangan dan mengantarkan kerumahnya. Karena jika diminta untuk membawanya pun, Putri akan menolak.

Setelah beberapa saat, ruangan luas rumah Kepala Desa yang tadinya penuh dengan hiruk pikuk, kini seakan ditelan oleh gelapnya malam.

Hanya Putri dan Kepala Desa yang masih tetap mengobrol sejak seusainya menyantap hidangan makan malam dengan penerangan lampu minyak. Dari percakapan itu, Dody mendengarkan bahwa Kepala Desa meminta kepada mereka berdua supaya menginap disana yang kemudian disetujui oleh Putri.

Sementara Dody yang tak memiliki topik sekaligus teman bicara, berpamitan untuk tidur lebih awal. Mata sipit dari tubuh letih yang belum tidur sedari kemarin, kini tertutup rapat ditemani suara dengkuran halus.

Di tengah suara dengkuran yang kian meninggi, tubuh itu terperanjat kala terhenyak dalam mimpinya. Dody berusaha memejamkan matanya lagi, namun terdengar suara pintu dibuka.

Mencoba keluar untuk mencari tahu siapa yang keluar tengah malam sekaligus mencari udara segar, Dody segera bangkit dan melangkahkan kakinya.

Bola mata hitam kecoklatan itu bergerak kekanan, tatkala memandang jauh di pojok halaman. Terlihat sebuah tangga merambat di dinding menuju atap rumah Kepala Desa.

"Srekk... Srekk..." suara seretan sandal jerami, yang menjadi alas kaki Dody.

Sesaat setelah sampai diujung anak tangga, mata pemuda itu terbelalak takjub seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Terbentang luas persawahan yang mulai menguning, di lingkari pegunungan yang menjulang tinggi.

Namun dari semua pemandangan itu, seorang gadis yang sedang duduk menjadi fokus dari pandangan matanya. Rambut terurai menampilkan keanggunan yang di terangi oleh cahaya rembulan melingkar dengan cahaya indahnya.

"Ah... Pemandangan yang sangat indah! Hm. Ternyata benar, Putri disini." gumamnya sembari menaiki tangga dan bergegas menghampirinya.

"Apa aku membangunkanmu?" tanya Putri kala tubuh Dody duduk disampingnya.

Dody memegang tangan Putri dengan erat, "Enggak! Aku memang sudah terbangun."

"Kamu terlihat lelah, kenapa belum tidur? Maaf ya, aku tadi enggak begitu membantu." ucapnya lembut.

Putri menyenderkan kepalanya di bahu Dody, "Emm, aku sudah terbiasa!"

Setelah beberapa saat. Setelah terdiam untuk waktu yang cukup lama, dibawah penerangan cahaya rembulan yang menambah suasana keromantisan, Putri membuka kembali percakapan.

"Jangan pergi!" ucapnya lembut tanpa merubah posisi.

Mendengar ucapan itu, Dody segera berdiri secara perlahan. Ditatapnya wajah elok nan ayu milik Putri yang juga ikut beranjak mengikutinya.

Di usaplah dengan lembut wajah manis nan imut yang ada didepanya, "Apakah itu yang membebani fikiran mu, hingga tak bisa tidur?"

"Yakinlah! Sejak awal aku menetapkan hatiku padamu, tak pernah sedikitpun terbesit dibenakku untuk pergi meninggalkan mu."

"Putri, aku mencintaimu! Dan hanya ada dirimu di dalam hatiku, aku tak tahu arah jalan pulang, selain menuju rumah mu." ucapnya seraya mengecup lembut kening Putri.

Rasa cemas, gelisah, dan takut kehilangan yang Putri rasakan pun segera sirna oleh ungkapan perasaan Dody yang begitu tulus. Wajah memerah itu tak bisa menutupi rasa bahagia yang terus menggebu-gebu dalam dirinya.

Putri melingkarkan tangannya memeluk tubuh pujaan hatinya itu, "Aku juga mencintaimu!" ucapnya pelan seakan malu-malu.

Sejak malam itu, setelah keduanya mengungkapkan perasaan mereka masing-masing. Putri pun kini memanggil Dody dengan sapaan mas layaknya sebuah pasangan pada umumnya di dunia itu.

............

"Putri... Putri..."

"Sayang..." ucapan Dody beberapa kali memanggil, yang kemudian membuyarkan lamunan kenangan indah itu.

"Eh. Emh... Iya Mas." jawabnya terkaget seraya melepaskan tangannya diri tubuh Dody.

"Sudah 3 bulan aku disini, tapi aku masih mempelajari beberapa pengetahuan dasar Kerajaan Mahasurya. Sedangkan untuk bisa melindungimu, aku harus menjadi lebih kuat." ucapnya seraya meletakkan buku yang ia baca.

"Emh. Itu benar! Tapi selama kita menjadi warga biasa, ancaman terjadinya sesuatu hal yang tidak diinginkan pun jauh lebih kecil."

"Aku percaya padamu, Mas. Kamu bisa belajar membaca dan memahami sesuatu hal dengan lebih cepat daripada orang lain, itu menandakan bahwa kamu adalah seorang jenius."

"Dan aku yakin, bahwa kamu pun akan dengan mudah mempelajari ilmu bela diri maupun ajian ilmu kebatinan." jelas Putri meyakinkan.

Kerap kali Putri membicarakan tentang keinginannya menjalani kehidupan biasa sebagai seorang Tabib, yang hidup damai di desa bersama orang yang ia cintai. Namun bagi Dody yang datang dari dunia berbeda, dan meyakini bahwa kehidupannya akan jauh dari kata tenang pun membuatnya berfikir lain.

Dody akhirnya memutuskan untuk mempelajari segala hal tentang terciptanya kekuatan di Kerajaan Mahasurya.

Dan karena bantuan dari kitab kuno sewaktu Dody terjatuh dari jurang Puncak Dewi, yang pada saat itu membuatnya bisa bicara menggunakan bahasa di tempat itu. Waktu belajar membaca, ataupun menulis huruf aneh yang menjadi tulisan umum kerajaan tersebut pun jauh lebih mudah.

Sedangkan Putri yang meyakini bahwa keinginan Dody untuk menjadi lebih kuat adalah untuk bisa melindunginya pun dengan segenap hati membantunya dengan memberikan buku-buku peninggalan ayahnya.

Dari buku-buku yang Dody baca, ada beberapa metode yang biasanya digunakan oleh para pendekar mencapai puncak kekuatan.

Antara lain dengan berlatih ilmu bela diri Pencak Silat untuk memperkuat tubuh sekaligus perlindungan diri, dan juga melakukan beberapa proses tertentu menjalankan ritual untuk mendapatkan ilmu kebatinan dari ajian khusus yang bisa mengeluarkan kekuatan tak kasat mata ataupun mistis.

Di setiap padepokan ataupun perguruan di Kerajaan Mahasurya memiliki gerakan dan juga ajian unik milik mereka sendiri yang diciptakan oleh leluhurnya.

Ada yang fokus dalam gerak Pencak Silat yang mencakup ilmu berpedang, tombak, dan senjata lainnya, hingga mereka yang memiliki gerak khusus perlawanan menggunakan tangan kosong.

Sedangkan beberapa perguruan lain pun tak sedikit pula yang hanya mengasah ilmu kebatinan, yang mencakup beberapa fungsi tergantung dari ajianya.

Misalnya saja dari Padepokan Malih Rupo, yaitu sebuah perguruan yang hanya mempelajari ilmu kebatinan saja.

Namun meskipun hanya fokus di satu bidang dan tak mempelajari bela diri, para murid disana bisa merubah wujudnya menjadi bentuk yang ia mau sekaligus bisa mengeluarkan kekuatan seperti pemilik bentuk aslinya sehingga bisa melawan musuh tergantung tingkat pemahamanya.

Misalnya saja berubah menjadi bentuk serigala, harimau, singa, dan bentuk perubahan lainnya. Bahkan yang sudah mencapai pemahaman tertentu, mereka bisa berubah menjadi musuh yang dihadapinya sekaligus meniru gerak dan ajianya baik itu manusia sekalipun.

Sementara itu, Putri yang sedang melirik pojok ruangan itu tiba-tiba berjalan kearah sebuah tumpukan buku yang terbuat dari kulit binatang penuh dengan debu.

"Ah. Dody... Lihat ini." teriaknya memanggil Dody untuk menunjukkan sesuatu.