"Hei Akira, ingin mati bersamaku?"
Hembusan angin berlalu, menerpa kami berdua hingga membuat rambut berantakan. Tatapan yang penuh dengan cahaya itu, sekarang telah hilang sepenuhnya, diganti dengan bola lampu yang hampir kehabisan sumber dayanya.
Tatapannya redup, sama sepertiku. Haruka telah kehilangan harapan, sama sepertiku. Haruka sudah tenggelam dalam gelapnya dunia, sama sepertiku. Haruka telah ditelan oleh keputusasaan, sama sepertiku.
Namun, Haruka tidak boleh berakhir sama sepertiku. Itulah yang kuyakini, dia telah membuatku kerepotan sampai sejauh ini, dialah juga yang sudah sering mengajakku mengobrol dengan topik membosankan selama ini, dia juga telah membuatku kewalahan dengan semua novel yang dia rekomendasikan selama ini, Haruka ... dia juga adalah seorang yang sudah merubah hidupku selama ini.
Sepanjang hidupku yang gelap, dipenuhi oleh keputusasaan dan ditindak adili oleh dunia, Haruka telah menunjukkan ku cahaya, Haruka telah memberikanku apa itu yang dinamakan sebuah 'Harapan'. Selain itu, sekarang aku mengetahui tentang kebenaran hidupku. Aku sangat mengetahuinya, setelah sekian lama, aku akhirnya mengerti tentang semua kebenaran hidupku yang selama ini bersembunyi.
Aku mengambil satu langkah maju, dengan kaki yang masih gemetar karena kelelahan. Bahkan sampai sekarang aku masih belum bisa untuk mengatur nafasku dengan baik.
"Haruka..."
"Jangan mendekat!" Haruka menunjukkan buku tulisnya sambil mengambil satu langkah mundur.
Aku menghentikan langkahku, jika Haruka mundur beberapa langkah lagi. Dia akan terjatuh dari atap sekolah, sekarang adalah memikirkan cara untuk membujuknya mendekat. Aku mengeluarkan buku catatan kecil dari sakuku, sebenarnya catatan itu digunakan sebagai daftar belanja pada Minggu kemarin, tapi tidak kusangka bahwa aku akan membawanya ke sekolah.
Yah, kesampingkan semua itu. Aku menuliskan sesuatu pada buku catatan tersebut, dan menunjukkannya pada Haruka.
"Aku tidak mau ...,"
Haruka menulis kembali. "Kenapa?"
Aku membalasnya. "Karena aku sudah menemukan kebenaran tentang hidupku, untuk sekarang aku tidak ingin mati terlebih dahulu."
Kami berdua bertukar kertas satu sama lain, kata demi kata, kalimat demi kalimat, dan hanya terdengar suara gesekan bolpoin diantara kami. Aku harap, dengan metode ini tidak akan ada yang mengetahui bahwa ada orang di atap.
Dengan air mata yang mengalir, Haruka berhenti menulis. Air matanya menjatuhi buku tulisnya, dan membuatnya basah.
"Kenapa?" Haruka tiba-tiba bergumam, dan itu cukup membuatku terkejut. Aku sempat berpikir bahwa telingaku salah dengar, tapi di tempat ini ... Tidak ada orang lain selain kami berdua.
"Kenapa Akira ... Kenapa kau begitu peduli terhadap orang sepertiku ini." Suaranya sangat serak, namun aku mendengarnya dengan jelas, terlebih lagi aku sekarang yakin sepenuhnya, bahwa Haruka sebenarnya bisa berbicara.
"...."
Tetapi, suaranya terdengar sangat mengerikan. Bahkan orang lain akan melompat karena terkejut ataupun takut setelah mendengar suara Haruka. Dan mungkin saja, itulah penyebab utama Haruka tidak ingin menggunakan suaranya meski bisa berbicara.
Meskipun aku sudah mengetahui alasannya, jujur saja aku masih sedikit merasakan ketakutan saat mendengar suaranya tadi.
"Semua orang membenciku, karena suaraku, karena wajahku, karena tubuhku. Semuanya. Tidak ada yang baik dariku dimata orang lain, sebab itulah ... Aku mulai takut saat ada seseorang yang peduli denganku, aku takut menyakiti mereka, aku takut dibenci oleh orang itu, lebih baik aku tidak mengenal mereka sama Sekali, aku takut, aku takut sekali ... Nee Akira, katakanlah bahwa kau mendekatiku hanya karena rasa kasihan, tolong katakanlah. Jika benar, maka itu akan menjadi jauh lebih baik."
Suaranya terdengar sangat jelas, ini pertama kalinya, aku mendengar suara Haruka. Suara itu dipenuhi oleh kesakitan, keputusasaan, dan penderitaan. Apakah kau selalu menanggung semua ini sendirian, apa itu terlalu berat untukmu, apakah kau sudah lelah, apakah kau muak dengan semua ini?
Aku secara tidak sadar maju satu langkah lagi, dan Haruka mundur sekali lagi. Aku mengeluarkan sesuatu dari saku bajuku, itu adalah novel berukuran kecil yang bernama 'Ai no Koe' dan memiliki arti suara cinta. Aku selalu membawa novel kecil ini dimana-mana untuk mengisi waktu luang.
Selain itu, seperti yang dulu pernah kukatakan bahwa novel ini pernah menyelamatkanku sekali. Menarikku keluar dari kegelapan dengan cahaya harapan, aku membuka novel tersebut, tepatnya adalah halaman tiga puluh empat, itu adalah adegan favoritku.
"Apakah kau mengerti apa itu takdir, takdir adalah suatu alur dalam cerita hidup kita. Mempermainkan kita, seperti roda kehidupan yang tidak ada habisnya, ada yang terlahir nasib buruk dan ada juga yang terlahir dengan nasib baik. Mereka yang bernasib buruk akan selalu bertarung melawan takdir, tidak jarang jiwa mereka terluka maupun tercabik-cabik, namun mereka akan bangkit kembali ... Karena mereka menginginkan takdir yang lebih baik. Ada yang terlahir lemah dan mudah menyerah, tapi mereka akan selalu berdoa agar kehidupan kita menjadi lebih baik lagi. Tidak peduli apa yang orang lain katakan, tapi kita sebagai manusia hanya bisa berjuang dan berharap bahwa suatu hari nanti akan ada yang berubah."
Aku menutup novel itu dan menatap Haruka dengan lurus, aku akan mengatakannya, aku bukanlah tipe orang yang pandai membujuk orang lain. Aku juga jarang berkomunikasi dan oleh sebab itulah aku tidak tahu apa yang orang lain pikirkan.
"Haruka..." Ini pertama kalinya aku akan menceramahi orang lain di hidupku yang menyedihkan ini. "Mungkin kau tidak mengetahuinya, tapi aku sudah berkali-kali diselamatkan olehmu, kau memberiku sebuah cahaya yang terang, dan mengulurkan tanganmu pada orang yang menyedihkan sepertiku ini."
Angin berhembus semakin kencang, Haruka mendengarkan perkataanku dengan serius, air matanya masih mengalir seperti sebelumnya, dia mengepalkan kedua tangannya dengan erat didepan dadanya.
"Kau memberikan diriku yang lemah ini kekuatan, kau memberikan diriku yang kesepian ini kasih sayang, kau memberikan diriku yang putus asa ini arti kehidupan. Oleh karena itu ...," Aku berhenti sejenak, mengambil nafas dalam-dalam lalu berteriak.
"HARUKA!! MESKI SEMUA ORANG DI DUNIA INI MEMBENCIMU, AKU AKAN MENJADI SATU-SATUNYA ORANG YANG MENYUKAIMU, UNTUK ITU HIDUPLAH!! HIDUPLAH LEBIH LAMA LAGI HINGGA KITA BERDUA MATI BERSAMA!! HIDUPLAH AGAR DIRIKU TIDAK MERASA KESEPIAN!! HIDUPLAH DEMI DIRIKU YANG PAYAH INI!!"
Aku berteriak sekencang mungkin hingga semua orang yang ada disekolah ini mungkin dapat mendengarnya. Yah, itu bukan masalah besar karena aku sudah mengungkapkan semua perasaanku padanya, aku lega ... aku merasa sangat lega sekaligus bahagia, tanpa disadari aku telah menyukai Haruka, aku hanya tidak menyadari perasaanku ini dengan mencoba tidak terlibat langsung dengannya.
Tapi faktanya, aku sangat menyukainya. Lagipula, Haruka sudah cukup untuk menjadi kebenaran dalam hidupku. Ya, selama ada dia, aku tidak akan peduli bahkan jika dunia hancur sekalipun.
Haruka mengedipkan matanya beberapa kali, dengan wajah yang memerah padam. Dia menangis, sambil mencoba mengusap air matanya menggunakan lengan bajunya.
"B ... Bagaimana bisa ... Bagaimana bisa kau menjadi seegois itu." Haruka tersedu-sedu.
"Yah..." Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal sambil membuang muka, aku juga malu karena mengatakannya terlalu keras. "Maaf ...,"
Hanya itu saja kata yang dapat keluar dari mulutku, aku tidak tahu harus menjawab apa disaat yang seperti ini. Haruka menuliskan sesuatu pada bukunya, lalu menunjukkannya padaku dengan wajah yang masih memerah.
"Ini terlalu memalukan ... Tapi ... Aku akan menerima keegoisanmu itu."
Jantungku berdegup dengan kencang, ini pertama kalinya aku merasakan perasaan seperti ini. Apakah ini kegembiraan, atau serangan jantung, aku tidak bisa membedakannya, namun yang pasti aku saat ini sedang bahagia.
Haruka tersenyum dengan lembut ke arahku, aku hanya menggaruk pipiku karena ini terlalu memalukan. Tapi dengan ini aku berhasil menghibur Haruka, dan aku juga sudah berhasil mengungkapkan perasaanku padanya.
Aku memasukkan kembali novel milikku ke saku begitupun dengan catatan daftar belanja milikku yang tidak sengaja terbawa, tapi disaat yang bersamaan, aku mendengar suara seperti seorang yang tersandung.
Melihat ke depan, aku menemukan Haruka yang akan terjatuh, kedua mataku melebar, aku ingin berteriak namun suaraku tidak ingin keluar. Membuang semua yang kupikirkan, aku berlari sekuat tenaga, waktu seperti berjalan sangat lambat disekitarku, tapi aku berharap bahwa aku masih sempat untuk menyelamatkannya.
Pada akhirnya, kami berdua tidak akan bahagia didunia ini selama masih terdapat kutukan dari Dewa tertinggi. Tapi setidaknya, aku akan memohon kepada Dewa untuk terakhir kalinya, aku akan menyerahkan semuanya padanya, umurku, pahalaku, dosaku, hidupku, atau bahkan jiwaku. Jadi tolong ... setidaknya sebagai gantinya, selamatkanlah sosok yang paling berharga bagiku.
"Haruka!!!"