Suara benturan keras jendela menghentikan keheningan. Setelah menceritakan 'Seorang anak menderita Albus' Detektif itu pergi meminta izin keluar ruangan. Entah apa yang sebenarnya yang ingin dia lakukan padaku, tidak ada rasa puas yang terlihat dari wajahnya.
BRUAKK
"KAU SIALANNN!" Aku membanting segelas teh dari tanganku, amarah yang memerudak ini terasa sangat sesak di dada.
Secangkir teh ini belum terasa lega sama sekali.
TREAK BRUKKKSS
"AHHHHHH DASAR SIALANNNNN!!!" Air mata ini tidak bisa diam saja.
Pecahan kaca dari teko, gelas, dan vas berserakan di lantai. Andrian dan Jenny melihat ku terdiam membersihkan kembali serpihan gelas. Paling menyakitkan ketika aku hanya menjadi penonton ketika seharusnya aku bisa melakukan sesuatu.
"Begitulah Dunia berjalan, Jean bukan dari satu-satunya orang di dunia yang bernasib menyedihkan." Bisik Lividus di kepalaku.
"Kau benar." Gumamku mengendalikan amarahku "Aku yang akan mengubah dunia itu."
Pengadilan terhadap knight berjalan. Kini dia dihukum dengan tuduhan pembunuhan yaitu penjara 5 tahun, gelarnya dicabut, denda dan harta kekayaannya diambil alih negara. Muncul di surat kabar. Sebuah hukuman yang seharusnya lebih berat dari itu semua.
Secara tidak sengaja Polin mendengar keributan dari ruang tamu, dia melirik diam-diam memperhatikan keributan yang terjadi. Setelah keadaan lebih tenang Aku meminta pelayan dan Andrian keluar untuk aku menenangkan diri.
"Kau baik-baik saja?" Ucap Polin masuk dari balik pintu "Aku tidak sengaja mendengar keributan yang terjadi tadi…"
"Jangan mengusikku."
"Aku tau jika-aku tidak bisa banyak membantumu tapi mungkin saja ini bisa meringankan." Dia berjalan menghampiriku, wajahnya kelihatan amat serius.
"Kejadian Pemberontakan 1377 Keluarga Ziones."
Mendengarnya membuatku bangkit dari kursi, Dia bercerita amat dalam dari sudut pandangnya sebagai anak-anak seusiaku. Kala itu dia tidak memahami kejadian dengan detail tapi si kecil Polin sangat mempercayai ayahnya bukan seorang penghianat.
Suasana sangat hening, cerita yang amat detail seakan aku masuk kedalamnya. Seakan flashback film yang muncul tiba-tiba di kepalaku.
Masion yang sama dimana aku dan Duke Han tinggal sementar di desa Artur. Tahun 1377 sebelum kejadian pemberontakan. Panjangan tertata rapi begitupun bingkai foto bangsawan Ziones terpaku di dinding.
Mansion mewah di tempati bangsawan Marquess Ziones. Marquess Dakri Ziones tinggal bersama istrinya Shani Ziones dan kedua anaknya Polin dan Lily. Mereka terpandang keluarga yang rukun, tidak satupun rumor jahat mengenai keluarga mereka.
Di pagi buta, nyoya Shani sudah sibuk mengurus keluarganya walaupun ia memiliki banyak pelayan namun dia tetap mengerjakan semuanya sendiri, dia memasak, bersih-bersih bahkan menyiapkan semua keperluan keluarganya.
Polin kecil terbangun dari tidurnya. Seusianya dia merupakan anak yang sangat aktif, ceria dan sangat pintar menangkap hal baru. Karena Tuan muda penerusnya mereka mengatakan jika masa depan keluarga Ziones akan sangat cerah.
"Lily?" Dia melihat adiknya yang sedang menagis dan seketika memabangunkan ayahnya yang terbaring lelap disampingnya "Ayah? Lily menangis."
"Sebentar ya." Dia berbalik badan dan menggendong anak perempuanya "Lily sudah bangun yah sayang."
"Ayah, nanti sore aku ada latihan panahan. Ayah pulang lebih awal saja."
"Haha… iya ayah akan mencoba pulang lebih awal."
"Benarkah. Ayah akan melihat aku akan memanah tepat sasaran." Ucapnya dengan penuh semangat dia memperagakan gerakan memanah.
Keluarga yang sangat harmonis dengan akhir yang sangat menyedihkan, sungguh tragis.
Di meja makan, sarapan telah disajikan.
"Shani. Kamu tidak perlu memasak makanan sebanyak ini, aku hanya tidak mau kamu kelelahan." Ucap Marquess Dakri yang sangat perhatian kepada istrinya.
"Tidak apa-apa, aku sudah biasa melakukannya." Shani Ziones, seorang perempuan yang terlahir bukan dari keluarga bangsawan kedua orang tuanya hanya seorang petani di salah satu wilayah desa Artur tentu saja hubungan mereka ditentang keras berbagai pihak, namun namanya cinta tidak ada yang bisa mengatur "Aku tidak biasa duduk bersantai dan dilayani pelayan."
"Masakan ibu memang terenak!" Ucap Polin kecil, dia menyantap sup ayam dengan sangat lahap.
"Buat dirimu senyaman mungkin. Baiklah ayah akan pergi kerja dulu yah sayang."
"Hati-hati Ayah." Lambai tangan mungilnya.
Seharian Polin kecil tidak jauh berbeda dengan anak-anak pada umumnya, dia suka bermain tidak suka tidur siang dan belajar. Kemanapun dia pergi selalu ditemani adik dan ibunya.
Di sore hari halaman belakang, ibu dan adik bayi sedang menemani Polin memanah bersama pelatihnya. Mereka duduk di kursi taman tidak terlalu jauh dari lapangan.
"Ibu! Lihat! Panahku tepat sasaran!!" Teriaknya dari jauh "Kau melihatnya?!"
"Iyah luar biasa anak laki-lakiku."
"Haha ini tidak sulit, sangat mudah!" Ucapnya percaya diri "Apa ayah belum pulang yah? Ayah sepertinya sangat sibuk tapi dia sudah berjanji dengan ku."
"1 2 3… yes kena!"
Malam semakin larut namun Marquess belum pulang dari tugasnya. Kamar tidur sudah gelap gurita anak-anak tertidur dengan lelap, hanya tersisa Nyonya Ziones yang sedang menunggu suaminya pulang. Pukul 2 pagi terdengar suara kereta memasuki mansion.
"Sayang, kau pulang sangat larut." Ucapnya ketika suaminya memasuki kamar dan membantunya menyiapkan baju ganti "Ada masalah?"
"Sahni kamu tidak perlu menungguku pulang, tidurlah lebih awal." Wajahnya mengerut seakan masalah besar datang.
"Aku tidak bisa tidur jika kamu belum pulang." Istrinya melihat khawatiran yang amat mendalam dari raut wajah suaminya "Ada apa? Ada yang terjadi dengan Duke Leonard?"
"Tidak, semuanya baik-baik saja pergi lah tidur dan istirahat."
Di pagi buta, Marquess sudah berangkat kerja bahkan sebelum istri dan anaknya bangun. Hal ini terus berulang hingga beberapa hari. Menyadari ada masalah serius yang terjadi oleh suaminya nyonya Ziones merasa sangat khawatir, khawatiran ini disadari oleh Polin yang melihat ibunya terus bertanya tentang ayahnya.
Di tengah malam, Polin melihat ibunya sedang duduk di sofa, berkeliling kamar dan beberapa kali mengecek ke jendela. Kegelisahannya sangat terlihat dari raut wajah nyonya itu.
"Ada apa ibu?" Tanya Polin.
"Polin? Tidurlah."
"Aku tidak bisa tidur. Ibu kelihatan gelisah akhir-akhir ini."
"Ibu akan membacakan buku cerita hingga kamu tertidur, kemari lah."
Di sofa dengan pencahayaan lampu tidur Polin berbaring di pangkuan ibunya mendengarkan cerita robin hood. Kala itu bintang bersinar sangat terang.
"Aku akan menjadi robin hood dan menolong semua orang." Gumam Polin di pangkuan Ibunya.
"Tentu saja. Anak laki-laki ibu yang luar biasa."
"Ayah pulang larut lagi?"
"Tidak perlu khawatir sayang, tidur lah." Lanjutnya membaca buku "…Robin bersama temannya membagikan makanan…"
Terdengar bunyi sayup-sayup kereta kuda. Dari pantulan lampu terlihat wajah Marquess yang penuh amarah.
"Shani? Kenapa belum tidur?"
"Sudah 3 hari aku tidak melihat suamiku, bagaimana aku tidak khawatir." Ucapnya tersirat sedih bercampur marah.
"Maafkan aku. Polin sudah tidur?" Dia melihat Anaknya yang terlelap di pangkuan istrinya.
"Dia menanyakan ayahnya."
"Maafkan ayah sayang." Ucapnya duduk di sofa dan mengistirahatkan badannya.
"Jangan menanggung semuanya sendiri, Derik. Ada apa?"
"Duke."
"Apa ini berkaitan dengan penembakan kediaman Duke Leonard?" Marquess mengisyaratkan iya "Kamu tau siapa pelakunya?"
"Dia tidak bisa dihukum, pantas saja dia berani terhadap Leonard."
"Siapa dalangnya?"
"Penembakan itu didalangi oleh-Queen."
Nyonya Ziones menutup mulutnya dengan terkejut. Tangan gemetar ketakutan, memahami bagaimana suaminya berdiam tutup mulut dengan fakta ini.
"Duke mengetahuinya?"
"Tidak. Aku sedang mencari bukti keterlibatannya tanpa bukti Duke akan sangat menentang pernyataan ku." Dia menyadarkan badannya "Kemarin pagi, aku mendapatkan surat di atas meja kerja."
"Surat?"
"Surat Ancaman Tutup Mulut." Marquess memegang erat tangan istrinya "Tenanglah sayang. Aku tidak akan membiarkan mereka menyentuh keluargaku."
Peluk manis keluarga kecil ini, hingga bulan memandang mereka dengan sangat terang.