Pintu masuk kayu tua dengan aroma khasnya, lantai semen yang beralasan karpet empuk. Ini jauh sangat sederhana jika dibanding mansion utama pusat kota tentu saja karena Desa Artur termasuk desa pinggiran namun walau begitu desa ini memiliki sumber daya yang luar biasa. Mata pencarian utama lokal warga sebagai pemasok gandum
"Kamar kita ada di lantai satu? Oh oke." Ucap Polin melihat sekeliling rumah "Selama di perjalanan tidak banyak berubah di ingatan ku."
Kamar yang luas untuk 3 anak, masing-masing mereka memiliki single bed dengan meja lampu di sampingnya, tirai merah jendela sudah tertutup, ornamen ukiran khas tahun 90.
"Wah benarkah ayo kita jalan-jalan!" Juan menarik lengan baju ku.
"Besok saja." Tentu saja aku menolaknya, hari sudah mulai malam pencahayaan jalan pun masih menggunakan lilin.
"Iya benar diluar udah gelap." Dio berbaring melepas lelah duduk selama hampir 6 jam.
"BAIK! Lagian juga kita punya 3 hari disini." Juan berbalik menghentakan badannya ke kasur.
"Tuan Muda makan malam sudah siap." Ucap pelayan dan mengarahkan kami ke ruang makan, Duke Han terlihat sudah duduk dan sibuk dengan kertas di tangannya. Dia kelihatan sangat tenang namun tidak untuk pikirannya.
Ruang makannya pun sederhana dengan meja yang tidak terlalu luas cukup 8 kursi berderet dengan 2 diantaranya bagian ujung lain. Namun soal rasa makanan desa memang enak-enak memiliki ciri khas sendiri.
Setelah makan malam, aku berencana untuk istirahat sebentar di kamar. Kamarku berada di lantai dua berdampingan dengan Duke Han. Andrian terlihat sedang sibuk mengatur semua keperluan pakaian selama tiga hari kedepan.
"Karena Sarah tidak ikut dengan kita, maka keperluan Tuan akan di bantu dengan pelayan lain." Andrian yang sibuk merangkap menjadi pelayan "Ngomong-ngomong besok sudah ada rencana mau pergi ke mana Tuan Muda?"
"Mungkin ke panti sosial dahulu." Jawab ku ragu "Atau tidak usah ya?"
Malam semakin larut suasana semakin tenang, namun pikiranku menjadi tidak karuan.
"Aku tidak bisa tidur." Gumamku membenarkan posisi tidur "Kira-kira Terian sedang apa ya? Apa dia akan terusik kedatanganku nantinya?"
"LUPAKAN!"
"Semua akan baik-baik saja."
Aku bagun dari tempat tidur, seketika tengkorokan ku terasa kering, melihat tidak ada gelas dan teko air di atas meja lampu kemungkinan Andrian lupa karena sibuk mengatur keperluan lain.
"Tidak ada air? Apa di dapur?"
Dengan pencahayaan sebatang lilin, aku keluar mencari arah ke dapur. Malam di desa lebih sunyi suara angin malam dan jangkrik terdengar dengan jelas. Aku berjalan menuju ruang makan berharap ada air di sana.
"Kenapa aku seakan hafal ruangan-ruangan di mansion ini?" Gumamku menemukan ruangan dengan mudah dan seakan-akan hafal akan semua jalan.
"Disana pasti dapur kotor, bagian belakang terdapat kebun berry di dekatnya ada gubuk tua." Kenapa aku mengingatnya, entah ingatan siapa yang kembali datang. Fenomena yang sama persis ketika pertama kali aku menginjakkan kaki di mansion Zafia.
Aku melihat sekeliling ruang makan yang terasa tidak asing bagi ku, hingga aku tersadar jika pintu dapur masih menyala.
"Apa ada orang?" Gumamku mendekati gagang pintu.
Aroma wangi roti panggang tercium, ketika ku membuka pintu tersebut terlihat segelomboran pelayan dan juru masak yang sibuk menyiapkan makanan di dapur, semua wajah pelayan ini kabur, tidak jelas.
"Apa yang?" Gumamku terkejut melihat sekeliling.
"Cepat balik rotinya, siapkan piring." Ucap Juru masak dia terlihat tinggi rupawan dengan topi putih kas koki.
Asap panas memenuhi ruangan, pelayan lain sibuk dengan pekerjaan lain. Mereka semua seakan tidak menghiraukan keberadaan ku.
"Antar sup hangatnya."
"Gelas dan piring sudah di tata."
"Bubur nasi sudah siap Tuan."
Aku berjalan mengelilingi mereka melihat apa yang sedang sibuk kerjakan. Semua orang di sekelilingku seakan sibuk wajah pucat dan tatapan kosong.
DORRR
Bunyi yang amat keras terdengar dari balik pintu masuk dapur, aku berbalik mundur terkejut. Pintu itu terus di buka paksa hingga engsel tua itu tidak dapat menahan tekanan yang ada.
"BUKA PINTUNYA!"
"TANGKAP MEREKA SEMUA!"
"PENGHIANAT HINA!"
Seorang perpakaian prajurit lengkap dengan senjatanya membuka paksa, raut wajah penuh emosi dan kekesalan yang amat sangat. Suasana tenang seketika berubah menjadi ricuh.
"DIAM DAN TUNDUK!"
Para juru masak lain hanya terdiam duduk mengikuti perintah yang ada ketakutan bercampur amarah. Seakan sebuah film tiga dimensi di sekelilingku.
"TEMBAK MEREKA SEMUA!" Seorang Pemimpin pasukan memerintahkan bawahannya, Lubang senjata itu mengarah ke seorang wanita tua.
"AMPUNI SAYA TUAN…." Dengan suara seraknya dia memohon belas kasih, kaki dan tangan keriputnya bergetar "SA-SAYA HANYA WANITA TUA."
"KALIAN AKAN MATI DENGAN PENGHIANATAN YANG TELAH KALIAN SETUJUI!"
"TEMBAK!"
"SAYA.. MOHON…" Wanita itu hanya terduduk diam meminta ampunan.
"Henti..hentikan..." Aku mengulurkan tangan, berusaha membantu nenek tua itu.
"TEMBAK!"
DOR DOR DOR
"HENTIKAN! KATA KU HENTIKANN!"Aku memejamkan mata dan menutup telingaku erat-erat, meringkuk ketakutan rasa sedih, kasih, dan amarah yang terus datang pada ku.
"Tuan?" Seketika terdengar suara samar-samar "Tuan muda, apa yang sedang anda lakukan di sini?"
"TUAN!"
Suara andrian menyadarkanku.
"Anda baik-baik saja?"
Aku melihat sekeliling tidak ada satupun tanda keributan dan aktivitas yang baru saja ku lihat, semua barang tersusun rapi, tidak ada roti yang sedang dimasak ataupun sup di panci.
"Apa? Mimpi? Tidak ada satupun kerusakan yang terjadi" Aku hanya bisa terdiam terkejut semua kejadian yang kulihat seakan sangat nyata "Semuanya mengingatkan ku pada kisah Jean."
"Apa yang anda lakukan disini Tuan Muda?"
"Ah aku ingin segelas air."
"Astaga! saya lupa untuk meletakan minum di kamar anda, maafkan saya." Andrian mengambil minuman dan memberikannya kepadaku.
"Apa yang sedang kamu lakukan?"
"Oh aku tidak bisa tidur jadi berkeliling sebentar, sampai mendengar suara anda Tuan." Ucapnya "Hari ini terasa sangat melelahkan di perjalanan, anda harus segera istirahat."
"Kepalaku sedikit pusing sekarang."
Aku kembali ke tempat tidur ku tidak sampai lima menit, aku tertidur lelap.